Kita mulai cerita Peony dan Ammar, ya.
Apakah Ammar orang baik?
Biasanya, sih, ngeselin.😅
***
1 Kissed Her Goodbye
Peony Eden memencet-mencet tombol remot TV. Tidak ada acara yang menarik di hari semalam ini. Stasiun TV lokal menayangkan acara talkshow yang mengarah pada umur 21 tahun ke atas. Bahasannya tentang urusan kasur dan rumah tangga yang tidak ingin dia tonton. Ada lagi stasiun yang memutar tayangan musik dengan durasi ngobrol lebih panjang dari menyanyi. Sebenarnya, ada juga stasiun yang menayangkan film jadul. Namun, dia sudah beberapa kali menonton dan daripada itu, dia lebih tertarik menunggu kehadiran suaminya saja.
Tapi, seperti tadi, masih belum ada kabar dari Ammar dan sekali lagi, Peony menguatkan hati untuk menerima kenyataan kalau sebetulnya, selama berhari-hari bahkan hingga berbulan-bulan terakhir, sepertinya hanya dia sendiri yang berjuang di antara mereka berdua.
Peony kemudian memutuskan untuk memeriksa kembali pesan-pesan yang telah dia kirimkan kepada suaminya. Dulu, mereka masih sangat intens berkabar. Bahkan, dia masih menyimpan pesan pertama mereka ketika suaminya mengiriminya pesan yang diakui Ammar sebagai pesan nyasar, lalu diralat dengan mengatakan kalau dia mendapatkan nomor Peony dari temannya. Apakah itu pertanda kalau sejak awal pria itu sebetulnya tidak terlalu tertarik kepadanya?
Tapi, tujuh tahun terlalu lama untuk menjalani rumah tangga bila Ammar terus mengabaikannya seperti ini dan dia hanya terpekur sembari membiarkan ibu jari kanannya menelusuri laman percakapan lama mereka dan saat mendapati bahasan yang lucu atau malah menyerempet ke arah ranjang, air matanya tahu-tahu saja luruh.
Mas, apa kamu masih memikirkan aku?
Selama beberapa detik, Peony memejamkan kedua kelopak mata yang terasa panas bak lahar api. Tidak berapa lama, ingusnya memaksa untuk turun dan dia terpaksa cepat-cepat mengambil tisu sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali memeriksa ponsel dan menelepon Ammar.
Satu detik kemudian, panggilang terhubung dan nada dering terdengar. Peony menahan napas, menunggu keajaiban datang, entah dari langit atau hati pria yang selama ini selalu menjadi yang nomor satu di dalam hidupnya. Buat Peony, Ammar adalah pagi, adalah siang saat matahari bersinar amat terik, dan dia berharap, pria itu juga menjadi senja baginya, saat dia tidak punya lagi tenaga untuk melanjutkan hari.
Tapi, bagaimana bisa aku bertahan sebegitu lama? Mengangkat telepon dariku saja kamu enggan, kesah Peony setelah beberapa menit panggilannya juga diabaikan seperti tadi dan yang bisa dia lakukan adalah mematikan televisi dan berdiri. Hujan juga semakin deras, selain hari semakin larut. Tidak ada yang bisa dia upayakan lagi. Perayaan hari jadi mereka kali ini tidak akan terlaksana dan Peony tahu, jika dia tetap keras kepala, dirinya akan berakhir dengan wajah sembab dan makin mengenaskan.
Peony berjalan menuju kamar tidur dan meninggalkan ruang tengah dengan lampu menyala. Dia tahu, meski tidak mungkin, Ammar akan merasa terbantu bila pria itu masuk suatu saat nanti. Minus mata suaminya makin buruk, enam dan tujuh untuk masing-masing mata kanan dan kiri. Tapi, Peony tidak merasa kekurangan suaminya itu adalah hal yang mesti ditangisi. Malah, dia senang. Dengan kacamata, ketampanan Ammar meningkat hingga berkali-kali lipat.
Sebelum meninggalkan ruang tengah, Peony memandangi tempat itu selama beberapa detik dan pada akhirnya, dia memutuskan untuk menutup pintu kamar dan berjanji akan memaksa dirinya untuk tidur, meski di dalam kepalanya, dia yakin tidak bakal bisa melakukannya. Ammar yang saat ini berada entah di mana, sudah pasti tidak akan memikirkan nasib sang istri sama sekali dan bayangan buruk tentang dia menghabiskan malam panas yang menggelora dengan pinkan, sang rekan tapi sayang, telah berhasil membuat Peony batal melanjutkan niatnya untuk tidur dan akhirnya, dia malah menarik salah satu jaket yang tergantung di dalam lemari dan memakainya. Setelah itu, Peony mengambil tas yang telah dia isi dengan dompet dan kunci mobil. Setelahnya, dia buru-buru keluar dan berjalan menuju lift yang akan mengantarnya ke parkiran yang letaknya di lantai paling bawah.
Jika tidak bisa tidur, maka biarkan dirinya menuntaskan rasa penasarannya malam ini, siapa tahu, dia bisa menemukan suaminya dan hal yang paling dia inginkan, mendapatkan kejelasan tentang akhir pernikahan mereka.
***
Guntur masih menyambar-nyambar disertai percikan kilat yang tanpa henti saat Peony Eden berhasil keluar dari kompleks apartemen tempatnya tinggal. Dia mengendarai city car miliknya yang berwarna putih, sebuah kendaraan yang dia beli dengan uang gajinya selama beberapa tahun sebelum akhirnya Peony memilih berhenti dan mengabdikan diri untuk sang suami. Dia tahu, Ammar bukanlah seorang manajer, karena itu dia berusaha membantu perekonomian keluarga mereka. Semenjak Peony berhenti, Ammar juga melamar ke perusahaan lain, yang membutuhkan jasa tambahan, sekitar empat tahun lalu dan menurut tebakannya, waktu -waktu itulah sang suami bertemu dengan Pinkan.
Salahnya, dia tidak penasaran dan ambil pusing karena dia tahu, pria itu selalu tepat waktu ketika jam pulang tiba. Namun, yang tidak Peony sadari, ternyata Ammar bisa melakukan perjalanan dinas dan tidak jarang, Pinkan menjadi teman perjalanannya selama beberapa hari.
Ketika sadar, semua sudah terlambat, seperti hari ini. Hanya saja, jika kapal mereka harus karam dan berakhir, Peony harus menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri kalau pria itu benar-benar tidak menginginkan dia lagi, bukan dengan cara bermain di belakang dan menyembunyikan semuanya dari dirinya.
Peony mengusap air mata yang jatuh dengan punggung tangan. Pandangannya terasa kabur dan dia mesti mengerjap beberapa kali supaya bisa melihat dengan jelas. Meski begitu, percuma saja melakukannya. Curah hujan yang turun amat deras, membuat kaca mobil seperti disirami berember-ember air tanpa henti dan yang bisa Peony lakukan adalah menjalankan mobil sepelan yang dia bisa dan bersyukur, jalanan sudah mulai sepi. Kebanyakan orang memilih pulang ke rumah dan meringkuk di dalam selimut mereka yang hangat dan nyaman.
Peony sempat berhenti di sebuah persimpangan lampu merah di bilangan Senayan. Matanya mengira-ngira hendak ke arah mana dia melajukan mobil malam itu. Diliriknya jam di radio mobil, sudah hampir pukul 12 malam. Sejak tadi dia berputar-putar tanpa arah dan saat sadar, dia cepat-cepat mengambil ponsel miliknya yang sejak tadi tergeletak di jok penumpang.
Bukankah, beberapa hari lalu dia sempat menyadap ponsel suaminya?
Peony merasa dia telah melakukan sebuah kebodohan. Pada akhirnya, dengan tangan bergetar, dia mengaktifkan layar ponsel dan menggulirkan jari telunjuknya hingga ke aplikasi yang bisa melacak lokasi Ammar. Jantungnya berdebar amat kencang dan daripada dugaannya menjadi nyata, dia lebih berharap kalau saat ini Ammar berada di kantor dengan alasan lembur daripada berakhir di tempat maksiat dengan wanita itu.
Hotel Melati?’
Peony sampai mengulang beberapa kali titik lokasi yang ditunjukkan oleh aplikasi di dalam pegangannya saat ini. Napasnya putus-putus dan dia merasa jantungnya ditarik seketika hingga dirinya langsung tidak bernyawa. Kenapa malah hal yang paling tidak dia inginkan yang kemudian menjadi kenyataan?
***