Binar timur yang nyalang terbias dari balik ilalang yang rimbun, suara pekik namun bersenandung rayu, menghampiri keheningan yang ramai rasanya..., supaya lebih indah kami tambahkan potongan surat di dalam amplop merah jambu, tulisan nya untuk guru kami, dan teman-teman kami. Sungguh yang lagi dermawan dan wataknya baik, Dirmawan susanto Budiono, guru matematika yang kami senangi, juga kalau ada yang lebih langka dari harimau Sumatera pastilah guru matematika seperti Pak Mawan, pribadinya baik, bagai bunga matahari yang tumbuh di gelap nya malam, matriks yang sekiranya menjadi teror siang malam bagi kebanyakan siswa-siswi, untuk kasus ini malah menjadi cemilan malam minggu yang asik. Seperti bunga matahari, sekalipun ia cantik dan indah, tapi bunga tetaplah bunga, setiap bunga yang tak disiram akan mati. Senin, awal tahun telah berhenti disinari mentari yang cerah, bunga di pelataran sekolah seolah layu, murung oleh mendung yang tak berkesudahan, kadang hujan yang turun membasuh bunga pun tak membuatnya makin subur, selasa pun sama, aroma rumput yang tercium di masa lalu, kini telah sirna bagai tertiup angin badai. Tiga hari sebelumnya, bapak kami..., seorang yang mengajari kami dengan tutur baik, Pak Mawan meninggal 2 minggu sebelum waktu pensiunnya sebagai guru..., kecelakaan yang tragis membunuh pak Mawan dan putra semata wayangnya, mereka bertabrakan dengan anak sekolah menengah atas, seorang pelajar yang membawa motor dengan satu spion yang menyilaukan mata, terjadilah tabrakan yang tragis, beruntungnya si pelajar selamat dari kecelakaan itu, malangnya ia adalah salah satu murid yang diajar pak Mawan.
2 Desember sebelum libur panjang berlangsung, sekolah bagai medan tempur bagi Yuda..., bahkan angin lebat pada pagi ini mampu mencekik tenggorokan nya dengan erat, ketika rasa sakit di kakinya masih menyeruak nyeri, akan tetapi masih kalah dengan bisikan yang begitu menyiksa kuping, tingkahnya yang sembrono dan linglung membuat siswa yang lain makin melihat rendah padanya, suara yang dari kecil mulai menjadi ledakan dasyat yang memekik gendang telinga, mungkin malah rasanya lebih sakit dibandingkan jatuh dari atap sekolah 2 tingkat, tak ada seorang pun yang tahan dengan tekanan seperti itu, Yuda berlari terpincang-pincang dengan kakinya yang masih dalam tahap pemulihan, tubuhnya menggigil kencang, wajar..., cuaca sejuk membuat tubuhnya bergemerecak kedinginan, atau mungkin bukan hanya karena cuaca yang dingin.
Murid sekolah yang polos, saat seorang anak umur 7 tahun kehilangan mainan favoritnya mereka akan mulai menyalahkan orang disekitarnya, entah itu ibunya atau ayahnya yang bahkan tidak sama sekali menghilangkan mainannya, dan ia hanya bisa menangis serta merengek, lalu mulai ngambek karena mainan nya memang benar-benar tidak ada di tangannya, menuntut mainan itu untuk kembali, namun sia-sia jika memang mainannya sudah hilang. 4 Desember mungkin sudah lebih baik dan mendingan, pikirnya..., tapi dari setiap sisi sekolah, ruang guru, kelas, dan bahkan kamar mandi menjadi sarang bibir yang menyengat, ejekan dan bully-an yang menggerogoti telinga Yuda sudah hampir menjebol otaknya. Di malam hari kadang Yuda mengorek kupingnya dengan spidol, mencari sesuatu yang sangat sulit untuk dilupakan di keluarkan, seolah menambang kotoran yang begitu dalam, dan saking dalam nya, bor manapun tidak akan bisa menggalinya, malahan membuatnya semakin terperosok ke dalam.
" Pembunuh! ".
" Bapaknya dia katanya juga suka bunuh orang! ".
" Pantes aja temennya pada pergi ".
" Eh jangan deket-deket, nanti di tabrak loh".
" Tolol tuh anak! ".
" Kenapa gak dia aja sih yang mati!? ".
Yuda seolah terbangun dari mimpi buruk yang hari ke hari terus merecoki batinnya, 10 Desember menjadi hari terakhir untuk Yuda di sekolahnya, rundungan dan cacian yang ia dapati menjadi jalan berduri yang amat menyakitkan baginya, sehingga tak ada pilihan lain selain melupakan dan meninggalkan nya, se reda itulah kini hujan di atas kepala Yuda, namun yang membuatnya takut adalah kembalinya hujan yang deras suatu saat nanti. Ia menandatangani beberapa hal, membawa buku rapor dan ijazah serta surat-surat lainnya, lalu bersama ibunya, Yuda keluar dari ruang guru sekaligus sekolahnya, seakan keluar dari kamp tahanan, Yuda benar-benar seperti burung yang kini bisa bebas terbang kemana saja, hal terakhir yang ia saksikan dan masih akan menjadi dosa yang akan tertanam di hatinya, terlihat banyaknya amplop merah di pelataran sekolah, sebuah penghormatan bagi pak Dirmawan..., Yuda hanya dapat terdiam seolah menangis namun tak bisa ia keluarkan, hatinya sesak dan kadang tercabik-cabik, mulutnya juga ingin meronta-ronta, serta ia tidak dapat menyalahkan siapapun atas takdirnya yang seperti ini, hanya dirinya lah yang bisa menghancurkan duri-duri yang tertancap di telapak kakinya, mencabut nya satu persatu hingga semuanya hilang, " Buk..., Yuda minta Amplop... " Ucap Yuda. Ibunya hanya diam, ia mengerti perasaan putranya yang sudah menanggung banyak hal, yang kemudian ibunya memberikan amplop dan bolpoin bertinta biru yang siap Yuda tulis. Tulisannya tidak rapih, tangannya gemetaran serta kertasnya pula dibuat hampir robek, namun untuk sekali lagi, ia harus menguatkan sukma nya..., Yuda yang kini sudah tegar melanjutkan tulisannya, goresan demi goresan ia masukan kedalam amplop tersebut, lalu selepas memberi titik di akhir kalimat, Yuda memberi tulisan singkat di depan amplop putih tersebut "PENEBUSAN" Tangisan hampir lepas, namun dirinya kini bagai berlian yang tahan gores, diantara banyaknya amplop merah, seonggok amplop putih yang tulus diletakkan diantaranya, menyapu darah yang mengerikan, sehingga membersihkannya hingga tak berbekas, sebuah penebusan dosa dari Yuda Ardi Pancawala, seorang siswa kelas 10 SMA, yang harinya telah di hantam oleh takdir.
Kurangnya kehati-hatian mungkin bisa berbahaya. Yuda memutuskan untuk menjual motornya, ia membuang segala hal yang berhubungan dengan kehidupan lamanya, termasuk sesuatu yang berkaitan dengan kecelakaan tersebut. Kini sekolahnya berpindah ke daerah dimana neneknya tinggal, cukup jauh dari sekolah Yuda yang sebelumnya, jadi ia memilih sekolah tersebut, ibunya setuju-setuju saja, tapi ayahnya yang melarang keras, ia beranggapan kalau sekolah baru Yuda tidak sebanding dengan sekolah lamanya, bisa dibilang tidak lebih bagus, namun Yuda juga sama keras kepala dengan ayahnya, ia sebisa mungkin ingin pindah dari daerah tempat ia sekolah, tidak bertemu serta terlibat dengan siapapun yang ada di kehidupan sebelumnya, ia ingin bebas, lega seperti saat pertama kali memeluk ibu sepulang kemah, Yuda ingin merasakan hal itu, ia bersikeras meyakinkan ayahnya tentang hal tersebut, tekadnya seolah-olah di pompa berkali-kali hingga besarnya bahkan melebihi ban truk monster. Tapi tetap saja ayahnya tak membolehkan Yuda untuk pindah sekolah, mendengar keputusan ayahnya, Yuda mulai bertindak
KAMU SEDANG MEMBACA
She is even more beautiful than a thousand sparkling diamonds
Teen FictionYuda..., seorang pelajar sekolah menengah atas yang menjalani kehidupan baru nya, mencoba menghindar dari masalah di masa lalu nya yang kelam dan mencoba menebus dosanya di masa lalu. ia anak yang pendiam, di sekolah barunya bahkan tak ada yang men...