05

107 16 0
                                    

Jisung yang sedang berbaring di ranjang milik Chenle memeriksa ponselnya yang bergetar di saku celananya, mendapati sebuah pesan dari sang ketua.

Bertepatan dengan itu Chenle keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Jisung segera membantunya hingga terduduk di ujung ranjang.

"Baby, aku harus pergi, ketua memanggilku. Apa kau tidak masalah kutinggal sendirian?"

Chenle menatap sang kekasih dengan bingung. Kemudian mengecek ponselnya yang berada tak jauh dari tempatnya duduk.

"Misi baru? Kenapa aku tidak mendapatkan pesan apapun?"

Jisung berlutut dihadapan sang kekasih yang kini kembali menekuk wajahnya.

"Kondisimu masih seperti ini, sayang. Ketua pasti tidak akan menugaskanmu terlebih dahulu."

"Tetap saja itu tidak adil, aku bisa saja membantu Renjun-hyung di ruang kontrol, kan? Tidak bisa seperti ini, aku harus bicara dengan paman. Tolong ambilkan bajuku, Jisung"

Jisung menghela nafas sembari berjalan menuju lemari sang kekasih dan mengambilkan bajunya. Setelah menyerahkan baju itu pada si empunya, Jisung berbalik selama sang kekasih mengenakan bajunya.

Jika sudah seperti ini, dibujuk bagaimanapun sang kekasih tidak akan mendengarkannya. Jadi ia hanya bisa pasrah ketika Chenle meminta bantuannya untuk berjalan menuju ruangan sang ketua. Menerobos masuk kedalam ketika pamannya itu sedang bersiap untuk menjelaskan rincian misi baru tersebut.

"Paman, kenapa kau tidak mengirim pesan misi padaku?!"

Junmyeon dengan santai terus membaca kertas-kertas yang ada di genggamannya.

"Paman!"

Akhirnya pria yang sudah menginjak kepala tiga akhir itu mengalihkan atensi pada sang keponakan.

"Kau masih sakit." Jawabnya singkat sebelum kembali membaca kertas-kertas di tangannya.

"Aku sudah sembuh, paman! Ayolah, ini sudah lewat dua minggu."

Junmyeon menatap dalam diam sang keponakan yang sedang berusaha membujuknya. Sementara enam orang lainnya yang ada di sana hanya bisa berdiri dalam diam. Menonton perdebatan panas antara paman dan keponakannya yang sudah berlangsung selama sepuluh menit itu.

Junmyeon tetap tak bergeming dari kursinya. Manik kelamnya menatap lurus pada Chenle yang berdiri di depan mejanya. Kedua tangan anak itu terkepal di sisi tubuhnya.

"Lukamu masih dalam masa pemulihan." Jawabnya tenang.

Chenle menggigit bagian dalam mulutnya mendengar jawaban sang paman. Kepalanya tertunduk dalam. Kepalan tangannya semakin mengerat.

"Kau belum bisa bergerak bebas. Akan sangat berbahaya jika membiarkanmu turun ke lapangan untuk misi kali ini. Pilihan terbaik bagimu saat ini adalah istirahat dan fokus pada pemulihan agar kau bisa secepatnya kembali menjalankan misi yang lainnya. Kau mengerti?"

Chenle bungkam. Junmyeon bangkit dari duduknya, menghampiri sang keponakan yang masih menundukkan kepalanya. Sebelah tangannya meraih kepala bersurai karamel itu untuk ia beri usapan pelan.

"Aku anggap itu sebagai 'ya' darimu. Sekarang kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah. Nona Kim sudah menunggu di sana untuk mengganti perbanmu."

Kemudian Junmyeon melirik salah satu dari enam orang yang berdiri disana. "Jisung, tolong antarkan Chenle ke kamarnya–"

"Tidak perlu, aku bisa sendiri."

Chenle langsung berbalik menuju pintu, keluar dari ruangan sang paman dengan langkah lebar-lebar. Junmyeon menghela nafas pelan setelah punggung mungil sang keponakan menghilang di balik pintu. Beralih menatap enam orang yang sedari tadi terdiam di sana, menjadi penonton setia drama itu.

"Baiklah. Kita lanjutkan penjelasan untuk misi kali ini."


°°°


"Noona, memangnya masa pemulihanku berapa lama lagi?"

Wanita berkacamata itu tersenyum kecil. "Masih sekitar dua minggu lagi, tuan muda."

Chenle mengerang. "Lama sekaliiii."

"Anda harus bersabar sedikit lagi. Nah, sudah selesai. Kalau begitu saya pamit undur diri terlebih dahulu."

Pemuda garis keturunan Zhong itu mengangguk kemudian merebahkan tubuhnya ke ranjang setelah perbannya selesai diganti oleh dokter muda itu.

Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia kesal setengah mati karena perkataan sang paman saat di ruangan nya tadi memang benar. Bahu dan kakinya masih nyeri bila digunakan untuk melakukan hal-hal yang berat atau gerakan-gerakan yang terlalu aktif.

'Peluru sialan.' batinnya kesal.

Chenle memejamkan mata. Berniat untuk tidur siang. Namun, baru saja beberapa detik terpejam, kedua manik sewarna madunya kembali terbuka lebar.

'Kalung baba!'

Chenle segera bangun dan melompat dari ranjangnya. Membuka lemari bajunya, mengobrak-abrik isi laci yang ada di dalam sana.

"Ketemu!"

Dengan semangat ia mengambil sebuah kotak kecil sewarna malam dari laci. Senyumnya merekah ketika mengeluarkan sebuah kalung dengan bandul berbentuk bulan sabit dan kristal berwarna biru muda berada di tengahnya dari dalam kotak itu. Kalung peninggalan mendiang sang Baba.

"Aku hanya akan menggunakannya sedikit. Jadi, tidak akan masalah."

Chenle terkikik kecil setelah mengatakannya. Ia kembali mendudukkan dirinya di tepi ranjang, memakai kalungnya, kemudian memejamkan mata. Cahaya keemasan mulai berpendar lembut dari kalungnya ketika ia bersenandung pelan.

Perbannya terlepas perlahan, kemudian muncul bulu-bulu berwarna putih di sekitarnya. Menempel dan menutupi lukanya yang sudah setengah pulih.

Rasa nyeri di bahu dan kakinya perlahan hilang. Cahaya keemasan yang melingkupi tubuhnya juga mulai meredup. Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya terbuka.

Chenle ingin melihat siapa yang datang. Namun, ia merasa sangat mengantuk. Sehingga hanya mampu membuka kelopak matanya setengah.

Meski pandangannya kabur, ia masih bisa menangkap figur familiar seseorang yang masuk ke kamarnya. Chenle ingin tertawa melihat raut terkejut di wajah itu. Tetapi tenaganya seakan disedot habis. Akhirnya ia hanya bisa mengembangkan sebuah senyum di bibirnya.

"Jie…" lirihnya pelan sebelum tubuhnya ambruk ketika kesadarannya hilang sepenuhnya.

"Chenle!"

°°°


Jisung buru-buru menyusul sang kekasih setelah penjelasan misi baru mereka selesai. Firasatnya benar-benar tak enak. Apalagi ketika melihat pendar keemasan yang menembus celah pintu kamar sang kekasih yang sedikit terbuka.

Firasatnya benar. Saat ia masuk ke kamar bernuansa putih itu, pendar keemasan yang tadi menembus celah-celah pintu sudah memudar dan bulu-bulu angsa berwarna putih bertebaran di sekitar sang kekasih.

"Jie.."

Beruntung Jisung berhasil menangkap tubuh sang kekasih sebelum jatuh ke lantai.

"Chenle!"

Ia menepuk-nepuk pelan pipi pemuda garis keturunan Zhong itu. Berusaha membuatnya sadar, tetapi gagal.

Jisung segera mengangkat tubuh mungil itu dengan hati-hati dan memindahkannya ke atas ranjang. Menyeka keringat dingin yang membasahi dahi sang kekasih.

Melepaskan kalung yang melingkari leher pemuda itu, dan menaruhnya kembali ke dalam kotak sewarna malamnya. Kemudian duduk di samping sang kekasih sembari menenggelamkan tangan mungil itu dalam genggamannya.









To be continued...

Black Swan  [Chenji / Jichen] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang