Sebuah kafe di pinggir kota menghangatkan suasana di malam hari. Para pelayanan sibuk melayani tamu yang berdatangan, tak terkecuali dengan Lilian. Dia tampak begitu bersemangat saat melayani tamu dan membersihkan meja yang kotor.
Ini kali pertamanya dia bekerja, setelah puluhan lamaran ditolak karena fisiknya yang kurang menarik. Dia begitu bersyukur saat bisa mendapatkan pekerjaan di sini dan berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik.
Kini Lilian kembali ke dapur, mengambil pesanan pelanggan dan pergi membawanya ke luar. Pesanan itu dia letakkan di meja yang sesuai sambil menyebutkan menu-menu yang dia bawa, "Dua red velvet cake, satu croissant original, milk coffee, dan satu lemon tea." Senyumnya terpancar setelah menghidangkan semua makanan, pelanggan hanya mengangguk dan acuh.
"Mbak!" Seseorang dari meja sebelah memanggil Lilian dengan ekspresi tak mengenakan.
Lilian menghampiri dengan senyuman sambil bertanya, "Iya, ada yang bisa saya dibantu?"
Pria berbaju polos dengan jaket kulit itu terlihat marah, menunjuk ke arah minumannya yang sisa setengah. "Saya meminta kopi tanpa gula, tetapi apa ini? Rasanya sangat manis, bahkan bisa dibilang ini hanya air hitam dengan gula!" ucap pria itu dengan nada tinggi.
"Mohon maaf atas kekeliruan ini, saya akan menggantinya sesuai dengan pesanan." Lilian membungkuk sebagai permintaan maaf, dia ingin mengambil gelas kopi tersebut. Namun tangganya segera ditepis dengan kasar.
"Tidak perlu! Saya sudah malas untuk minum di sini, ditambah dengan karyawan yang kurang menarik seperti dirimu, lebih baik saya pergi ke tempat lain saja." Pelanggan menunjuk Lilian dengan kesal, seolah ini semua adalah salah dari Lilian.
Sebelum beranjak dari duduknya, pria itu langsung dihadang oleh salah satu karyawan. "Permisi, Mas! Mohon maaf atas kesalahan teman saya! Jangan menilai kafe ini dengan buruk hanya karena satu karyawan. emas tunggu di sini dan saya akan bawakan minuman yang sesuai dengan pesanan." Dengan senyuman manisnya karyawan wanita itu merayu si pelanggan agar tidak pergi.
Melihat tampang yang begitu cantik, pelanggan itu mengangguk dan berkata dengan malas, "Ya sudah, cepat!"
"Baik!" Wanita itu pergi sambil menarik Lilian ikut bersamanya menuju dapur.
Sesampainya di dapur Lilian langsung dihujani kata-kata umpatan disertai amarah. "Kau ini bagaimana? Menangani pelanggan seperti itu saja tidak bisa! Bagaimana jika dia memberitakan hal negatif tetang kafe inj?" Mata wanita itu menatap tajam ke arah Lilian, karyawan yang ada di dapur hanya memandang sekilas sebelum kembali ke pekerjaan masing-masing.
"Maaf, tetapi—" Ucapan Lilian yang lemah segera dipotong oleh rekan kerjanya itu.
"Ah sudahlah! Tak ada gunanya meminta maaf! Lain kali masalah seperti ini tak perlu kau urus. Kau harusnya sadar kan tampangmu itu tak menarik sama sekali. Kembalilah bekerja dan jangan membuat masalah lagi." Wanita itu melenggang pergi membawa pesanan, tanpa memedulikan perasaan Lilian atas ucapannya.
"Masalah? Apa salahku? Apa memilik wajah jelek adalah hal yang salah?" Lilian berpikir dalam benaknya, sambil menahan air mata dia menundukkan, rasa malu, kesal, dan marah bercampur menjadi satu. Namun dia tak dapat berbuat sesuatu atau mengekspresikannya.
Salah seorang karyawan menepuk punggungnya, menyodorkan nampan berisi makanan dan minuman untuk pelanggan. "Antar ini!" Lilian menahan emosinya dan menerima nampan tersebut.
"Baiklah," ucapnya lemah, berjalan keluar dari dapur dengan mengulas senyuman tipis, berusaha menutupi kesedihan di hati kecilnya.
****
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, Lilian baru saja pulang setelah pekerjaannya yang melelahkan. Berbaring telentang di atas kasur lantainya, Lilian mengembuskan napas kasar. Matanya tertutup, teringat dia dengan kejadian beberapa waktu lalu di tempat kerja.
Air mata secara langsung turun dari ujung matanya, rasa sesak yang menumpuk di dada segera dia luapkan. Sedikit lega dapat menangis, akan tetapi hatinya masih tak baik-baik saja.
Lilian tak mengerti dengan orang-orang di sekitarnya, mereka secara tidak langsung menuntut Lilian untuk menjadi cantik. Namun di sisi lain, perubahan drastis yang dapat dia lakukan untuk bisa menjadi cantik justru membuat orang mungkin akan lebih membencinya.
"Lalu aku harus apa? Menahan semua ini sendirian membuatku lelah." Tangis Lilian menjadi makin deras. Untunglah dia tinggal sendirian, jadi tak perlu takut jika seseorang mendengar tangisnya.
*Kring!*
Dering telepon membuat Lilian segera menghentikan tangisnya. Melihat siapa yang menelepon, Lilian berusaha keras menenangkan diri sebelum akhirnya mengangkat telepon.
"Halo!" ucap Lilian dengan tegas, berusaha menutupi suaranya yang agak bergetar karena tangis barusan.
"Halo, Kak!" balas sanga adik dari seberang telepon. "Kakak menangis?" lanjut adiknya, menyadari perbedaan pada suara Lilian.
"Eh! Tidak kok." Lilian mengelak, kali ini dia berusaha menutupinya dengan tawa hambar yang dibuat-buat.
"Kakak jangan bohong! Devan tahu, kakak habis menangis. Ada apa, kakak bisa cerita apa saja denganku." Suara lembut Devan dan pengertiannya memberikan ketenangan bagi Lilian.
"Tidak apa! Kakak hanya merasa kesepian, teman kakak ditempat kerja kurang baik." Lilian tidak mengungkapkan semua isi hatinya, dia tak ingin adiknya merasa khawatir.
Devan sedang melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi dan jauh dari kota Lilian bekerja. Saat merasa khawatir dengan kakaknya, laki-laki itu bisa saja datang ke tempat Lilian dan meninggalkan tugas-tugas kuliahnya. Itulah yang membuat Lilian tak pernah mengeluh pada adiknya, padahal Devan merupakan satu-satunya keluarga yang dia miliki.
"Mereka bersikap buruk kepada kakak?" Suara Devan meninggi, terdengar begitu marah dan ingin melindungi kakaknya.
"Ah tidak! Jangan berlebihan, mereka hanya kurang cocok saja denganku." Suara Lilian mulai membaik, dia tersenyum lebar ketika mengetahui betapa sayangnya sang adik kepadanya.
"Benarkah?" tanya Devan, meyakinkan dirinya sendiri.
"Huum." Lilian mengangguk, dia bangkit dari posisi berbaringnya. Mengambil botol minum di atas meja, lalu meneguknya.
"Baguslah!" Devan mengembuskan napasnya sebelumnya melanjutkan ucapannya, "maaf karena akhir-akhir ini aku jarang menelepon, tugas kuliahku menumpuk, tetapi jika kakak mengalami kesulitan telepon saja aku atau aku akan datang dan membantu kakak!"
Sudut bibir Lilian kembali terangkat, "Iya, tak apa, kakak mengerti kamu pasti sibuk. terima kasih, kamu begitu peduli pada kakak. maaf, kakak tak bisa memberikan uang kepadamu." Gadis itu merasa bersalah mengingat adiknya harus bekerja sendiri untuk berkuliah.
"Jangan pikirkan hal itu! Saling terhubung dengan berkomunikasi seperti ini dan perhatian dari kakak sudah cukup bagiku." Aura positif yang Devan bawa membuat semua pikiran buruk dibenak Lilian perlahan terhapus.
"Terima kasih!" Rasanya tak cukup Lilian mengucapkan terima kasih, dia begitu bangga dan beruntung memiliki adik seperti Devan.
"Berhenti mengucapkan terima kasih! Aku ini memang anak baik, tetapi kan aku tak sepintar dirimu." Devan berusaha merendah diri. "Oh ya, kakak bilang tadi kakak begitu kesepian dan butuh teman kan? mengapa kakak tidak mencoba bermain game saja untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru? dahulu kan kakak suka sekali bermain game, siapa tahu nanti kakak bisa mendapatkan pacar sepertiku. Hehe...."
"Pacar?" Lilian terkejut dengan ungkapan adiknya, dia tak pernah tahu Devan punya pacar.
"Eh... itu.... Astaga! Aku lupa! Aku harus mengerjakan beberapa tugas untuk besok. Ini sudah malam sekali. Nanti aku telepon kakak lagi. Aku akan mengirim game yang aku mainkan lewat pesan. Sampai jumpa!" Telepon segera ditutup tanpa menunggu balasan dari Lilian.
Tak lama sebuah pesan masuk dari Devan, dia mengirim tautan game yang dia bicarakan. "Aku berhenti bermain karena sering lupa waktu. Apa aku harus bermain lagi untuk melupakan kehidupan nyataku?"
Bimbang dengan ala yang harus dia pilih, pada akhirnya tangan Lilian menekan tautan itu dan mengunduh gamenya.