KECEBONG ABDIAN #4

362 30 2
                                    

Matahari sudah terbenam sejam yang lalu, masih setia di Kediaman Bagaskara. Kini Alvino sedang belajar memasak bersama calon mama mertua yang cantik jelita dan awet muda, bahkan Alvino sempat mengira Sultanah adalah kakak perempuan Abdian.

"Kamu kenapa kok lihatin mama terus?" Tanya Sultanah sambil curi pandang ke calon mantunya, dia tersenyum lembut dan masih fokus mengiris sayur mayur dengan hati hati.

"Emm, engga apa apa ma.." jujur saja Alvino belum terbiasa memanggil wanita yang hampir seumuran dengannya sebagai ibu mertuanya, dia menunduk malu dan melanjutkan menumis potongan daging dengan hati - hati. "Kamu pasti salah paham kan karena aku kelihatan kayak kakak perempuan Bagas dari pada kayak mamanya.. hahaha udah sering kok, banyak orang yang ketipu juga." Sultanah dengan santai menjawab sambil menuang saus kecap ke tumisan daging.

"Mungkin karena itu juga Bagas jomblo sejak lahir.." sedetik setelah mendengar itu Alvino terkekeh dan mulai rileks berada dekat dengan keluarga Bagas, perlahan lahan dia membuat tempat di rumah itu. Entah sejak kapan ini terasa tak asing lagi. "Dulu aku nikah sama bapaknya Bagas pas masih umur 19 tahun loh~" baiklah kejujuran sultanah menyita perhatian Alvino.

"Itu usia yang sangat muda.."

"Bagaimana lagi, orang tua sudah mengatur.. tidak ada alasan untuk menolak kan? Ga usah takut, suamiku orangnya baik kok tapi agak tegas.."

"Semoga saja.."

Sultanah tersenyum lagi, lalu dia mematikan kompor listri itu, memerintahkan maid mengurus sisanya sementara itu dia mengajak Alvino duduk dan mengiris buah. Ada banyak hal yang ingin dikatakan oleh Sultanah, semua itu terbaca dari kedua netra indahnya. "Mama mau bicara apa? Saya akan dengarkan dengan baik" Alvino mengambil pisau buah dari tangan Sultanah, meletakkannya di atas meja marmer putih di sampingnya. "Bukan apa apa.. bentar lagi bapaknya Bagas pulang.."

Baru juga di bicarakan, terdengar suara mobil berhenti di depan pelataran dan suara maid yang menyambut Tuan Besar Aslan. Pria dengan surai coklat gelap dan mata tajam seperti seekor elang, jemari kekarnya mengendurkan dasi dari setelan jas biru tuanya yang selalu rapi. Suara langkah Aslan membuat Sultanah menoleh kegirangan, dia lantas berdiri dan menyambut Aslan.

Namun ketika netra Alvino bertemu Aslan, dia langsung terkejut bukan main. Sedikit tersentak, tak mampu berkata kata, surai itu.. bibir itu.. wajah itu.. mata itu..

Mengapa.. mengapa kau muncul lagi di hadapan ku setelah hari itu, Aslan.. kenapa harus kamu..

"Nah Alvino, perkenalkan.. ini ayahnya Bagas.. Tuan Aslan Bagaskara, suami ku"

Susah payah Alvino menahan rasa sakit hatinya, menahan air matanya, dan semua rasa sesak dalam hatinya saat serentetan kenangan indah bersama Aslan terlintas lagi dan kembali segar dalam ingatannya.

"Selamat Malam, Tuan Aslan.."

Bagaimana aku tahu itu dirimu, kenapa harus dirimu yang menjadi ayah Bagas... kenapa harus kamu..

Kerutan tipis kini menghiasi kening Aslan saat dia menatap Alvino, kisah cinta lama yang selalu berusaha dia sudahi.

"Hmm, ya. Sultanah, aku lelah." Aslan melangkah ke arah tangga hendak naik ke lantai atas, ke kamarnya.

"Tapi.. tapi Aslan, ada yang harus kita bicarakan, ini tentang anak kita, Bagas dan Alvino"

Mendengar penuturan Istrinya, langkah Aslan terhenti. Dia menghela nafas, memaksakan diri tersenyum, saat akan mengatakan sesuatu Bagas datang dan memeluk Aslan. "Dad! Tumben ga lembur?" Terpaksa Aslan menelan komentarnya dan balik mengelus rambut putra tunggalnya, putra kesayangannya.

"Daddy kangen rumah, jadi daddy pulang. Gimana hari kamu? Suka motor barunya? Atau mau beli lagi?" Di jawab gelengan oleh Bagas

"Suka dad! Oh ya, bukan itu yang mau bagas omongin. Daddy udah kenalan sama pacar bagas?" Tanya polos Bagas sambil menunjuk Alvino.

"Sudah, daddy sudah berkenalan dengan dia" jawab Aslan dengan lirih nyaris tanpa nada dan terkesan menekan

"Kok bisa? Kapan?"

Lama sekali, putraku.. sudah lama sekali..

"Baru saja"

Sekali lagi mata mereka bertemu, dua pria tampan yang pernah terlibat dalam asmara beberapa tahun lalu itu seolah bertukar banyak cerita hanya dari tatapan mata. Mata tidak bisa berbohong, Aslan melihat rindu dan luka dalam tatapan Alvino begitu juga sebaliknya namun dengan segera Alvino memalingkan wajahnya. "Bagas, ini sudah larut.. aku ingin pulang"

"Eh kok udah mau pulang? Kamu belum incip masakan kita loh sayang.." bujuk Sultanah berusaha mencegah Alvino beranjak dari tempatnya.

"Iya om, tunggu bentar lagi ya? Nanti gue anter kok.. janji" Bagas melepas pelukannya dari sang ayah lalu beralih merangkul pinggang Alvino, mengecup pipi kirinya lalu berbisik, "kenapa? Bapak gue ga gigit kok" Alvino hanya menunduk lalu menggeleng "engga apa apa.."

"Dad, bagas mau jujur.. secara engga sengaja, Bagas udah ngelakuin kesalahan.. malam itu sebenernya Bagas nginep di Hotel bareng om Alvino. Dan karena itu.."

Seolah menunggu ucapan Bagas selanjutnya, Aslan masih setia menatap Alvino.

"Om Alvino lagi hamil anak Bagas" lanjut Bagas dengan enteng tanpa beban malah terkesan bangga, makin bertambahlah kerutan di kening Aslan, dia menghela nafas, berusaha mengendalikan dirinya yang memiliki tempramen buruk. "Jangan bercanda Bagas, kalian berdua laki laki" bantah Aslan dengan alibi yang sudah jelas terlihat mata telanjang dan itu jujur bukan sebuah masalah apalagi dia juga penyuka sesama jenis.

"Maaf Tuan Aslan, yang di katakan Abdian itu benar. Saya sedang hamil" ketika Alvino angkat bicara seolah dinding tangguh Aslan mulai goyah, sesuatu runtuh dalam dirinya, wajahnya yang selalu dingin dan datar perlahan menunjukkan rasa sakit dengan cepat Aslan memalingkan wajahnya dan memejamkan matanya.

Apakah kau sedang bercanda dengan ku, Tuhan? Mengapa harus dengan anak ku?!

Lebih memilih menelan rasa sakit dan menyetujui dalam diam, Aslan melenggang pergi. Sultanah bertanya tanya atas tingkah laku suaminya yang terasa ganjal. "Kalian makan duluan aja, mama bujuk daddy mu dulu" Sultanah langsung berjalan mengejar sang suami, Bagas hanya kebingungan dan menoleh pada Alvino. Namun saat dia menoleh, dia mendapati Alvino menangis dan tubuhnya sedikit bergetar.

"Om.. What's wrong ?" Tanya Bagas sambil memegang jari jemari Alvino, merangkul dan mengecup keningnya dengan lembut.

"Abdian... hiks hiks.."

"Hey babe.. kenapa hmm? Kamu bisa ngomong apa aja ke aku kalau ada yang bikin kamu ga nyaman, termasuk daddy. Ok?" Dengan lembut Bagas mengusap air mata Alvino, mengecup kening dan bibir Alvino lagi.

"Saya ingin jujur padamu Abdian.. tapi saya takut bagaimana jika kamu meninggalkan saya karena itu.."

"Engga akan, kan kita udah saling komitmen buat bayi kita.. inget?"

Alvino mengangguk, menatap Bagas
"Sekarang jujur ke aku, ada apa hmm?"

"Abdian, saya dan Aslan.. dulu pernah menjalin hubungan.. hubungan itu berjalan selama 4 tahun.."

Kembali Alvino menunduk, Bagas menghela nafas, dia merasa marah namun tidak tega untuk melepaskan amarahnya pada pria yang kini mengandung anaknya. Dengan lembut Bagas mengecup puncak kepala Alvino.

"Itu kan udah selesai om, udah lama selesai.. buat apa om inget inget lagi, sekarang om di sini sama aku, sama dedek bayi juga."

"Kamu engga marah ke saya?"

"Kenapa harus marah? Punya mantan itu wajar, apalagi om cakep gini.. mustahil kalau ga ada mantan. Yang terpenting sekarang kan aku masa depannya om, yang lalu biar berlalu, sekarang om punya ku. Bukan punya Daddy lagi" ucap Bagas dengan nada penegasan tulus yang terdengar nyaman bagi Alvino.

"Ya, sekarang dan nanti.. I am yours and you are mine"

KECEBONG ABDIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang