Malam pesta diiringi dansa, bau asmara menyeruak mengikuti bunyi biola dan aroma bunga-bunga masih saja segar kendati telah dipotong sejak senja. Berkah cinta, kata orang-orang. Seluruh wajah di acara pernikahan ini bersuka cita, sembari berharap-harap bisa menemukan kekasih yang serupa.
Kecuali kehadiran seseorang yang datang terlambat, menemui salah satu pengantin yang adalah kakak seibunya itu. Wajahnya kelihatan malas, seolah hadir ke acara ini adalah perkara nirguna yang hanya akan membuang tetes keringatnya.
"Eunseok! Kau dat‐ Oh Tuhan dresscodenya biru muda, bodoh!" Karina si pengantin yang tengah berkeliling akhirnya menemukan pula eksistensi sang adik. Yang datang masih dengan wajah dingin ogah-ogahannya yang khas itu. Dan, ya. Dia datang dengan setelan hitam, dipastikan tidak terlalu peduli untuk membaca dresscode pada undangan. Tapi siapa peduli, ini Song Eunseok; pangeran yang sejak melewati pintu dengan wajah tajamnya itu sudah berhasil merebut perhatian sekitar. Syukur yang menikah adalah istri dengan istri, jadi tidak ada yang perlu kalah saing ketampanannya dengan si tamu kurang ajar.
"Perlu sekali ya, meliburkan orang satu kantor lalu memboyong semuanya ke Tokyo untuk hajatanmu seperti ini?" Lidah pahit Eunseok yang tak tanggung-tanggung mencerca pernikahan orang. Tapi sungguh, meskipun kekasih Karina orang Jepang tapi bisa kan acaranya di Seoul saja? Karina benar-benar memamerkan uangnya dengan mem-booking akomodasi serta penginapan untuk seluruh karyawan perusahaan yang mereka kelola bersama.
"Sengaja. Biar laki-laki gila kerja sepertimu tahu apa namanya relaks sejenak, lihatlah kantung matamu yang–"
"Kak Karin"
Percakapan sebelumnya terpotong, oleh kehadiran seorang pemuda yang juga baru sempat menyalami pengantin kendati sudah hadir sejak awal pesta. Salah seorang adik sepupu yang langsung disambut Karina penuh suka cita.
"Hanbin! Aku sempat khawatir kau tidak datang karena demam dan– oh," tatapan wanita baik hati itu beralih pada seseorang yang digandeng oleh si adik sepupu, tatapan yang juga diikuti oleh seseorang yang juga berdiri di situ sebelumnya. "Park Wonbin? So it's a Bin Bin coup–""Tidak, Karina-ssi" Suara lembut itu kendati memotong ucapan seseorang, tetap saja terdengar sopan. Tentu karena yang mengucapkannya adalah seorang Park Wonbin. Pemuda yang hari ini tampak seperti potongan rembulan yang pelan-pelan diletakkan ke bumi berkat pakaian warna biru pucatnya. Wajahnya yang sudah karuan ayu itu dirias sangat tipis saja namun presentabel untuk pernikahan salah satu petinggi perusahaan yang ia hormati ini. Apalagi dia datang digandeng seorang Sung Hanbin yang dipuja-puja itu.
"Kami hanya kebetulan datang bersama" tambahnya menghindari kesalahpahaman. Kesalahpahaman seseorang yang lain."Kebetulan, kebetulan sejak undangannya disebar kan, Wonbin?" Hanbin yang tidak bisa diajak kerja sama, justru terang-terangan mengabarkan jika mereka memang janjian. Tapi wajar bukan, dia ingin sedunia tahu jika dia mulai dekat dengan primadona perusahaan yang wajahnya hanya dilahirkan seribu tahun sekali itu.
Interaksi mereka tidak berlangsung lama, alasan haus menjadi trik jitu untuk segera undur diri. Meminimalisir kekacauan pribadi di hari bahagia Karina ini. Telah menjauh beberapa langkah, Wonbin masih dapat merasakan pandangan panas seseorang melubangi punggunya, Song Eunseok. Sangat tidak sopan, namun apa yang boleh Wonbin tuntut dari pria itu, sedang dirinya sendiri hanyalah seorang mantan sekertaris pribadi, yang sudah lama diinjak-injak harga dirinya oleh seorang Song Eunseok.
○●○●○●○●○●○●
"Wah, eks sekertarismu itu memang kembang bagi kumbang ya? Hanbin pergi sebentar saja dia sudah dikerumuni banyak pria. Aku mau antri juga lah"
KAMU SEDANG MEMBACA
One Last Catastrophe [Seoknen]
FanfictionPesta penuh cinta di negeri tetangga, dan Eunseok kembali melihat sosok itu. Park Wonbin, kelinci kecil yang mencuri hati Eunseok, menyakuinya sampai ke rumah, lalu menyiraminya dengan air mata tiap subuh dan malam. Andai saja Eunseok mau mengakui p...