Exile - Pengemis Nista

3 0 0
                                    

Sendirian sudut sunyi Madyastha, Divya mendapati dirinya diliputi oleh bayang-bayang keraguan. Terlepas dari kata-kata Pak Prana yang menenangkan, ketidakpastian melekat pada pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan berputar-putar di benak Divya, masing-masing menjadi belati kecemasan. Apakah orangtuanya tahu tentang pengawal bayaran tersebut, atau apakah itu keputusan yang dibuat hanya oleh Pak Prana. Apakahpengawal bayaran ini memang ada atau Pak Prana juga baru saja mengkhianatinya? Ia ingin sekali percaya pada jaminan Pak Prana, tetapi keraguan itu tetap ada, membuat harapannya rapuh.

Perutnya meraung-raung protes, mengingatkan akan rasa lapar yang menggerogoti sejak meninggalkan istana. Di tengah-tengah keraguannya, sebuah ingatan yang jelas muncul - kenangan akan usaha mereka yang sia-sia untuk mendapatkan makanan sebelumnya, ditolak oleh para pedagang yang mengusirnya karena bau busuk serta wujudnya terkutuk.

Ketika rasa lapar menjadi semakin tak tertahankan, kesabaran Divya semakin menipis. Keinginan untuk mendapatkan makanan mengalahkan kepercayaannya pada Pak Prana. Rasa lapar itu terlalu nyata, terlalu kuat untuk ditepis oleh janji-janji dari Pak Prana yang belum juga kembali. Dengan langkah tegap, Divya memberanikan diri untuk mencari Pak Prana, bahkan bila harus kembali ke jalan utama. Ia berusaha berbaur dengan para pengemis lainnya, tapi hanya sedikit di antara mereka yang benar-benar memiliki kutukan Bhira. Jubah sutra Divya juga turut membuatnya terlalu mencolok di antara pengemis yang berpakaian compang-camping.

Mata orang-orang kembali tertuju padanya, mengenalinya sebagai lebih dari sekadar pengemis yang melarat. "Putri terkutuk!" sebuah suara mencibir, sebuah jari yang menghina menunjuk dengan penuh tuduhan ke arahnya. Dalam sekejap, udara bergemuruh dengan kebencian, dan rentetan batu dilepaskan ke arah Divya. Setiap lemparan adalah penolakan mendalam atas kehadirannya di tengah-tengah mereka. Kekejaman dunia lagi-lagi menghantam Divya, membuat tubuh dan batinnya babak belur.

Tanpa perlindungan Pak Prana, sendirian di lautan permusuhan yang penuh gejolak, Divya mendapati dirinya tak berdaya melawan badai batu yang tak henti-hentinya. Ia kira bagian luar kulitnya yang bersisik bisa menjadi perisai pelindung. Namun ternyata tidak demikian. Tubuh bersisik yang dipenuhi nanah dan peradangan, hanya menambah penderitaan dengan setiap benturan, memperkuat rasa sakit yang mengalir. 

Divya berlari dari kerumunan orang yang marah. Mereka terus mengejar seolah-olah melampiaskan semua rasa kesal yang terpendam atau mungkin hanya sekadar mencari ayam hitam untuk berbagai kemalangan yang menimpa mereka. Perih, gatal, dan rasa sakit yang menyengat membuat kepala Divya serasa mau pecah. 

Tak sanggup menanggung beban luka tubuh dan hati ini, Divya meringkuk. Tanah yang dingin dan keras menjadi tempat berlindung dari serangan tanpa henti. Divya dengan tubuh yang penuh luka, mendapati dirinya tidak peduli lagi dengan kebencian mereka, ia hanya ingin semua rasa sakit ini untuk berhenti.

Robek dan sobek, jubah sutra yang tak lagi indah melekat pada tubuh Divya yang ringkih. Batu-batu yang dilemparkan dengan niat jahat telah mengoyak jubah beserta Divya dibaliknya. Sutra halus yang terkoyak ini seolah mencerminkan kehidupan indah Divya yang telah hancur.

Ketika batu-batu itu terus menghantamnya, serangan gencar itu mencapai titik di mana rasa sakitnya begitu heat hingga Divya seperti tak terasa. Rasa sakitnya masih ada, hanya saja pikiran Divya sudah melarikan diri lebih dahulu, berusaha melindungi kewarasannya dari penderitaan yang luar biasa. Namun, di tengah siksaan fisik, hatinya terbukti tidak mampu mengabaikan kata-kata terkutuk yang dilontarkan padanya. Setiap hinaan, setiap cacian, setiap makian yang merendahkan, menusuk dan mengukir luka yang dalam di hati.

Dalam upaya putus asa untuk bertahan, pikiran Divya melayang ke masa sebelum ia terkena kutukan Bhira. Suatu masa ketika Madyastha akan menyambutnya dengan sorak-sorai, memuji keanggunannya, memuji kecantikannya, dan bersuka ria dengan kehadiran putri kesayangan mereka. Ketimpangan kenangan berharga itu dengan mimpi buruk yang terjadi saat ini justru semakin menambah beban batin Divya. 

Serangan itu terus berlanjut, serangan bertubi-tubi tanpa henti yang tidak peduli dengan garis keturunan kerajaannya, air matanya, atau rasa sakitnya. Di mata mereka, ia bukan lagi seorang putri melainkan simbol kejatuhan kerajaan, sasaran atas rasa geram mereka pada para bangsawan yang dianggap tidak becus dalam menghadapi perjuangan pasca bencana. Sialnya, Divya yang terperangkap dalam pusaran kebencian ini.

Meringkuk di balik kerudungnya sutra yang robek, air mata Divya terus mengalir karena dihujani kata-kata yang menyakitkan. Tiba-tiba lemparan batu dan ludah berhenti, meski caci maki masih terlontar di udara. Setelah itu berubah menjadi gumaman pelan kebingungan di antara kerumunan. Dengan gentar dan hati-hati Divya mengintip dari balik kerudungnya hanya untuk bertemu dengan lemparan batu yang mengarah langsung ke wajahnya. Ia langsung meringkuk lagi.

Namun, tidak ada benturan yang terjadi. Tidak terasa sama sekali. Divya memberanikan diri untuk melihat lagi dan menemukan ada sosok yang melindunginya dari rentetan batu yang tak henti-hentinya. Seorang pria berbadan kekar berdiri di hadapannya, mencegat batu-batu dengan mudah, sesekali pria itu menangkap satu batu di udara dan melemparkannya kembali ke arah kerumunan yang gelisah sambil tertawa mengejek. Dibandingkan dengan orang-orang pengecut yang mengeroyoknya, sosok pelindung ini menunjukkan ketangguhan yang sangat cemerlang.

"Kalau kalian takut dilempar batu, kenapa kalian lempar batu? Sungguh menyedihkan!" Kata-katanya bergema di antara kerumunan orang yang kini terdiam, memperlihatkan kemunafikan mereka. 

Satu orang yang tersulut kesalnya melempar batu lagi. Batu itu segera ditangkap dan dibalikkan padanya. Orang itu mengaduh lalu mundur dan menghilang di antara kerumunan yang kini terdiam.

"Segitu saja? Kalian orang-orang Madyastha sangat lemah!" seru si pria kekar, kegembiraan kemenangan terdengar jelas dalam suaranya.

Mengalihkan perhatiannya pada Divya yang babak belur dan meringkuk di tanah, pria kekar itu memperlihatkan janggutnya yang lebat saat dia berjongkok. Sang penyelamat yang tak terduga ini dengan santai mengelus janggutnya dan dengan nada sedikit jahil berkata, "Jadi, kau adalah si Tuan Putri."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EXILE EMPRESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang