"Woi.. melamun aja" senggol Tama, "jawaban yang pertama kayaknya salah"
"Bim, mau seberapa nilai lu tetep aja bakal jadi peringkat pertama" ujar Tama menepuk bahu Bima, "udah denger kabar kalau kita mau akuisisi?"
"Bukannya itu udah berita lama? Dari dua tahun lalu sampe sekarang gak terjadi apa-apa" Bima masih membolak-balik kertas ujiannya, "Pak Dani kabur bawa uang yayasan, yakali gak ada akusisi. Lagian sekolah kita punya banyak fasilitas yang bikin dana ikut membengkak" jelas Tama
"Mau akuisisi atau enggak, yang jelas kita tetap bakal lulus dari SMA Karya Bhakti"
"Bim, tapi lu gak tau kan sekolah mana yang bakal gabung?"
"Pak Farhan tadi manggil, gua cabut duluan ya. Nanti ketemu di kelas, kalau guru bahasa nanya bilang aja ada di kantor" pamit Bima menjauhi Tama yang masih asik memainkan game di ponselnya.
Bima sampai di ruang guru dan menghadap pak Farhan, atau bisa dibilang kakak kandungnya yang memang bekerja di sekolah Karya Bhakti.
"Kamu tau kabar akuisisi kan?"
"Bukannya itu cuma cerita lama?"
"Kamu bawa surat ini ke sekolah Cendrawasih, tanya aja penjaga keamanan di depan gerbang nanti kamu bakal di tuntun ke ruangan kepala sekolahnya" jelas Farhan menyodorkan sebuah amplop cokelat.
Bima hanya menurut, toh jarak kedua sekolah sangat dekat karena masih berada di satu wilayah.
Berbeda dari apa yang dikatakan kakaknya, di depan gerbang sama sekali tidak ada penjaga, meski begitu ia tetap masuk dan mulai menginjakkan kaki di sekolah khusus putri pertama kalinya. Ntah apa yang akan terjadi karena ia tidak tau sama sekali denah ruangan sekolah tersebut.
Bima hanya berjalan lurus melewati beberapa siswi yang masih meramaikan koridor sekolah, tatapan aneh mendarat padanya. Mungkin agak aneh saat ada siswa Karya Bhakti yang masuk daerah Cendrawasih tanpa pemberitahuan sebelumnya.
"Perpustakaan?" Gumamnya yang kemudian terdengar suara dari bawah kakinya. Bersamaan dengan hadirnya seorang siswi yang berdiri di hadapannya,
"Maaf gak sengaja" siswi itu hanya memandangi pensilnya yang sudah terbelah jadi dua, kemudian kembali ke bangkunya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Bima masih terdiam memandangi gadis itu, seperti tidak asing tapi tidak bisa diingatnya. Ditangannya masih ada titipaj Farhan, niay hati untuk bertanya ia urungkan. Sepertinya siswi itu sedikit tertutup dan bisa jadi tidak akan bisa mengantarnya ke ruang kepala sekolah.
Tak jauh dari perpus ia melihat siswi lain sedang berjalan seorang diri, "maaf.. bisa antar saya ke ruang kepala sekolah?" Tanya Bima yang dibalas dengan tatapan aneh dari lawan bicaranya, "anak Karya Bhakti?"
"Iya.."
"Lurus aja, nanti di sebelah kanan itu ruangannya" Bima sedikit membungkuk dan mengikuti arahan, ternyata tidak terlalu jauh dari perpustakaan.
Mengetuk pintu beberapa kali hingga terdengar suara dari dalam, Bima menyampaikan maksud kedatangannya. Tak perlu waktu lama ia sudah bisa keluar dari ruangan dan memutuskan kembali ke sekolah.
Di dekat gerbang masuk terlihat Tama menatap jam tangannya berkali-kali. "Ngapain disini?"
"Gua nyariin, kemana aja sih? Kirain lu diculik sama anak sini"
"Apaan sih, lah lu ngapain?"
"Tadi pak Farhan minta gua temenin lu, bukannya ketemu sama lu malah ketemu sama perempuan serem. Padahal cantik tapi tatapannya kayak mau makan orang" jelas Tama yang sedikit tak masuk akal bagi Bima, "yaudahlah balik aja yuk".
.
.
.
.
.
.
.