10

1.6K 53 0
                                    

Episode 10

Aku yakin perempuan itu adalah Maya. Perempuan yang belum lama kukenal. Perempuan yang misterius. Perempuan bertubuh kurus, tinggi dengan hidung mungil dan bibir tipis semburat merah muda. Perempuan berambut ombak. Perempuan yang menciumku semalam.

Aku keluar Hail Hall. Dengan sebungkus sarapan di-take away, aku celingukan di pinggir jalan.

Aku yakin ia ke arah barat. Jadi aku melangkah ke arah barat. Jarak kami semakin lebar. Maya melangkah di depan. Rambutnya terjuntai-juntai. Ke kiri dan ke kanan. Riang. Maya melangkah ringan dengan sepatu kets warna merah. Barangkali warna kesukaannya.

Aku ingin memanggilnya. Tapi gugup membuat lidahku kaku. Dan dingin pagi membuat tenggorokan kering. Aku putuskan untuk mempercayakan niat pada kedua lututku yang masih gemetar karena bekerja semalaman.

Sambil kupikir-pikir alasan yang baik untuk bersikap tegas pada apa yang sudah dilakukan Maya padaku. Atau sekedar menegur. Mungkin marah. Karena ia telah melewati batas atas pertemanan di antara kami yang bahkan lebih muda dari umur kecambah.

Tapi, apakah marah adalah hal yang benar? Apa memakinya adalah hal yang pantas? Apa ia tahu kalau aku pun ragu pada diriku? Preferensi, identitasku, jati diriku, seleraku? Atau malah ia sudah menunggu? Apa Maya sengaja menguji kesabaranku?

Aku menggigiti bibir. Aku mengibas kepala, sekedar mengenyahkan rumput liar dalam pikiranku dan mengejar perempuan itu terus. Sampai ketika Maya berbelok di gang depanku. Aku tak menemukan sosoknya lagi. Hanya aroma parfumnya yang tertinggal. Transparan.

Aku menyusur gang sempit. Bungkusan kupegang dengan dua tangan di depan dada. Bahuku lesu, kecewa karena telah kehilangannya. Sudahlah, aku berbalik.

"Kamu mengikuti aku," ujar Maya muncul tiba-tiba. Kulitnya dibikin pucat oleh bayangan tembok. Dan ia agak berbisik.

Aku terlonjak. Sarapanku hampir jatuh. Maya menangkapnya karena refleks.

"Kenapa mengikuti aku?" Lagi, ia bertanya. Kami berhadapan. Jarak kami semeter lebih sedikit.

Aku mencari-cari alasan. Kubilang, "apa kamu sudah bayar tagihan di Hail Hall kemarin?"

Maya menahan tawa. "Karena itu? Karena itu kamu mengekor? Tentu aku sudah membayarnya."

"Oke kalau begitu. Aku lega. Kita tidak berhutang."

Maya menunggu. Aku berdiri sama kaku. Kami mengukur keberanian. Kami berkedip di waktu yang sama.

"Apa ada lagi?" Maya bertanya akhirnya.

Aku curiga kalau ia seorang pembosan. Seingatku, ia tak pernah membiarkan kami diam dalam waktu yang lama. Kecuali itu maunya.

Aku berkacak pinggang. "Kamu tak ingin menjelaskan apapun padaku?"

Maya memutar bola matanya, juga sudut hadapnya. Ia berbalik sampai membelakangiku. "Oh, sudah kuduga. Kamu akan mempermasalahkannya."

"Jadi kamu memang perempuan seperti itu, Maya? Itu kenapa kamu mendekatiku?"

Maya hendak melangkah tapi tak jadi. "Perempuan seperti apa aku?" desisnya.

Sayup suaranya dibawa bersama angin. Menggelitik leherku. Bulu kudukku berdiri karena atmosfer yang janggal. Tapi aku ingat, ini bukan cerita hantu.

'Kamu mungkin lesbian.' Tuduhku. Tanpa suara. Tapi aku bukan seperti itu. Itulah. Seharusnya aku menjauh. Tapi, ke mana rasa jijikku? Ya ampun!

"Maya, aku ingin mampir ke rumahmu." Ini pertama kali mulutku nekat mengkhianati akal sehatku. Isi kepalaku ikut-ikutan membuatku merasa salah padanya.

Dan kenekatan itu membuat Maya terusik. Akhirnya ia menoleh ke belakang. "Ke rumahku? Sekarang?"

"Ya. Apa kamu menyembunyikan sesuatu di rumahmu?" Aku terkesan memaksa. "Katamu kita teman. Apa aku tidak boleh bertamu ke rumahmu?"

Maya tersenyum buram. "Oke. Ayo kita ke rumahku." Ia jelas terpaksa. "Lalu, apa yang akan kita lakukan di rumahku?"

"Kita akan ngopi?" Aku memberi usul.

Maya mengangguk. "Baiklah. Kita akan ngopi."

***

Aku tidak terkejut saat tahu kalau rumah Maya sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampus. Ini membuat kemunculannya di lobi fakultas waktu lalu jadi masuk akal.

Sambil memberi salam dalam hati seperti yang diajarkan dalam budayaku, aku melewati gerbangnya dengan kaki kanan menapak lebih dahulu. Rumah yang Maya tinggali berlantai 2. Ada halaman dan teras yang mungil memisahkan gerbang dan bangunan utama. Di sana, Maya memelihara tanaman sukulen dan kaktus di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung. Banyak sekali. Rumah minimalisnya jadi terkesan kering.

"Mereka mudah dipelihara," tanggapnya. Tangannya masuk ke dalam tas. Meronggoh kunci.

Aku berpikir sebaliknya. Mereka mahal dan lambat tumbuhnya. Aku membungkuk untuk meneliti lithops di dalam pot tanah liat.

"Aku tidak perlu rajin menyiram mereka." Maya memandangiku. "Ya... mereka lambat. Aku bahkan tak bisa membedakan mana yang sudah sekarat atau masih hidup sehat. Tapi aku menyukai mereka." Akhirnya Maya mengaku. Ia menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Koleksimu terlihat lengkap," sahutku.

"Aku senang ada yang mengakuinya." Maya membuka kunci rumahnya. "Masuk."

Aku menyudahi penelitian kecilku. Kutegakkan badanku. Aku memukul-mukul pinggang sambil mengikutinya.

"Duduklah, aku akan membuat kopi. Apa kamu butuh piring untuk sarapanmu?" Maya melirik bungkusan yang kubawa.

Sambil masih mengamati isi ruang tamu aku mengangguk. "Terimakasih. Apa kamu tinggal sendirian?"

"Ya..." jawab gadis pemilik rumah dari dapur.

Aku duduk di sofa. Menunggu kopi dan piring yang dijanjikan Maya.

"Aku sudah cerita padamu kan?" Ia mengingat-ingat. "Aku tinggal sendiri. Ibuku tidak tahu di mana aku tinggal."

"Bagaimana dengan ayahmu?" tanyaku ringan sambil menuang sarapanku ke atas piring.

Maya mengerucutkan bibirnya.

"Maaf, pertanyaanku banyak ya?"

"Hubunganku dan ayah lebih baik dari hubungan kami dengan ibuku."

"Anak ayah." Aku tersenyum. Maya membalasnya. Ia duduk di sebelahku.

"Uhm, Alesia. Kamu ingin membahas yang semalam?" Maya fokus pada pemukaan cangkir. Ia tidak menoleh.

Aku mengunyah. Menelan. Kembali pada Maya. "Permintaan maaf saja sebenarnya sudah cukup. Aku tak perlu tahu kenapa kamu melalukannya kan?"

"Begitu caramu melindungi diri sendiri?" Maya ofensif.

"Aku bukan lesbian, Maya."

"Aku minta maaf."

"Tapi, aku tak masalah kalau kita berteman." Ada rasa tidak rela ketika aku mendorong topik itu menjauh. Aku merasa gerah sekaligus nyaman bersama Maya. Aku risih. Tapi aku ingin tetap tinggal. Dan untuk perasaan aneh itu, aku tak mau mengorbankan apa yang aku menggerti selama ini.

"Aku tidak tahu."

Aku menelan kunyahan terakhir dan menyisip kopiku. "Kamu tak mau berteman denganku? Oh, aku tahu kenapa kamu nampak terpaksa tadi." Aku menyesal telah memaksanya membawaku ke rumahnya. "Maya, aku harus pulang."

Maya menahanku. "Bukan. Aku tidak tahu kenapa aku menciummu kemarin." Maya mengedip. "Kamu bersikap seolah kamu ingin aku melakukannya."

"Ck... Jangan bercanda."

"Aku tidak berbohong. Kamu membuatku merasa begitu." Maya berujar cepat. "Apa kamu tidak merasakan apa-apa?"

Aku melongo. Jantungku berdetak keras. Deg. Lalu aku tak merasakannya lagi. Kecuali panas. Telingaku bising. Angin hangat menyapu wajahku. Aku ingat baru saja menyambarnya. Telapak tanganku menangkup pipinya. Lengannya aku kalungkan di leherku. Bibirku basah. Juga bibirnya. Lalu aku tersadar. Dan aku tidak berbuat apa-apa. Lalu dia tersadar. Dan ia mendorongku.


5. Kopi Pagi Ini GXG  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang