Tubuh mungil berbalut baju lengan pendek dan celana sebatas lutut berwarna putih itu berjalan memasuki sebuah ruangan khusus yang seluruh bagiannya terbuat dari besi. Pintu dibelakangnya langsung tertutup setelah kedua kaki berbalut sepatu boots hitamnya menapak sepenuhnya di dalam ruangan.
Manik kelamnya menatap datar sisi lain ruangan. Sebuah jeruji besi berbentuk persegi muncul dari permukaan lantai yang terbuka. Didalamnya berisi mahluk besar yang meraung-raung dengan ganas.
[No.14, bunuh target.]
Jeruji besi di depannya itu mulai terbuka setelah suara dari speaker yang ada di sudut ruangan terdengar. Bocah berusia sepuluh tahun itu langsung memasang posisi siaga. Mengeratkan pegangannya pada pedang yang ada di masing-masing tangannya.
Makhluk itu berlari kencang menerjang tubuh mungilnya tepat setelah jeruji besi yang semula membelenggunya terbuka sepenuhnya. Bocah berusia sepuluh tahun itu ikut berlari ke arah sang lawan. Mengayunkan kedua tangannya dengan cepat, membuat luka sayat yang panjang dan dalam di leher juga perut lawannya.
Tubuh yang berkali lipat lebih besar darinya itu langsung ambruk. Raungan kerasnya mengalun, memenuhi ruangan luas yang hanya diisi oleh keduanya.
Sebuah seringai terlukis di bibir bocah yang dipanggil no.14 itu ketika melihat tubuh besar yang sudah bersimbah darah di depannya masih bisa kembali bangkit. Mengayunkan cakar besar itu ke arahnya.
Dalam sepersekian detik kedua lengan dengan cakar besar itu terpisah dari tubuhnya. Jatuh ke lantai diiringi raungan keras yang memekakkan telinga.
Namun setelah si bocah no.14 menancapkan pedangnya di kepala sang lawan, raungannya terhenti diikuti tubuh besarnya yang ambruk ke lantai.
[Target terbunuh. Misi selesai. No.15, masuk ke ruangan.]
Manik kelam itu menatap dingin tubuh besar tak bernyawa di depannya. Seringainya memudar, kembali menjadi sebuah garis datar. Ia tidak merasa terganggu sama sekali dengan darah yang mengotori dua tangan, baju dan wajahnya.
Dengan santai ia menarik kembali pedang miliknya yang menancap di kepala makhluk itu. Mengibaskannya sedikit ke arah samping untuk membersihkan darah yang menempel di sana.
Kakinya melangkah menuju satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu. Berpapasan dengan bocah lainnya yang hendak masuk. Ia hanya melirik sekilas tubuh bocah itu yang gemetar hebat dan wajahnya yang pucat. Jelas sekali bocah itu sangat ketakutan.
Tetapi ia tidak memperdulikannya dan terus membawa langkahnya untuk keluar dari ruangan itu. Pintu besi di belakangnya kembali tertutup secara otomatis ketika kedua kakinya sudah berdiri di koridor panjang yang menjadi penghubung ruangan-ruangan lainnya.
"Park Jisung, benar?
Mendengar namanya dipanggil, kepala dengan surai kelam yang sedikit panjang itu menoleh ke arah sumber suara. Ia langsung disambut oleh senyum hangat seorang pria dewasa berpakaian serba putih yang sedang menyandarkan tubuh semampainya di dinding lorong itu.
Jisung tidak menjawab. Tatapannya tetap datar ketika pria tinggi itu terkekeh pelan kemudian berjalan mendekat dan meraih pipinya, menghapus darah yang ada disana dengan tangan besarnya.
"Apa kau mau keluar dari tempat ini?"
Pertanyaan itu berhasil membuat kedua mata yang semula hanya memasang sorot kosong itu mulai memancarkan sedikit binar. Menandakan bahwa si bocah Park mulai tertarik.
Si pria dewasa mendekatkan bibirnya ke telinga Jisung dan berbisik pelan disana.
"Kembalilah ke sel mu. Ambil barang yang kau anggap penting, lalu pergi ke balkon. Tunggu disana. Kau mengerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Swan [Chenji / Jichen] ✓
FanfictionTidak banyak yang mengetahui bahwa lembutnya bulu para angsa itu dapat menyembuhkan sekaligus mematikan dalam waktu bersamaan.