Pagi ini terasa begitu sejuk dengan sisa-sisa air hujan yang masih menggenang di tanah maupun dedaunan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Meyra berjalan disepanjang koridor sekolah menuju kelasnya. Gadis itu baru saja menduduki bangku kelas sepuluh beberapa bulan lalu. Nama lengkapnya, Meyra Anindita. Rambut hitam legamnya terbalut kerudung, tinggi tubuhnya tak sampai 170 cm, pandangannya lurus kedepan tanpa menghiraukan bisikan-bisikan yang kerap melukai hati kecilnya.
Sesampainya di kelas, Naya menepuk pelan bahunya. "Mey, ditunggu Bu Resti di ruang BK." Gadis itu menghela napas berat. Sudah ia duga, pertengkaran dirinya dengan Wila kemarin pasti telah sampai ke telinga para guru.
Hari itu, tak ada senyum tulus yang Meyra pamerkan setelah ia keluar dari ruang BK. Gadis itu berjalan pelan sambil menatap kosong surat panggilan wali murid yang Bu Resti hadiahkan padanya pagi tadi. Meyra tidak tahu bagaimana caranya ia memberikan surat itu pada sang kakak, Mirza. Gadis itu benar-benar gusar, hingga tanpa sadar langkahnya telah sampai di pekarangan rumah.
Senyum hangat Mirza selalu menyambutnya di depan rumah. Usia keduanya terpaut lima tahun. Semenjak nenek mereka meninggal, Meyra dan Mirza hidup berdua dirumah peninggalan orang tua mereka. Sejak saat itu pula, Mirza mengambil peran, menjadi seorang kakak, ayah, dan ibu untuk adik kecilnya. Laki-laki itu tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Ia harus bekerja demi melanjutkan hidupnya dengan sang adik.
Sedangkan orang tua mereka, sudah lebih dulu meninggalkan keduanya, jauh sebelum sang nenek meninggal. Sang ayah ketika usia Meyra tiga bulan dalam kandungan dan sang bunda empat hari setelah melahirkan Meyra, meninggalkan Mirza dan Meyra bersama sang nenek. Jadi, tak heran jika rasa sayang antara keduanya begitu kuat. Terlebih, setelah sang nenek ikut pergi sekitar lima tahun lalu.
"Assalamualaikum." Setelah mengucap salam, Meyra mengecup punggung tangan sang kakak.
"Wa'alaikumsalam. Cantiknya Kakak udah pulang. Gimana hari ini?" Mirza tertegun kala didapatinya sang adik terdiam dengan kepala tertunduk sambil meremat ujung surat yang dipegangnya.
"Kenapa, Ra?" Perlahan gadis itu menyodorkan surat panggilan wali murid di tangan kanannya pada sang kakak.
"Meyra minta maaf," lirihnya.
Mirza menghela napas setelah membaca isi surat tersebut, lantas kembali tersenyum. "Berantem sama Wila lagi?"
Meyra mengangguk. "Meyra dorong Wila sampai tangannya lecet karena jatuh. Meyra tahu kalau Meyra salah. Tapi, Wila yang mulai, Kak. Wila selalu ganggu Meyra, ngerendahin Meyra, dan menghina Kakak. Meyra nggak suka."
Tangan Mirza terulur, mengusap sayang punggung sang adik tanpa melunturkan senyum andalannya. "Kakak ngerti, Ra. Masuk dulu, ya? Pasti capek, kan? Besok Kakak anter, abis itu nemuin Bu Resti." Meyra mendongkak, kemudian seulas senyum tipis menghias wajahnya. Hatinya terus memanjatkan rasa terimakasih pada Tuhan yang telah menyisakan Mirza dalam hidupnya.
Aroma menenangkan yang dicipta hujan memberikan rasa nyaman untuk setiap insan yang menghirupnya. Tak terkecuali Meyra. Gadis itu duduk di lantai ruang tamu dengan senyum lebar yang terpatri di wajahnya, sambil melihat hujan lewat jendela kaca. Ia begitu menikmati hujan malam ini meski tak menyentuh airnya.
Meyra menoleh kala pipi kirinya dicubit pelan oleh Mirza, lantas berdecak pelan. "Apaan, sih kak."
Laki-laki itu tersenyum kecil ketika sang adik menyandarkan kepala di bahunya. "Berat, ih. Aleman banget sih." Meyra tak menjawab. Matanya masih terfokus pada rintik hujan di luar.
"Kak, Meyra suka hujan. Aromanya menenangkan, airnya mampu menyamarkan air mata ketika Meyra menangis di bawah guyurannya, suaranya pun mampu meredam suara isakan Meyra." Hampir setiap hujan gadis itu berkata demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Untuk Meyra
Storie breviMari kita lihat, cerita singkat dari perjalanan seorang penjaga. Meyra Anindita bukan remaja yang sempurna. Bahkan masih jauh dari hal itu. Maka sambil memeluk erat-erat kesayangannya, gadis itu meminta, "Sudilah menjadi temanku Yang Mulia." ..... ...