5

2.2K 52 0
                                    

Episode 5

Jujur, aku sendiri tidak yakin dengan apa yang aku lakukan sekarang. Berhubung siapa aku dan apa yang membuatku memutuskan untuk menemui Yovanes serta memaksa untuk diijinkan datang ke rumahnya? Gratis pula!

Apa terlambat rasanya untuk mengakui kalau aku butuh teman curhat? Bahkan belum lewat 10 jam saat aku bilang kalau aku tidak butuh teman. Terlalu banyak rahasia. Nah, kalau memang aku bisa dengan secara acak menelepon orang yang aku kenal dan bercerita tentang kelakuan Bram, kakakku itu. Mereka akan mulai bertanya tentang latar belakangku. Kemudian mereka akan bertanya tentang orang tuaku, mereka akan bertanya tentang kegiatanku yang lain, mereka akan bertanya-tanya tentang sumber uang untuk kuliahku. Lalu... Lajutannya hanya dua. Mereka akan membenciku. Atau mereka akan mengasihaniku.

Aku benci dikasihani. Setidaknya demikian yang aku nilai dari diriku sendiri. Aku menghindari topik-topik soal keluarga. Aku menghindari obrolan bersifat pribadi seperti aku menghindari obrolan soal pacar dan perasaan. Karena aku kenal diriku sendiri. Aku orang yang mudah menangis. Aku menangis saat nonton iklan di internet. Aku menangis saat nonton video pendek di Enstagram. Aku menangis saat melihat anjing liar mengorek sampah. Aku menangis karena apa saja, terlebih, jika aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Maka dari itu aku menelepon Yovanes. Dia selalu bersikap biasa. Cenderung cuek dan sederhana. Ia tidak memandang rendah padaku. Terlebih ketika aku tahu dia adalah anak dari orang kaya kota Purasabha yang tidak pernah dapat perhatian dari orang tuanya. Sehingga seolah kemalangannya dan milikku mejadikan posisi kami sama. Juga cara kami untuk melupakan fakta-fakta itu.

Yovanes membayar sekedar karena dia menggunakan jasaku. Dia menyewaku, bukan memiliki aku sepenuhnya. Itu kenapa dia memperlakukanku dengan baik. Dia tidak kasar dan dia mengajakku bicara. Aku tidak pernah mendapatkan klien sepertinya.

Sebenarnya aku punya pilihan lain. Maya. Perempuan yang baru kukenal itu. Dia jadi pilihan justru karena aku dan dia baru mengenal. Dan rasanya ia tidak punya kepentingan buruk padaku. Tidak seperti teman sekelasku yang hobinya saling jegal dan saling jilat telapak kaki dosen.

Sayangnya, aku lupa menghubunginya sejak seharusnya aku melakukannya. Dua minggu berlalu, kami tidak pernah saling menghubungi. Mana mungkin aku tiba-tiba meneleponnya dan mengajaknya jalan? Terakhir kali kami bertemu, aku hampir membentaknya. Aku menepisnya sesaat setelah dia mentraktirku es teh susu.

Yovanes menawariku sekaleng bir ketika aku sampai di kamarnya lewat tangga luar. Kami duduk bersandar pada sofa di kamarnya. Setelah beberapa menit dalam diam, lelaki itu berhenti memandangku. Ia menaruh kaleng birnya di atas meja dan dengan tenang bertanya, "Gratis, huh?"

Aku mengendikkan bahu. "Kamu tersinggung?" tanyaku setengah bercanda.

"Tepat." Yovanes menyilangkan tangan di depan dada. "Ada masalah apa sebenarnya? Kamu hamil?"

Aku agak kaget mendengar kalimatnya. Namun, aku putuskan untuk mengesampingkan pikiran tentang bagaimana asiknya kehidupan rumah tangga kami kalau aku memang benar-benar hamil anaknya. "Apa kamu yakin ini anakmu?"

"Tergantung. Kalau dia cantik, dia pasti anakmu. Dan kalau dia tampan, dia akan jadi anakku."

Aku tertawa atas omong kosongnya. "Aku tidak hamil. Apalagi anakmu. Kalaupun demikian, aku tak mau. Aku masih harus lulus kuliah. Aku tak akan tergantung pada orang lain."

Yovanes memasang tampang kecewa. "Sayang sekali."

"Memangnya kamu mau menikahi seorang pelacur?" Pertanyaan yang ini muncul karena aku penasaran.

"Bukan masalah. Orang tuaku sudah cukup senang dengan cucu. Dan hanya aku yang bisa memberikan mereka cucu. Sepertinya," gumam Yovanes. Ia mengambil birnya dan meneguk kaleng itu sampai tandas.

5. Kopi Pagi Ini GXG  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang