57. Bye, Papa!

3.5K 204 13
                                    

Kalian baca cerita ini hari apa dan jam berapa?







Kita tidak perlu menjadi langit, untuk dia yang mencintai laut. Kita tidak perlu menunjukkan sinar, bila yang dia tunggu adalah ombak. Rawat hatimu sendiri sebelum mempersilakan orang lain memeliharanya.

[Bulan Dikekang Malam - Rossa]





"Seharusnya aku nggak kaget," gumam Nada, sangat pelan-serupa bisikkan. Dan itu masih bisa didengar Eila-di gandengannya. Si bocah mendongak-menatapnya yang ajek lurus memandang dua laki-laki di ujung sana. "Dengan pergaulan kalian yang bebas, pasti ada kemungkinan untuk itu, 'kan?"

Hamil.

Anakmu.

Dua kata terakhir yang tadi dilontarkan Indra terngiang-ngiang di kepala.

"Seharusnya kami nggak di sini, Mas."

Hamil.

Anakmu.

Dua kata terakhir yang tadi dilontarkan Indra semakin keras berdengung di kepala.

"Seharusnya Eila nggak kenal kamu."

Hamil.

Anakmu.

Dua kata terakhir yang tadi dilontarkan Indra, akhirnya membawa langkah Nada-yang dengan yakin berbalik meninggalkan rumah sakit. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba gerak kaki Eila terjeda. Kepalanya mendongak. "Mama, kenapa pelgi? Papanya gimana?" tanya si bocah dengan kerjap lugu.

Mendapat pertanyaan demikian, bibir Nada tersungging tipis. Lalu ibu satu anak itu berjongkok-menyamai tinggi badan si kecil. Ia tatap netra bulat di depannya dengan sorot teduh. "Eila tahu 'kan Papa sibuk?" Kepala si bocah mengangguk-angguk. "Nah, sekarang Papa sibuk lagi. Jadi, Eila ..." Memenggak kalimat-sengaja memancing.

"Sama Mama doooong!"

"Good girl," puji Nada, mengacungkan ibu jari dan didekatkan ke hidung si kecil.

Buat gadis cilik itu tertawa hingga netra bulatnya menyipit.

Nada mengembangkan senyum. Tangannya berganti mengacak surai hitam si kecil. Bagi Nada, berbohong tetap hal yang salah-yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun, sekalipun demi kebaikan. Tapi di sore menjelang malam ini, ia harus membohongi putrinya agar anak itu tidak banyak drama. Sebab hatinya sudah lelah menghadapi situasi kadang tidak ia mengerti.

"Sekarang Eila pulang sama Mama ya?" bujuk Nada.

"Tapinya boleh minta gendong Mama tidak?" izin Eila.

Daripada mengulur waktu lebih lama, Nada anggukkan kepala, kemudian ia angkut tubuh mungil putrinya untuk dibawa pulang. Dan setibanya di lobi, Damar masih ada di sana-dengan Aina yang duduk di sebelahnya. Nada mengernyit. Bukankah tadi ia sudah mempersilakan anak buah Janu untuk pulang lebih dulu? Tapi ....

"Teteh," sapa Eila, ceria.

Aina melambaikan tangan. "Eila."

"Kalian masih di sini?" tanya Nada.

"Saya harus memastikan Eila dan Ibu sudah berada di tangan Pak Janu."

Jawaban Damar memancing decakan Nada. Emang boleh seamanat itu? "Saya dan Eila pulang duluan. Nanti kalau Mas Janu nanyain kami, bilang aja tadi kami udah pamit kamu." Setelahnya, tanpa perlu berbasa-basi lagi, Nada berbalik pergi. Tepat ketika Eila-yang berada di gendongannya-menoleh ke belakang, lalu melambai pada Janu yang baru saja muncul.

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang