Christy : Titik Awal

660 51 13
                                    



...


Tidak banyak yang tahu—mungkin, nyaris tak ada yang tahu, bahwa sesungguhnya, dalam beberapa waktu, ia selalu iri dengan Azizi dan Marsha. Bukan, bukan iri karena Azizi—cintanya dahulu kala, pada akhirnya menikah dengan gadis pujaannya. Ia hanya terkadang iri dengan mereka berdua, mereka berdua di mata Christy adalah pasangan ideal yang sering Christy damba. Marsha bukan gadis yang sempurna, begitu juga dengan Azizi yang tak ada bedanya.

Hangat dan sederhana, tetapi saling berjuang memoles cela. Pasangan ideal, dua orang yang saling mengaitkan jari ketika terjal masalah menjajal.

Sebelum sejauh matahari, Christy dan Marsha pernah sedekat nadi. Ia sepenuhnya tahu, bagaimana terjal langkah gadis itu lalui, liku dan cadasnya, perih dan sakitnya. Lalu, Christy pikir, setelah semua yang Marsha lalui, memang Azizi yang tepat untuk gadis itu. Hidup mereka berdua, ketika bersama, lebih terkendali jalannya.

Membicarakan jalan hidup mereka, Christy tiba-tiba tersenyum sumir setelah mengeratkan cangkir tehnya.

Di ruang kosong ini, di sepetak rumah reyot ini yang apabila ditiup oleh manusia, mungkin runtuh detik itu juga. Ia mulai lagi berpikir, untuk mendapatkan bahagia yang ia damba seperti pasangan yang sedari tadi bayangannya muncul di kepala, tentunya jalan yang ditempuh tak segampang menjentikan jari.

Mereka juga berjuang mati-matian untuk itu, dan ya... itu tak mudah juga.

Ponselnya berdering sehingga meja tua itu bergetar juga. Christy angkat teleponnya ketika ia menatap layar gawai dan menampilkan nama kontak dari calon suaminya.

"Hai?"

"Hn..."

"Sudah bangun, sayang?"

Christy terdiam sebentar, kemudian kembali menarik dua sudut bibirnya untuk tersenyum. "Belum."

"Ah, aku pikir sudah."

Christy menoleh ke ambang pintu antara ruang tamu dan ruang makan dan ia temui Jesse di sapna, sedang tersenyum lebar seperti biasa sambil menempelkan ponselnya di daun telinga.

Pada satu kejadian, Christy pernah berpikir bahwa waktunya berhenti tepat di sana, di masa-masa ia dicap pecundang oleh dunia, di mana semua keputusan bodohnya menyakiti banyak hati yang merana, lalu pada akhirnya, ia menderita juga.

Christy pernah berpikir bahwa saat itu, hidupnya adalah tentang tanda koma, melanjutkan lagi, mengulang-ngulang kalimat yang sama. Tapi, setelah terjal itu ia lalui, ia mulai mengerti bahwa waktu tidak berjalan seperti bagaimana ia membayangkan jadi penjahat dan pecundang selamanya.

Selama 8.780 hari ia bernapas di dunia, ia mulai temukan bahwa hidupnya, tak selalu tentang bagaimana dirinya menjadi orang jahat di semesta, ia juga patah dan terluka, satu kejadian peristiwa memporak porandakan hati yang mulai tertata, lalu ia diantarkan pada jalan hidup yang seharusnya, mulai memahami bahwa ia juga punya cinta dan cinta itu adalah pada pria yang sekarang ada di depannya.

Sama seperti dirinya dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan di bentala, Jesse Richard tak ubahnya seperti mereka dan dirinya, makhluk yang tak sempurna juga.

Bagi Christy, bagi ia yang jatuh cinta, Jesse datang seperti pria-pria klasik yang selalu ia temukan di Novel romansa—tinggi, postur tubuhnya tegap, dengan suara bariton dan kalimat-kalimat narsisnya selalu mendengung di telinga, pribadi yang menyenangkan dan humoris akan tetapi di satu waktu, ia pria yang tegas.

Jesse begitu meyakinkan bagi Christy dan Christy percayai sampai detik ini.

Sama seperti dirinya juga, Jesse tak serta merta hidup dengan segala kelebihan, ia pun punya kekurangan juga, mereka bahkan doyan bikin huru-hara, tapi, mungkin seiring berjalan waktu yang sudah mereka lalui, saling mengerti adalah kuncinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kenapa Bukan Kita?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang