Sumber gambar: https://riaupos.co/thumb/1264-ahli%20swedianobel.jpg
Manusia merupakan makhluk multi dimensi dengan segala fakultas yang ada pada dirinya. Berbagai bidang kajian seperti biologi, antropologi, humanologi, psikologi, filsafat, serta agama, dapat kita jadikan sebagai objek formal dalam perbincangan terkait makhluk yang menjadi unik karena eksistensi fakultas intelektualnya ini. Kendatipun sains dapat menelaah berbagai aspek empiris pada diri manusia, sains tidak dapat melihat makna dari hidup manusia itu sendiri. Disiplin yang biasanya dipandang dapat memberikan jawaban final mengenai makna kehidupan ialah agama -dengan nuansa dogmatisnya tentunya-. Namun bukan hanya agama, filsafat telah hadir menemani manusia dalam pencarian makna.
Pertanyaan yang paling mendasar ialah, "Apa sebenarnya makna keberadaan kita di dunia ini dan untuk apa sebenarnya manusia hidup?" Bagi beberapa filsuf seperti Plato, Locke, dan Hegel, makna hidup ini telah ditentukan sejak awal. Setting panggung di dalam kehidupan ini telah ditetapkan, dan kita harus berjalan di dalamnya. Kodrat pria adalah tidak bisa hamil, kodrat wanita adalah tertarik pada pria, dan seterusnya. Dalam Filsafat Timur, dalam tradisi Hinduisme, misalnya, masalah kodrat ini juga termasuk tentang kodrat kaum sudra untuk menjadi pelayan bagi kasta-kasta di atasnya. Bila hal-hal ini dilanggar, katakanlah dalam hal ini ada seorang wanita yang tertarik pada wanita (lesbi) atau seorang sudra yang ingin belajar tentang persenjataan, maka orang-orang semacam ini akan dianggap telah melanggar kodrat, dan hal ini adalah suatu hal yang amoral. Para filsuf yang berada di barisan ini disebut sebagai para esensialis, dengan semboyan mereka -sebagaimana dikatakan oleh Plato- esensi mendahului eksistensi.
Di samping kodrat, hadir pula apa yang disebut sebagai konstruksi sosial. Konstruksi sosial ini adalah suatu makna yang diciptakan oleh manusia sendiri. Misalnya seperti warna merah muda adalah warnanya perempuan. Hal ini adalah pemaknaan yang dibuat oleh manusia itu sendiri dan bukanlah makna yang telah ada sejak awal (bukan kodrat). Kendatipun para filsuf esensialis menetapkan keberadaan kodrat, mereka juga mengakui bahwa ada pula makna-makna dalam kehidupan yang diciptakan (bukan kodrat, melainkan konstruksi sosial).
Di pihak lain, ada pula beberapa filsuf yang mengingkari keberadaan makna. Hidup ini dianggap sebagai sesuatu yang nihil. Tak ada maknanya dan tak bernilai, baik dalam artian kodrat maupun konstruksi sosial. Aliran para filsuf di kubu ini pada gilirannya disebut sebagai nihilisme eksistensial, dengan Nietzsche sebagai salah satu tokoh utamanya.
Nihilisme eksistensial kemudian berlanjut di aliran eksistensialisme. Aliran yang disebut terakhir ini tumbuh sebagai aliran filsafat yang begitu radikal dengan berbagai doktrin kelamnya di tangan Kierkegaard, Nietzsche, Camus, Sartre, dan para filsuf eksistensialis lainnya. Mereka disatukan oleh semboyan -sebagaimana disebut oleh Sartre- eksistensi mendahului esensi. Sartre membalik ungkapan Plato yang tadi penulis sebut sebelumnya, yakni esensi mendahului eksistensi. Bagi Sartre dan para eksistensialis lainnya, hidup memang tidak ada maknanya pada awalnya, namun manusia dapat menciptakan makna hidupnya sendiri. Hidup tidak ada maknanya sampai manusia itu sendiri yang memaknainya. Dengan demikian, bagi eksistensialisme kodrat tidaklah ada. Segala makna hanyalah konstruksi sosial yang dibuat oleh manusia sendiri. Setiap makna yang dianggap sebagai kodrat, sejatinya adalah konstruksi sosial jua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Filsafat
Non-FictionBerbagai tulisan terkait filsafat yang sifatnya bukan pengantar. Seluruh tradisi filsafat serta seluruh cabang filsafat ingin penulis munculkan di sini.