365 Hari

568 52 8
                                    

...

Dia selalu terlihat letih ketika pulang sehabis bekerja. Entah apa yang dilaluinya selama bergulir menikmati berjam-jam dengan pekerjaan yang cukup krusial dalam dunia penerbangan. Namun, beberapa kali dirinya pernah mengatakan padaku, bahwa semua yang ada di pandangannya begitu membosankan.

Bandara, apartemen, bekerja dan istirahat. Kegiatan yang amat membosankan.

Satu-satunya senyum yang bisa aku lihat dalam dirinya adalah ketika ia menatap putra kecilnya, yanh terkadang sudah istirahat di ranjang bagian kanan dengan beberapa bantal yang menjadikan benteng kanan kirinya agar tak terjatuh.

Sebelum mandi, ia biasa duduk di samping Alvaro, mengelus kening yang bermandi keringat padahal Air Conditioner menyala, menciumi tangan mungil itu kemudian hanya aku dan kamar ini yang menjadi saksi bahwa ia menangis tersedu-sedu sampai anaknya yang tidurnya lasak itu terjaga, kemudian elusan di dada kecil itu membuat sang anak kembali terlelap.

Ia belum melepaskan kemeja kerjanya kemudian menjatuhkan tubuh di sisi ranjang, menatap langit-langit kamar dengan kosong, kosong sekali.

Aku ingin memeluknya, menenangkannya, meyakinkan bahwa semuanya masih baik-baik saja.

...

"Ta."

"Ya?" Aku duduk di sampingnya, menatap dirinya yang menatap kosong pada tembok berwarna putih, dalam malam gelap dan dinginnya yang menyergap.

"Enggak apa-apa?"

Aku mengangguk saja, meski tak tahu kalimat apa yang akan ia sodorkan padaku. Tapi, aku yakin ini tentang isi hatinya.

"Aku jatuh cinta." Katanya dengan amat pelan. "Enggak apa-apa aku jatuh cinta?"

Aku tersenyum, lalu mengangguk. Aku menunggu ia jatuh cinta dan akhirnya ia merasakannya lagi, aku siap mendengarkan ceritanya lagi. "Tapi, aku keras kepala dan ia juga. Bagaimana menurutmu?"

"Aku mendukungmu, tentu."

"Dia bukan wanita tersabar sejagad raya. Dia keras kepala sama denganku. Dia juga pemarah." Ia tersenyum, senyum yang lain. Senyum yang tak pernah lagi aku temukan dalam ratusan hari yang ia lalui. "Dan aku juga, aku pemarah juga. Kamu juga tahu."

Aku mengangguk. Aku juga tahu dalam beberapa waktu, ia marah. Tapi, aku sadar, marahnya bukan sekadar marah tak beralasan. Marahnya—marah kami adalah untuk mengkomunikasikan sesuatu yang tak tersampaikan. Amarahnya tidak keras, karena ia tahu, aku adalah perempuan cengeng yang tak canggung mengeluarkan tetesan air mata jika ucapannya tak sadar berkonotasi tinggi.

"Ta, bersamanya, aku merasa aku punya keluarga yang aku damba dari dulu. Enggak apa-apa?"

"Ya, untuk bahagiamu, aku mendukungmu."

"Dia yang aku inginkan."

"Apa dia juga mencintaimu?"

Ia tersenyum, menyugar rambutnya yang panjang dan menganggu pandangannya. "Dia juga mencintaiku, kami sudah mengungkapkan isi hati kami masing-masing. Dia menerima masa laluku, dan aku... aku juga menerima masa lalunya. Kami akan memperbaiki diri. Bagaimana menurutmu, Ta?"

"Untuk sebuah perubahan yang baik, kalian harus saling membimbing untuk bahagia yang kalian inginkan bukan? Kak, aku mendukungmu. Selalu. Kejarlah bahagiamu. Kamu orang baik."

"Semoga kamu menerima keputusanku, Ta." Ia, menatap nanar pada potretku di layar gawainya.

Aku tersenyum, menyentuh lengannya. Bahagia ia adalah bahagiaku juga. Aku setuju ia kembali jatuh cinta setelah ratusan hari yang ia lalui selalu dengan derai tangis dan wajah sendu yang kacau. Aku setuju ia kembali melanjutkan hidupnya setelah yang ia ingat dalam sepanjang ia hidup hanya rasa bersalah dan dosa-dosa yang terbayang dalam ingatan dan kepala. Aku setuju ia bahagia.

Kenapa Bukan Kita?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang