Cup 4: Ristretto

24 10 22
                                    

espresso made with the same amount of coffee but half the amount of water


18 hari yang lalu, pukul 15.32 WIB.

DHARMAWANGSA tengah mengetik sesuatu di laptopnya. Wajahnya terlihat serius, dan sesekali tangannya bergerak untuk mengangkat telepon. Jelas terlihat kalau sore itu Dharma tengah sibuk.

Tak lama laki-laki itu menghentikan kegiatan mengetiknya dan menatap ke arah pintu. Satu detik kemudian, pintu itu terbuka. Seorang laki-laki memasuki ruangan dengan langkah tenang. Wajahnya tidak terlihat jelas karena dia mengenakan topi. Mereka—laki-laki itu dan Dharmawangsa—kemudian berjabat tangan, dan Dharma mempersilakan tamunya untuk duduk di sofa. Mereka terlibat pembicaraan selama kurang lebih lima menit. Laki-laki itu kemudian pergi dengan terburu-buru, meninggalkan lawan bicara yang terlihat mematung di tempat duduknya.

Lima menit berlalu, Dharma masih duduk membisu. Namun, kemudian laki-laki itu terlihat emosional. Dia mengacak-acak rambutnya, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan gestur gugup. Dharma bahkan menggigit kuku ibu jarinya—kebiasaan yang hanya dia lakukan saat betul-betul sedang tertekan. Tak lama, Dharma kembali mengacak-acak rambut, kemudian menghampiri rak buku untuk mengambil sesuatu yang tidak terlihat jelas, dan berderap ke luar ruangan. Dia tidak kembali lagi hingga malam tiba.

* * * * *

"I-ini....?" Rara menatap video hitam putih itu dengan mata terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk memproses apa yang baru saja dia lihat. Apa yang terjadi? Kenapa Papa terlihat begitu kacau?

Namun, percuma. Saat ini otaknya tak bisa memikirkan kemungkinan selain ada sesuatu yang salah, dan itu pasti ada hubungannya dengan tamu yang baru berkunjung. Dan akhirnya yang bisa dia lakukan hanya bertanya sekali lagi, "Ini.... Rekaman CCTV di ruang kerja Papa?" Pertanyaan retoris, karena Rara jelas hapal bagaimana interior ruang kerja ayahnya di Pengging Coffee.

Catur mengangguk pelan.

"Nggih, Den Ayu."

"Ta-tapi.... Papa kenapa, Pakde?" Rara bingung. "Aku belum pernah lihat Papa seperti itu! Papa kelihatan stress, bingung—aku nggak ngerti! Ada apa, Pakde?"

"Pakde juga nggak tahu, Den Ayu." Laki-laki tua itu kembali menggeleng.

Ekspresi wajah Catur memang terlihat setenang biasanya. Namun, Rara terlalu mengenal Catur untuk bisa merasakan ada kegelisahan yang terlalu sulit untuk ditutupi.

"Ada apa, Pakde?" tanyanya tanpa basa-basi. Dengan nada tak sabar perempuan itu pun melanjutkan, "Bilang saja, Pakde, jangan ada yang ditutupi. Pakde tahu aku nggak suka dibohongi, kan?"

Kata-kata Rara barusan berhasil membuat Catur mengambil selembar tisu untuk mengelap keringat di pelipisnya. Aneh, padahal AC sudah dinyalakan, tapi tetap saja dia mendadak berkeringat setelah mendengar perkataan putri kesayangan almarhum majikannya itu.

"Den Ayu ingat? Waktu Ndoro baru meninggal, polisi sempat meriksa CCTV di ruang kerja Ndoro. Waktu itu Pakde yang membantu menjelaskan siapa saja tamu yang diterima oleh Ndoro. Pakde tahu semua tamu Ndoro, kecuali laki-laki ini." Catur sedikit meremas tisu yang ada di tangannya sebelum menunjuk ke rekaman CCTV itu.

"Tadi sore Pakde pergi ke kantor Den Ayu," lanjut Catur sambil kembali mengelap keringatnya. "Ada berkas yang ketinggalan, jadi Pakde diantar sopir kantor nyusul ke Tebet. Pas di lobi Pakde nggak sengaja papasan sama laki-laki muda. Nggak tahu kenapa kok kayak familier gitu pas lihat orangnya. Setelah Pakde ingat-ingat, sepertinya laki-laki itu yang jadi tamu Ndoro di video ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sentimental Affogato (Gerha Purana Series: Retelling of Roro Jonggrang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang