Exile - Madyastha

4 1 0
                                    

Udara muram mengiringi prosesi pengasingan Divya. Gerbang yang menjadi penghubung sekaligus pemisah antara Utamastha dan Madyastha berdiri kokoh tanpa iba. Gerbang itu siap mengantarkan kepergian Divya, menandai pergeseran dari kemewahan istana ke lingkungan rakyat jelata. 

Kepala penjaga melangkah maju, wajahnya yang tegas menyelipkan kegelisahan. "Hanya sampai sini kami bisa mengantar, Putri Divya," kata kepala penjaga. Suaranya terdengar berat, menggema di antara rongga gerbang yang belum dilalui.

"Apa maksudmu? Kalian setidaknya harus melindungi Tuan Putri sampai kita melewati gerbang Madyastha!" Prana yang setia, penjaga tua yang telah menjadi sosok kakek bagi Divya, menyuarakan keberatan, wajahnya berkerut oleh kekesalan. Sebuah pertukaran yang menegangkan terjadi, ditandai dengan protes keras Pak Prana terhadap pencabutan perlindungan secara tiba-tiba. 

"Tugas utama kami adalah menjaga Utamastha dan penghuninya." Kepala penjaga menekankan.

"Dan itu berarti kalian harus menjaga Putri Divya juga!"

"Tidak, karena Putri Divya tidak lagi dianggap sebagai penghuni Utamastha."

"Jangan banyak alasan! Kalian harus tetap menjaga Tuan Putri!"

"Pranayasha, meski kau telah banyak berjasa, kau sudah tidak lagi memiliki jabatan dan wewenang untuk memberi perintah pada penjaga utama," kata kepala penjaga. "Lagipula akan menimbulkan keributan kalau Putri Divya dikawal banyak penjaga utama."

"Kau hanya ingin lepas dari pekerjaan ini, bukan? Siapa yang mengizinkanmu kabur dari tugas ini? Siapa bangsawan yang menyuruhmu?" bentak Pak Prana yang semakin geram. Ia meremat perisai dada perak kepala penjaga.

"Jika kau terus meributkan hal ini, kami akan menangkapmu Prana!" Beberapa penjaga telah menaikan tombak dan perisainya, bersiap untuk meringkus Prana.

Divya menarik tangan Prana, sebuah permohonan perdamaian. "Tidak apa-apa, Pak Prana." Meskipun dia berharap para penjaga untuk menemaninya sampai ke Nista, Divya memendam sebuah pemahaman yang pedih. Dia mendambakan perlindungan namun sadar diri oleh siksaan yang ia berikan pada mereka. Keengganan mereka untuk bahkan berada di dekatnya terukir jelas di wajah para penjaga. 

Ketika pintu gerbang berat itu terbuka, Divya memasuki Madyastha hanya dengan Prana di sisinya. Biasanya Divya keluar dari Utamastha menaiki kereta kuda atau tandu agung, lengkap dengan iring-iringan yang ramai. Namun keadaan sekarang seperti dunia sudah terbalik, dia diusir untuk menempuh perjalanan panjang yang sepi.

Madyastha, sebuah wilayah luas tempat tinggal rakyat jelata, dari rakyat tingkat menengah hingga tingkat atas. Divya berjalan menunduk menghindari tatapan-tatapan yang mulai memperhatikan. Pengusiran Divya memang hal besar di Utamastha tapi tidak diberitakan di Madyastha, menghindari keributan yang mungkin terjadi karena kutukan Bhira Divya pun dirahasiakan dari rakyat jelata.

Orang-orang mulai memberi berbagai tatapan curiga pada Divya. Divya sendiri tahu tidak mungkin satu pun dari mereka akan mengenalinya. Putri Divya yang cantik sudah tidak ada. Namun, Divya juga tahu bukan itu alasan mereka mengamatinya sejak tadi. Mereka takut, khawatir, dan waspada terhadapnya. 

Divya memang bukan satu-satunya orang yang terkena kutukan Bhira. Kutukan ini tidak memandang golongan. Ia bernasib sama dengan orang biasa yang terjangkit kutukan Bhira, dibuang oleh keluarga untuk mati di jalanan atau di alam liar. Mereka pasti menganggap Divya sama seperti pengemis terkutuk lainnya.

Rakyat Madyastha mulai membicarakan keberadaan Divya di jalan utama. Udara terasa pekat dengan campuran rasa jijik, ngeri, dan bingung.

"Kenapa ada pengemis Bhira di jalan utama?" suara seorang pria terdengar jelas di telinga Divya.

EXILE EMPRESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang