Dengkuran halus sayup-sayup terdengar, wajah damai itu terlihat begitu pulas saat tertidur. Bibirnya beberapa kali tergerak, namun tak mengeluarkan suara. Matanya terus terpejam nyaman. Sebelum tiba-tiba, rambutnya ditarik kasar membuatnya reflek meringis sembari terduduk kaget.
"Bagus sekali kau tidur diatas lelahnya orang lain!"
Lyora sedikit menoleh pada jam weker berwarna ungu diatas nakas. Baru beberapa jam ia tertidur lelap. Namun, dunia seakan tak bisa membuatnya tenang hanya dalam hitungan detik saja. Sejujurnya, Lyora juga lelah.
"Oh my god! Kenapa lagi, Pi?" Lyora mendongak masih dengan tarikan kuat dirambutnya.
"Sialan kau! Cepat berdiri dan ikut aku." Pernyataan itu begitu mutlak. Tak bisa dibantah dan harus dilaksanakan.
Gadis dengan perilaku lebay itu hanya mampu merotasikan matanya malas. Sudut matanya tergenang air mata. Nafasnya terdengar lirih, hidupnya berat.
Bantingan pintu yang ditimbulkan sang papi mampu membuat Lyora memenjamkan matanya. Tak memungkiri bahwa ia yakin, tubuhnya tak akan bisa sanggup.
Masih dengan setelan baju tidur berlengan pendek, gadis itu sesekali mengusap lengannya kala semerbak angin menerpa kulitnya lantas membuat dirinya bergindik. Senyumnya merekah. Ketika dipenghujung lorong rumahnya, orang yang ia sebut papi tengah menyengrai dengan sabuk ditangannya.
Sedetik kemudian, lolongan dengan sirat kata ampun menjadi syair yang paling pilu untuk didengar. Benturan sabuk mengenai punggung mulus yang hanya terbalut kain satin. Linangan air mata tak cukup membuat orang itu sadar. Bahwa, apa yang lakukan bukanlah perangai seorang manusia. Dirinya seakan lupa akan tanggung jawab dan juga perasaan.
"A-ampun, Papi. Apa salah Lyora!?"
Tertawa hambar, pria itu menempeleng wajah sang putri sampai tertoleh tanpa adanya secuil rasa bersalah. Rahangnya mengetat tatkala tangis itu menganggu penyiksaan yang ia lakukan.
"Kau tahu? Aku lelah dengan semua tanggung jawab sialan ini! Aku ingin kau juga merasakan tanggung jawab yang terus kau sebutkan itu!"
Pria itu tak pantas disebut sebagai manusia. Bahkan, sematan kata hewan begitu menjijikan jika tersemat pada dirinya. Kotoran mungkin jauh lebih suci jika disandingkan dengan dirinya.
"Lyora capek, Pi. Lyora anak Papi. Darah daging Papi! Udah sepantasnya Papi tanggung jawab, bukan orang lain."
Ujaran dengan siratan fakta itu, tak sama sekali menyadarkan dirinya. Matanya berkilat kemarahan. Ia juga lelah dengan tanggung jawab. Ia lelah dengan semua pekerjaan yang ia lakukan. Apa salahnya dirinya meminta pemahaman dari putrinya.
Akibat semua itu, dirinya bak monster paling sadis menjadikan putrinya sendiri sebagai samsak paling pas untuk melampiaskan segala lelah yang ia pakai untuk bekerja. Yang padahal, itu adalah tanggung jawabnya.
Apa yang salah dengan Lyora. Dia dinginkan. Jika memang mereka tak menyukai dirinya, lantas kenapa melahirkan manusia menjijikan itu? Apa yang salah dengannya.
Lyora benci dengan air matanya. Lyora benci dirinya sendiri. Senyuman tak cukup mampu merendam pilunya tangis malam itu. Lyora bagai samsak tinju. Namun bedanya, pukulan itu berimbas kepadanya. Tubuhnya seakan remuk, badannya terasa begitu sakit, punggungnya lebam-lebam. Namun, hal paling sakit adalah hatinya.
Lyora ingin membenci kedua orang tuanya. Tetapi, ia lebih benci rasa sayangnya pada keduanya. Setekat apapun dirinya mencoba untuk menanam benci, mereka tetaplah orang tuanya. Lyora hanya ingin kebahagiaan bukan penyiksaan.
"Gue manusia, Tuhan. Bukan seekor binatang. Apa salahnya kalau gue dilahirkan? Seandainya bisa dirubah, mungkin kah, bahagia itu ada?" Kegelapan menghampiri dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
LyorArdhan
Ficción GeneralUntuk apa melahirkan seonggok manusia jika hanya diperlakukan sia-sia? Untuk apa mempunyai perasaan jika tak bisa diungkapkan? Alur kehidupan memang tak akan selalu sejalan dengan keinginan. Segala bentuk usaha yang dilakukan tak cukup memperoleh ke...