Ibunya adalah satu-satunya pembicaraan yang paling sensitif bagi Arden. Arden selalu yakin ibunya sangat menyayanginya, tapi orang-orang berpikiran berbeda.
Alasan ibunya bermain dengan pria lain adalah sebuah kejemuan, karena mengurus dirinya. Ibunya tidak pernah mengatakan bahwa dia lelah mengurus Arden. Namun neneknya pernah bilang bahwa Arden adalah anak yang tidak seharusnya ada.
Ini merupakan kisah masa lalu. Sebuah kegilaan masa muda yang membuat Papanya memakai cara apapun untuk memiliki wanita yang ia sukai. Arden adalah kesalahan. Jadi sejak awal tidak ada yang namanya keluarga.
Arden pikir tidak begitu. Ibunya hanya terlalu sibuk mengurus bisnisnya dan hal-hal lain yang menjadi mimpinya. Jadi walaupun wanita itu jarang sekali melihat wajahnya, Arden yakin Ibunya masih peduli terhadapnya. Ini hanya masalah waktu.
Arden tidak peduli mengapa Ibunya tidak pernah menyempatkan waktu untuk mengambil rapornya atau hadir ketika dibutuhkan. Arden cukup dengan pertemuan mereka yang cuma beberapa kali. Ibunya akan membawakan hadiah. Benda-benda mahal yang Arden yakin sepadan dengan kasih sayang yang hendak ia tunjukkan. Tidak seperti anak-anak lain yang dibatasi ini dan itu, Arden memiliki kebebasannya sendiri. Namun orang-orang salah mengartikan hal tersebut sebagai bentuk bahwa ia tidak dipedulikan. Bagi Arden ibunya sangat mengerti dirinya. Ia memberikan kebebasan dan kepercayaan bersamaan. Itulah kasih sayang menurut Arden.
Ketika Arden memikirkan segalanya, Sandra menarik kursi di sebelahnya. "Sorry, gara-gara gue, lo jadi dihajar sama Joye."
"Jasmir yang dipukul, bukan gue." Arden mengangkat gelasnya. Cairan bening di dalamnya berguncang pelan. Mengkilap ditabrak cahaya lampu dari rak kaca di depannya.
"Joye itu terlalu gila." Sandra meletakkan tas tangannya di meja. "Entah harus gimana lagi nolaknya. Dia tetap keras kepala."
"Joye sebetulnya enggak terlalu buruk." Arden benci mengakuinya, tapi Joye memang cukup bagus untuk Sandra.
"Populer, sedikit ganteng dan bisa ngelindungi lo."
Joye bukan satu-satunya. Ada banyak cowok lain yang mengincar Sandra. Cowok-cowok gila yang tidak sungkan mendesak dengan ancaman. Sandra bilang dia terbiasa, tapi Arden cemas cowok-cowok gila itu akan melakukan tindakan yang lebih parah.
"Kenapa harus repot-repot sama Joye kalau ada lo?"
Arden berkedip. Sandra pernah mengirim sinyal bahwa dia menyukainya, tapi tidak pernah sejelas ini.
"Lo juga populer, ganteng dan—"
"Gue enggak bisa melindungi lo atau siapapun."
Arden menurunkan gelasnya lagi. Dia masih kuat, tapi jika nekat, ia pasti akan pulang dalam keadaan mabuk. Papanya akan mulai meneriaki bahwa itu semua pengaruh dari Ibunya dan Arden benci ketika ibunya dihina.
"Gue enggak perlu dilindungi siapapun."
"Joye mungkin tulus sama lo."
"Joye cuma terobsesi sama kecantikan gue. Kalau aja gue seperti Mira atau Aya, Joye enggak akan ngejar-ngejar gue."
"Gue lihat Mira sama Yuda tadi." Sandra meneruskan.
"Kenapa?" Arden tidak paham mengapa Sandra mengatakannya. Arden jelas tidak akan cemburu, karena dia tidak menyukai Mira. Itu sudah jelas.
"Gue mulai berpikir kalau jadi biasa-biasa aja lebih baik."
Sandra melambai pada bartender. Ia memesan pina colada. Minuman kesukaannya yang menurut Arden tidak enak sama sekali.
"Lo kenapa, sih?" Sandra menatapnya kesal. Arden menggosok belakang lehernya.
"Enggak tahu."
"Ada masalah sama Papa lo?"

KAMU SEDANG MEMBACA
RED | Step Sister [END]
RomanceArden itu paling ganteng se-SMA Tanjuaya. Tumbuh dengan kepercayaan bahwa semua cewek menyukainya membuat Arden menjadi cowok yang gampang mematahkan hati perempuan. Sekarang targetnya adalah Gaia atau yang biasa disapa Aya. Adik tirinya sendiri ya...