She miss my step-sister and want to meet her
Suara yang berasal dari lantai bawah membuatnya sedikit melompat dari kursi. Dengan menaikkan sebelah alisnya, semua orang tau Nalen sedang bingung. Baru ia akan menyelipkan pensil di antara lembaran bukunya, tiba-tiba Aver berdiri di sampingnya dengan boneka kucing yang dipeluk erat."Kakak, ke bawah itu, Mama," ujarnya dengan menarik jari-jari Nalen. Aver terlihat sangat antusias untuk mengajaknya ke lantai bawah.
Merasa gemas dengan perlakuan Aver yang sangat ingin dirinya turun, dengan pasrah ia mengikuti adiknya menuruni tangga.
Saat berada di tengah-tengah, Nalen mendapati Arina sedang berbicara dengan seseorang. Perempuan yang menjadi lawan bicara Arina terdengar sangat bersemangat. Dari uraian rambutnya, Nalen teringat akan pertemuannya dengan teman lama kemarin sore. Ia mengatakan akan mengunjunginya hari ini. Tapi apa mungkin sepagi ini.
"Itu Nalen," ujar Arina sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Tante ke dapur dulu, ya."
Refleks perempuan itu berdiri dan membalikkan badannya. Rambutnya yang bergoyang seperti terkena angin membuat senyumannya menjadi manis seperti gula. Langkah kaki Nalen membawanya mendekati Mila dengan Aver yang masih ia genggam tangannya.
"Gue kira lo cuma becanda kemaren, pas bilang bakalan kesini," gurau Nalen dengan mempersilahkan Mila duduk kembali. Tangannya menarik Aver ke dalam pangkuannya.
Perempuan itu tertawa pelan ketika mendengarnya. "Pasti gue dateng, mengingat gue kangen banget sama Aver."
"Kangen sama Aver atau sama gue, Mil?" celetuk Nalen dengan menggerlingkan matanya.
Mila tertawa lagi. Matanya yang menyipit jika tertawa, membuatnya seperti orang Cina kebanyakan. Kulitnya yang putih serta wajahnya yang cantik sangatlah berpengaruh dengan sekitarnya.
Aver turun dari pangkuan Nalen. Kemudian ia menepuk kaki Mila pelan dengan bonekanya, seraya meminta Mila agar mendudukkannya tepat disampingnya. "Aver mau duduk sama Kak Mi."
Dengan gemas, Mila mendudukkan Aver disampingnya. Menurutnya, Aver sangatlah lucu dan cantik. Ia berasumsi tentang Aver yang akan menjadi primadona disekolahnya nanti. Terutama saat SMA.
Mila ingat terakhir kalinya melihat Aver. Gadis kecil itu masih menggunakan popok dengan rambut keritingnya. Sedangkan sekarang, gadis kecil itu terlihat lebih cantik dengan rambut lurus dan sedikit bergelombang di ujungnya.
Tanpa Mila sadari, sejak tadi Nalen pergi ke dapur untuk mengambil minum. Nalen tersenyum melihat keakraban antara Mila dan Aver. "Kenapa pindah kesini lagi? Kangen sama gue, 'kan?"
"Lo kali yang kangen sama gue, Len," sangkal Mila dengan terkikik pelan. Ia meneguk jus stroberi yang disuguhkan Nalen. Meskipun ia yakin itu jus kotakan, bukan membuatnya sendiri.
Mungkin Aver merasa kehadirannya tidak terlalu penting karena gadis kecil itu berusaha turun dari kursi. Dengan cepat ia berjalan menuju mainannya yang berserakan diatas karpet.
Mila tertawa pelan ketika melihat Aver yang menanggalkan kepala salah satu barbie-nya. "Hati-hati, Len. Takutnya dia jadi psyco pas udah besar," gumam Mila seraya beranjak dari tempat duduknya menuju Aver.
Nalen hanya bisa tersenyum untuk menanggapi gumaman Mila. Ia berjalan mendekati keduanya. Dengan nyaman, ia duduk diatas karpet beludru adiknya itu.
"Alesan lo pindah ke sini?" tanya Nalen dengan kening berkerut. Tidak mungkin jika Mila pindah kesini tanpa alasan, 'kan?
Perempuan itu terdiam cukup lama sambil menatap Aver kosong. "Bokap pindah kerja, nyokap lagi operasi."
Nalen ber-oh panjang sembari mengangguk mengerti. Masih penasaran, Nalen bertanya lagi, "Terus lo sekolah dimana sekarang?"
"Kayaknya gue satu sekolah sama lo, Len," ujar Mila dengan tangan yang sibuk membuat istana dari balok.
Dengan menaikkan alis seraya berpikir, Nalen bertanya lagi, "Emang lo tau sekolah gue?"
Mila menghela napas pelan. Ia berhenti membuat istana baloknya. "Gue tau rumah lo tanpa nanya, 'kan? Lo sekolah di Hearst High."
Nalen mengakui bahwa Mila bisa menjadi anggota FBI jika sudah seperti ini. Perempuan itu memang suka sekali mencari tau tentang biodata seseorang sampai seluk beluknya.
"Tapi jangan pernah lo kepo-in pacar gue, ya?"
Mendengarnya, Mila tersenyum kecil. "Oh, Kira. Kalo terlanjur, gimana?"
Tak disangka perempuan itu melakukannya lagi. Nalen memutar matanya dengan kesal ketika Arina datang dengan piring berisi kue yang dibelinya kemarin sore. Buru-buru ia mencomotnya, tentu Arina menatap anaknya dengan marah.
"Nanti tante jenguk mama kamu, ya, Mi. Udah lama gak ketemu juga," ujar Arina dengan senyum baiknya. "Kira-kira kapan bolehnya?"
Mila mengangguk ramah sembari memakan kue yang disajikan untuknya. "Besok juga boleh, Tan. Tapi Mila gak bisa nemenin tante."
Arina mengangguk pelan dan menghilang di pembatas ruangan. Sepertinya ia tak ingin melibatkan diri dalam obrolan Mila dan Nalen. Kurang lebih begitu.
Tapi, selang beberapa menit kemudian Arina kembali dengan ponsel ditangannya. Keduanya terdiam sebentar sebelum Arina berbicara.
"Mila, kata mama, kamu boleh nginep hari ini. Nanti sekalian Nalen anterin ke sekolah besok."
Nalen terdiam mematung seperti kehilangan nyawanya. Ia menatap ibunya kosong. Ia memutar otaknya, memikirkan jalan terbaik untuk besok pagi.
Beda dengan Mila yang hanya tersenyum dan mengangguk setuju. Tapi ketika melihat rau wajah Nalen yang seperti kebingungan, Mila angkat bicara. "Gak perlu repot-repot, Tan. Lagian Mila gak bawa seragam buat besok."
"Udah, Mi. Kamu disini aja, seragam nanti jadi urusan tante aja," ujar Arina seraya berlalu lagi.
Kini Mila menatap Nalen dengan penuh penyesalan karena ia tidak bisa menolaknya. "Lo harus tetep jemput Kira, Len."
Milan Agastya punya rencana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Problem
Teen FictionPrivate from chapter 6 Perceraian memang akhir yang buruk bagi sebuah pernikahan. Mereka memilih untuk menikah dengan pilihannya masing-masing. Tapi ketika Arina melangsungkan pernikahan keduanya, Nalen amat sangat cemas dengan keputusan ibunya itu...