Aku benci sekolah.

1 0 0
                                    

Sekolah adalah tempat yang paling tidak ingin aku kunjungi, aku juga tidak mau mengingat dan mengenang masa-masa sekolahku. Bagiku, sekolah adalah tempat yang menyumbangkan banyak luka untukku.

Saat sekolah dasar aku sering diolok-olok oleh teman-temanku karena mereka pikir aku menyukai orang paling tampan di kelasku. Itu terjadi karena aku mengirim pesan permintaan maaf pada orang itu, aku merasa bersalah karena dengan sengaja membuatnya jatuh dan berdarah. Tapi, dia berbohong pada teman-temanku yang lainnya dan berakhir dengan ejekan menyakitkan untukku. Semenjak itu, aku mulai berkaca dan jadi sadar diri, menjaga jarak dengan semua teman laki-lakiku. Insecure sejak dini haha.

Saat masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) aku jatuh sakit selama seminggu. Teman sebangku yang merupakan satu-satunya temanku di kelas itu memilih pindah duduk dengan orang lain karena aku tidak sekolah, dan aku berakhir duduk dengan seorang laki-laki. Aku yang tidak mau dekat dengan laki-laki menangis dan meminta pindah sekolah pada ibuku. Namun yang terjadi aku tetap sekolah di sekolah tersebut dan duduk sendirian di meja paling depan-paling dekat dengan meja guru. Awalnya tidak ada yang mau mendekatiku karena aku bukan seseorang yang menarik untuk diajak berteman, aku membosankan. Tapi karena aku menunjukkan sedikit lebih baik kemampuanku dalam belajar, mereka mulai mendekat. Aku yang ingin memiliki teman, menurunkan harga diriku sedikit demi sedikit. Aku mengerjakan tugas-tugas mereka dan aku juga mau jadi pesuruh. Tapi, ada juga yang tulus ingin berteman denganku bahkan hingga saat ini.

Tahun terakhir di SMP menjadi tahun paling membekas buatku. Aku merasa dijauhi oleh semua temanku di kelas hanya karena masalah sepele. Aku bahkan menangis sendirian di belakang kelas, tidak ada yang menghampiriku. Sahabatku tidak mau berbicara denganku lagi, teman sebangku lebih memilih berada di sisi sahabatku. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan pembelaan, mereka melihatku dengan tatapan merendahkan, risih dan ada juga yang kasihan. Aku sendirian.

Selain itu, teman-temanku tidak percaya dan merendahkanku saat aku menjadi juara kelas. Mereka tidak terima bahwa aku yang pasif dan pendiam menjadi juara kelas. Mereka bilang aku hanya sedang beruntung. Padahal aku berusaha dengan sungguh-sungguh, meskipun murid yang pasif tapi aku selalu mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat waktu, aku selalu belajar di rumah dan saat ulangan tidak pernah menyontek pada orang lain apalagi melihat buku. Itu membuat hatiku sakit. Baik di rumah maupun di sekolah, aku tetap tidak diapresiasi-aku tidak dihargai.

Aku sebagai anak yang menjadi juara kelas dituntut untuk membantu teman-temanku yang lain. Wali kelasku menjadikanku satu kelompok dnegan teman-temanku yang kemampuan belajarnya kurang. Tapi aku yang tidak pandai bersosialisasi hanya mengerjakan tugas kelompokku sendirian karena teman-teman sekelompokku juga susah untuk diajak kerja kelompok. ketika aku presentasi, aku dimarahi oleh wali kelasku karena tidak bisa membantu teman-temanku dalam memahami materi saat itu. Aku sudah berusaha, tapi sepertinya mereka tetap tidak bisa memahaminya. Aku masih ingat saat itu di depan kelas, aku menjadi pusat perhatian, beliau melihatku dengan mata yang hampir keluar, berbicara dengan intonasi yang tidak lagi ramah. “Seharusnya anak yang Juara 1 itu bisa jadi contoh, bantu temannya berkembang” sepenggal kata-kata dari beliau yang kuingat. Lagi-lagi itu menjadi tuntutan bagiku. Aku kembali ke tempat dudukku di paling belakang dengan senyuman yang dipaksakan, teman-temanku melihatku dengan kasihan, namun ada juga yang merasa senang melihatku dimarahi.

Mungkin benar kata mereka, aku hanya beruntung mendapatkan juara 1 di kelas itu.

Ada waktu ketika aku sakit saat mengikuti try out. Saat itu hari senin, mata pelajaran Matematika. Aku yang demam dan tidak bisa berkonsentrasi hanya bisa mengerjakan 1% dari keselurahan soal. Tapi karena takut orang tuaku marah, aku mengerjakan try out itu tanpa melihat soalnya. Dan untuk pertama kalinya, aku menyontek pada temanku di kelas sebelah yang kebetulan satu ruangan denganku. Aku kesal, aku marah pada diriku sendiri. Usahaku belajar siang-malam menjadi sia-sia karena aku jatuh sakit. Lalu, saat di kelas guru Matematikaku membagikan hasilnya. Aku mendapatkan nilai paling rendah di kelas, yaitu 1,75. Seketika itu dadaku sesak, aku ingin menangis. Ibuku pasti akan memarahiku, dan pada akhirnya aku menyembunyikan nilaiku dari orang tuaku. Tapi yang paling membuatku sakit hati adalah ketika namaku dipanggil oleh guru tersebut. Beliau melihatku dengan tatapan merendahkan dan berkata, “Juara 1 kok nilainya paling rendah” diakhiri dengan tawa mengejek yang kemudian diikuti oleh semua orang di kelas. Mereka mentertawakanku. Aku tahu ini salahku, tapi bisakah mereka tidak mentertawakanku?

Semenjak saat itu aku tidak lagi berusaha keras untuk menjadi anak yang pintar, aku juga sudah lelah berusaha memenuhi ekspektasi orang tuaku. Aku berusaha tapi tetap adikku yang paling dibanggakan. Aku tidak lagi belajar siang-malam, aku tidak lagi peduli dengan nilai atau rangkingku. Dan akhirnya peringkatku turun menjadi yang kedua. Aku juga tidak termasuk dalam 10 siswa dengan nem terbaik karena nemku hanya 25,52. Aku sedih dan senang secara bersamaan.

Di SMA aku tidak lagi memaksakan diri, aku tidak lagi berambisi, aku ingin menikmati masa remajaku dengan tenang. Tapi saat ujian tengah semester aku lagi-lagi menjadi juara 1. Ya, seperti sebelumnya mereka kaget dan tidak percaya. Lagi-lagi ada yang merasa tersaingi, “Liat nih nilai Bahasa Inggris gue lebih besar dari dia yang juara 1” kata seseorang yang merupakan lulusan SMP terbaik di daerahku. Padahal nilainya hanya memiliki selisih nol koma sekian denganku, aku tahu dia tidak menyukaiku. Tanpa disangka-sangka aku masuk peringkat 10 besar pararell di tahun pertamaku sampai-sampai seseorang dari kelas lain mencariku karena penasaran kenapa aku bisa masuk peringkat 10 besar itu.

Aku tidak peduli.

Peringkatku tidak berarti di mata kedua orang tuaku, karena saat itu adikku berhasil mendapatkan penghargaan dari dinas pendidikan kabupaten. Tentu saja dia dibanggakan karena telah mengharumkan nama sekolahnya itu. Aku tidak ada apa-apanya.

Di tahun kedua aku satu kelas dengan orang yang mencariku. Saat itu aku tidak fokus pada kegiatan intrakulikulerku, aku disibukan oleh organisasi dan ekstrakulikuler. Aku jarang masuk kelas karena dispensasi. Setelahnya aku mulai sakit-sakitan hingga tidak masuk sekolah hampir 1 minggu. Aku tetap menjadi murid pasif di kelas. Karena pengalaman sebelumnya, aku jadi takut maju ke depan kelas meskipun aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru, aku tetap tidak mau maju kecuali saat dipanggil. Aku tidak suka jadi pusat perhatian karena aku takut dengan mata-mata mereka yang melihatku.

Perempuan yang pernah mencariku di tahun pertama pernah berkata bahwa aku tidak akan bisa masuk pada peringkat 10 besar di kelas, dia berbicara dengan gayanya merendahkanku. Aku tidak ingin memperdulikannya, tapi kata-katanya melukaiku. Aku tidak berusaha membuktikannya, aku juga sudah muak dengan tuntutan orang-orang yang mengharuskan aku jadi orang yang sempurna. Tapi, Tuhan berkata lain. Meskipun tidak lagi menjadi salah satu dari 3 besar terbaik di kelas, aku tetap termasuk dalam 10 besar. Aku berada di peringkat 5, aku sedikit senang karena ucapannya tidak sesuai dengan kenyataannya.

Di tahun terkahir aku benar-benar tidak memperdulikan nilai akademisku di sekolah, bahkan aku untuk pertama kalinya tidak lagi termasuk ke dalam 10 siswa terbaik di kelas. Aku tidak sedih, tapi ibuku menatapku dengan sengit. Aku fokus dengan keinginanku untuk kuliah, tapi saat aku lulus masuk kuliah kini ayahku yang tidak menyukainya. Dia tidak merestuiku. Mungkin ini alasan kenapa jalanku sangat sulit, padahal aku juga kuliah untuk memenuhi harapan kedua orang tuaku yang ingin aku menjadi seorang guru-profesi yang paling tidak aku inginkan.

Pada akhirnya, aku tidak bisa lulus tepat waktu. Ayahku menyalahkanku… dia berat hati dalam mendukungku.

Ah, sepertinya aku terlalu berlebihan karena ingin diapresiasi, dihargai. Memang benar kata mereka, aku tidak pernah bisa melakukan sesuatu dengan baik. Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku.

Aku menyesal, seharusnya aku berusaha lebih keras lagi. Mungkin jika aku bisa berusaha lebih keras lagi, mereka tidak akan meremehkanku, tidak akan merendahkanku dan aku usahaku pantas untuk diapresiasi.

Maaf bu, pak… sampai dewasa pun aku hanya menjadi anak yang gagal dalam segala hal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

나 (Na)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang