Bab 1

245 19 23
                                    

The man who eat an apple is my step-dad

Tiga tahun berlalu sangat cepat. Selama itu pula Nalen tak merasakan kehangatan di tengah-tengah keluarganya. Rasanya seperti orang asing meskipun berada dirumahnya sendiri.

Arina yang selalu bepergian membuatnya merasa kesepian. Belum lagi Erik yang selalu mencari alasan agar dirinya tak pernah ikut Arina pergi ke luar kota. Sedangkan pria tersebut selalu mengikuti kemana pun Arina pergi.

Nalen mengetuk pintu dengan pelan. Selang beberapa detik terdengar suara kunci diputar dari dalam. Perlahan pintu terhuyung ke belakang, dari belakang pintu muncul gadis kecil dengan rambut dikuncir kuda.

"Kak Nalen!" Aver berteriak pelan, lalu ia sedikit berlari untuk memeluk kaki Nalen. Gadis kecil itu sangat antusias dengan pulangnya Nalen.

Dengan menggenggam tangan mungil Aver, Nalen menutup pintu serta meletakkan sepatunya diatas rak. Setelah itu ia berjongkok untuk menggendong Aver.

"Aver lagi ngapain?" tanya Nalen seraya memainkan rambut Aver yang terlihat menggemaskan.

"Itu, beruang!" pekik Aver menunjuk kertas yang berserakan di ruang tamu. Tangannya mencengkram seragam Nalen dengan erat, seperti ia takut akan jatuh.

Mendengarnya, Nalen tersenyum sebisa mungkin dan mendekati kertas-kertas tersebut. "Aver gambar beruang, ya?"

Aver tersenyum senang karena Nalen melihat gambarannya. Dengan gembira ia melompat dari gendongan Nalen menuju sofa empuk berwarna coklat yang dekat dengannya.

"Nalen!"

Mendengar namanya dipanggil, Nalen berjalan mendekati ibunya yang tadi memanggil. Arina sendiri tengah sibuk memasukkan bumbu makanan pada sup wortelnya.

Nalen melangkah memasuki dapur dengan tas yang masih disandangnya. "Kenapa, Ma? Ada pertandingan basket lagi?"

Arina mengangguk setelah mencicipi kuah dari supnya yang terasa kurang gurih. "Kita pergi sebentar lagi, ke Jakarta. Kamu ikut, Len?"

"Besok dia sekolah, Rin. Daripada capek, mendingan gak usah ikut," celetuk Erik dengan menatap Nalen sinis. Apel yang berada di genggamannya digigit cukup besar.

Lagi-lagi Arina mengangguk, membenarkan perkataan Erik. Nalen meringis karena Arina menyetujui pernyataan Erik yang sebenarnya itu-itu saja. Ia sangat kesal ketika ayah tirinya mulai bertingkah seperti itu, sok berkuasa.

"Kenapa Nalen selalu gak boleh ikut, sih, Pa? Waktu mama ngajak Nalen pas hari libur, papa selalu cari alesan biar Nalen gak ikut," tukas Nalen sambil duduk di kursi bar. Matanya menatap Erik dengan kesal.

Erik malah terkekeh pelan menanggapi tatapan Nalen. "Karena kamu harus belajar, Len. Biar mama aja yang cari uang."

"Lah, bukannya papa yang harus cari uang? Selama ini papa tinggal di rumah cuma tidur sama makan doang," jawab Nalen dengan nada tinggi.

Mendengar kata-kata tersebut, Erik malah mencibir Nalen. Lagi-lagi ia menggigit apelnya sebelum ia lempar dengan gayanya ke dalam tempat sampah. Sejujurnya, sampah apel tersebut tidak masuk ke dalam tempatnya.

Tiba-tiba ide jahil terbesit di otaknya ketika Nalen mendapati ponsel baru Erik-yang tentu saja dibelikan Arina tergeletak di atas meja makan. Buru-buru Nalen merampas ponsel itu, melemparkannya ke dinding, dan berakhir dengan bunyi keras diikuti Erika yang naik darah.

"Kamu ini apa-apan, Nalen. Itu gak murah, kamu ingat itu!" bentak Erik dengan memukul meja makan. Matanya menatap Nalen dengan marah.

Nalen tersenyum miring mendengar kata-kata yang keluar dari ayah tirinya itu. Seraya meninggalkan ruang makan, Nalen menjentikkan jarinya. "Nalen tau, itu dibeliin mama. Lagian apa peduli sama harganya, toh, papa tinggal minta sama mama."

"Nalendra! Berani kamu!" Erik baru akan mengikuti Nalen jika saja Arina tak menghalanginya.

Arina tersenyum dingin menanggapi kemarahan Erik. "Udah, Rik," ucapnya dengan menarik lengan Erik untuk kembali duduk. "Maafin dia, ya."

Aver menyembulkan kepalanya dari balik pembatas ruangan. Sejak awah gadis kecil itu memperhatikannya. Ia merasa seorang ayah dimatanya tidaklah seperti yang diharapkan.

...

Nalen sedang berguling-guling di atas karpet putihnya ketika Aver mendorong pintu kamar kakaknya itu. Dengan susah payah ia berjalan sambil membawa boneka harimau yang ukurannya lebih besar.

"Kakak Nalen ... harimaunya jalan-jalan ke kamar Aver."

Mendengarnya Nalen tertawa pelan. Tangannya menyingkirkan boneka tersebut dengan melemparnya ke atas tempat tidur. "Aver udah makan?"

"Belum. Tapi ... tapi kakak makan, sama Ave," setelah Nalen mengangguk, Aver menarik telunjuk kakaknya untuk turun ke ruang makan.

Sesampainya di ruang makan lagi, Nalen mendudukkan Aver di kursi. Ia meraih makan malam Aver yang telah disiapkan Arina sebelumnya. Dengan senang hati Nalen menyuapi adiknya yang tidak bisa diam itu.

Arina keluar dari kamarnya dengan sweater pastel bergambar kucing. Ia bergerak kesana-kemari dengan kedua tangan yang sibuk merapikan barang-barang yang akan dibawanya.

"Len, bisa tolong masukin ke mobil?" Arina menunjuk tiga tas yang cukup besar. Kunci mobilnya disimpan diatas meja agar Nalen tidak perlu meminta kuncinya lagi.

Dengan menghembuskan napas berat, Nalen menaruh piringnya dan menurunkan Aver dari atas kursi. Tanpa bertanya lagi Nalen memasukkan tiga tas tersebut yang ternyata cukup berat. Setelah itu ia berjalan kembali ke kamarnya.

Ponselnya terus bergetar di atas meja belajar. Dilihatnya siapa yang menghubunginya dan buru-buru keluar kamar dengan kunci mobil dalam genggamannya.

Arina yang baru mengganti pakaian Aver terlihat bingung. "Kamu mau pergi sama siapa? Bawa kunci rumah, kan? Jangan kemaleman."

Mendengar ibunya yang tiba-tiba peduli padanya membuat kehangatan seketika menyelubungi hantinya. Ia tersenyum sebelum mengambil sepatunya dan bergegas keluar.

"Pergi sama Kira. Mama jangan khawatir, Nalen udah besar. Kapan-kapan aku ajak Kira ke rumah, deh."

...

ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang