Exile - Utamastha

26 1 0
                                    

Rupa menjijikan Divya adalah penghinaan untuk semua ukiran emas yang mengurungnya di istana. Aneka ragam bunga dan wewangian ditebarkan di ruang pribadinya, melawan bau busuk yang keluar dari nanah tubuh terkutuk. Dengan jemari terbungkus sisik hitam kasar, Divya meraba wajah dan ia meringis. Kasar, penuh retak seperti bongkahan batu. Perih, sangat perih, seperti kulitnya tersiram air panas dan tertusuk ribuan jarum. Wajahnya yang dulu rupawan telah tiada, dimangsa oleh kutukan Bhira.

Di tengah-tengah keindahan yang pedih ini, ketika Divya merenungkan nasib tidak pasti yang menunggunya, keributan di kejauhan semakin keras. Langkah kaki bergema di jalan dan teras, menderap pasti mendekatinya. Jantung Divya berdegup semakin kencang walau ia telah meremat tangannya yang bersisik.

Dia mengenali irama barisan itu - para pengawal utama kerajaan datang. Mereka mengawal Baginda Raja, Ratu, dan kakaknya, Putri Varida.

Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan keluarga kesayangannya. Kerinduan untuk bersatu kembali dengan mereka melonjak di dalam dirinya, tapi rasa takut bahwa ini mungkin merupakan pertemuan terakhir turut menghantui.

Divya telah siap berdiri ketika pintu ruangannya dibuka dengan tegas. Divya menunduk memberi salam pada Ayahanda. Iring-iringan memasuki ruangannya yang seketika terasa sempit nan menyesakkan. 

Ia melempar lirikan sekilas dan ia melihat jelas para pengawal menahan diri untuk menampilkan raut wajah yang tidak pantas. Namun yang lebih menyakitkan hati adalah keluarganya pun tampak tidak kerasan berada di dekatnya.

Divya menggigit bibir, ia tidak dapat lagi menghindari gejolak batin ketika dia menatap orang tuanya. Hatinya terasa pilu dengan berbagai rasa saat keinginan untuk bertemu dengan mereka bertabrakan dengan rasa takut akan keputusan yang akan segera terjadi. Harapan dan keputusasaan berputar-putar di pikirannya saat ia melangkah dengan ragu.

Para pengawal dengan sigap menghadangnya. Tombak-tombak perak simbol keagungan kerajaan tersilang menghentikan langkah Divya.

"Maaf, kau tidak boleh mendekat, Tuan Putri," kata seorang pengawal.

Divya mundur kembali. Ia mengerti bahwa akan menjadi bencana bila ia menularkan kutukan Bhira pada keluarganya, apalagi Ayahanda. Itu akan menjadi kejahatan terbesar.

"Divya Devi Purbasari," Sang Raja menyebut nama lengkap anaknya setelah sekian lama. 

Ini tidak mungkin baik. Ini pasti tidak baik. Debar jantung Divya semakin tidak karuan.

Sang Raja berkata, "Setelah melalui pertimbangan panjang, kau harus keluar dari istana."

Walau dikatakan dengan sangat tegas dan berwibawa, Divya bisa merasakan kepedihan dibalik mata ayahnya. Mata Divya pun mulai berkaca-kaca. Ia tak hentinya berharap, ia telah tanpa lelah berdoa, tapi ini memang badai yang tak terelakkan. Keputusan terakhir untuk kutukannya yang semakin parah, pengasingan.

"Kau akan diusir ke wilayah nista," titah Sang Raja.

"Divya!" jerit Sang Ratu yang telah menangis. Ia berusaha meraih Divya, tapi usahanya dihentikan sang suami. "Lepas! Lepaskan aku!" pekik Sang Ratu. "Divya, anakku sayang. Maafkan Ibu!"

"Divyaaa!" Varida ikut menangis terisak.

Ratu meronta berusaha lepas dari dekapan sang suami. "Lepas! Biarkan aku memeluknya!"

"Jangan buat ini lebih sulit untuk Divya," kata Sang Raja berusaha menenangkan.

"Lepas! Aku harus memeluknya biarpun itu akan membunuhku!"

Di tengah gejolak perasaan yang berkecamuk, Divya memahami kesulitan dari keputusan ayahnya. Ia paham perlunya mencegah penyebaran kutukan Bhira. Ia paham bahkan dibiarkan tinggal di istana selama bertahun-tahun setelah terkena kutukan ini saja ia harusnya sudah bersyukur. Namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia sangat ingin memohon agar ia tidak harus diusir pergi. Walau ia sudah sangat jarang bertemu mereka, walau ia bahkan sudah tidak bisa bersentuhan dengan keluarganya lagi, setidaknya ketika berada di sini, ia masih bisa merasa dekat dengan mereka. Hanya air mata yang berjatuhan yang mewakili teriakan hati Divya. "Ini bukan salahmu, Bu. Memang aku saja yang sial," kata Divya dengan suara bergetar.

Sang Raja memerintahkan seorang pengawal untuk menyerahkan bekal pengasingan kepada Pranayasha, pria sepuh yang telah menjadi pengawal setia Divya sejak kecil. Sang Ratu pun turut meletakkan sebuah kain pada baki yang dipegang dayang istana. Sutra indah yang hendak diberikan untuk hadiah peringatan hari lahir Divya harus diberikan lebih cepat sebagai hadiah perpisahan.

Saat dayang wanita itu mengulurkan jubah sutra tersebut dengan baki, ia menahan nafas. Raut wajah jijik yang tertahan bisa dilihat jelas oleh Divya. Divya menyampirkan kain sutra tersebut ke bahunya. Kain yang dimaksudkan untuk mengalir dengan lembut di atas bahu putri yang mulus dan anggun malah jadi memiliki tonjolan lancip di mana-mana. Serat-serat sutra yang halus mesti berjuang mengikuti bahu Divya yang dipenuhi sisik-sisik kasar tidak beraturan.

Langkah-langkah Divya bergema di sepanjang teras megah yang hening. Saat ia menjauh dari tempat perlindungannya, setiap langkahnya menambah beban hatinya. Tiba-tiba ia mendengar teriakan Varida. Divya menoleh ke belakang.

"Mengapa, Ayah?" kata Varida. "Mengapa Divya harus diusir? Ia telah dikutuk untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam kesendirian? Biarkan saja dia berada di sini!"

Sang Raja tetap diam dengan tenang, sebuah benteng pertahanan terhadap permohonan Varida.

Sang Ratu, yang terpaksa menanggapi, bergumam pelan dalam kepasrahan, "Tidak ada yang bisa dilakukan, sayang. Kutukan Divya semakin parah, dan para penghuni istana tak henti-hentinya mendesak. Sebagai raja, Ayahmu harus mengutamakan keselamatan rakyat."

"Tapi, apakah itu harus di wilayah Nista? Hanya Bhira yang tinggal di sana! Dia bisa terbunuh!" 

Pernyataan itu membuat Divya bergidik. Ia diingatkan tentang kengerian wilayah nista yang penuh Bhira pemakan manusia.

"Keputusan ini tidak bisa diubah," kata Sang Raja.

Pak Prana memberi dorongan pelan agar Divya kembali melangkah. Ini menjadi pemandangan terakhir yang dilihat Divya dari keluarganya. Varida membekap tangisan pada Ibunda sementara Ibunda memeluk erat varida sambil terus memandanginya, seolah ingin mengirimkan pelukan itu untuk Divya. Dalam diam, Ayahanda tercinta hanya bisa tertunduk dengan tangan memegang kening.

Divya berangkat dengan iringan pengawal utama istana. Di antara semuanya, hanya Pak Prana yang akrab bagi Divya. Sosok pengawal tua ini muncul sebagai tonggak pengabdian yang tak tergoyahkan. Garis-garis lapuk yang terukir di wajahnya menceritakan kisah-kisah hidup yang dipersembahkan dalam pelayanan. Matanya yang dulu bersinar garang, sekarang melembut dengan kebijaksanaan bertahun-tahun, menanggung beban cerita dan rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Kehadiran Pak Prana yang sudah seperti kakeknya, menjadi sandaran terakhir hidup Divya saat ini.

Ketika Divya melalui taman-taman apik Utamastha, semua pengawal-pengawal lain yang mengapitnya berwajah masam. Tampang mereka mengungkapkan siksaan yang mereka tahan dalam diam. Divya juga melihat para pejabat istana saling bertukar tatapan jijik, para bangsawan memalingkan wajah, dan para dayang berbisik-bisik. Semuanya buru-buru menutupi mulut dan hidung mereka saat Divya lewat.

Divya mencengkeram kain sutra agar lebih erat menutup tubuh terkutuknya. Setiap lipatan sutra itu menunjukkan parahnya kutukan Divya dan sutra yang halus itu tampak hampir robek di sudut-sudut sisik yang tajam.

Meskipun ia tidak dapat mendengar gumaman-gumaman menghina yang mengikutinya, ia merasakan beban dari penghinaan mereka. Para penghuni istana telah membenci keberadaannya yang terkutuk dan merekalah yang mendesak pengusirannya.

EXILE EMPRESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang