Berharap angin menjadi perantara suara yang tak dapat tersampaikan oleh lisan
...Tak ada yang lebih indah dari hadirnya senja dan tak ada yang lebih menyakitkan ketika senja perlahan menghilang.
Awalnya Rian pikir jika ia memiliki sosok Ayah, hidupnya akan benar-benar sempurna.
Dalam bayangannya dia akan bermain bola bersama Ayah dan Abang di sore hari, dan Bunda yang menjadi penontonnya, lalu malamnya mereka bercengkrama, saling berbagi tawa dan bahagia, mengeluhkan lelah nya satu harian aktifitasnya, lalu saling menguatkan dan memberi semangat.
Sayangnya itu hanya ingin seorang Rian, yang berbanding terbalik dengan inginnya sang takdir.
Dia hanya ingin bersama Ayah dan juga Bunda serta Saudaranya, apakah itu keinginan yang serakah, terkadang Rian membenci Bulan yang ditemani banyak bintang, namun membiarkan matahari sendiri di siang hari.
Ternyata bukan masalah waktu, namun masalah bagaimana kita melihat dan berpikir, nyatanya Bintang tak pernah beranjak meninggalkan Matahari, ia diam ditempat hanya saja hadirnya tak terlihat.
"Rian!" ketukan pintu dan suara itu, Rian tau itu adalah Beno, kakak tirinya.
Rian bahkan tidak tahu ketika Ayahnya membawanya ke rumah besar ini Ayahnya telah memiliki keluarga baru. Rian pikir Ayahnya hanya tinggal sendiri, namun nyatanya tidak, kehadiran nya disambut oleh seorang wanita baya yang terlihat cantik juga seorang pemuda tampan yang seumuran dengan Reon.
Wanita cantik yang dikenalkan Ayah sebagai Mama tirinya sepertinya wanita glamour dan materialistis, terlihat dari dandanan juga aksesoris serta pakaian yang ia kenakan.
Sementara pemuda yang umurnya tidak jauh beda dengan Rian, sangat terlihat menunjukkan sikap tak suka nya pada Rian, bagaimana tatapan tajam juga wajah dingin nya Serupa lisan nya.
"Iya kak?" balas Rian sembari merapikan alat tulisnya yang cukup berantakan, ia tau Beno memanggilnya untuk makan malam.
Sebab itu dia bergegas kebawah agar mereka tak menunggu lama.
Dentingan sendok yang beradu dengan piring menjadi pengisi suara makan malam ini, tak ada yang hendak membuka percakapan, masing-masing sibuk dengan kunyahan mereka.
Selang beberapa menit, kebisuan pun usai oleh suara sang kepala rumah tangga.
"Gimana sekolah kamu Yan?" Pertanyaan yang selalu ditanyakan ayah nya, dan Rian selalu memberi jawab yang sama, bahwa semua baik-baik saja dan aman terkendali.
Setelahnya ayah akan beralih pada Beno, yang juga masih duduk di bangku SMA, satu sekolah dengan Rian, hanya saja Beno sebentar lagi akan lulus.
"Sudah ada perencanaan yang matang Ben?" Wajah dingin nya tetap saja diperlihatkan, sekalipun itu dengan Ayah.
"Bisa dibilang sudah." Tidak hanya wajahnya, bahkan suaranya pun terkesan dingin dan tak pandang bulu pada siapa ia tengah berbicara.
"Bagus kalau begitu, Ayah harap kedua anak Ayah yang sudah besar dan cukup dewasa ini, mampu menempatkan posisi nya ditempat yang seharusnya." Reon dan Beno hanya mengangguk serentak menanggapi, sementara mama Tya hanya menjadi pendengar, tumben-tumbenan mama Tya menjadi kalem malam ini.Rian cukup heran akan hal itu, karena Mama Tya adalah yang paling cerewet, tapi kali ini tak ada satupun kata keluar dari mulutnya, namun itu membuat Rian senang, pasalnya ia memang tidak menyukai Mama tirinya itu.
Usai makan malam, Rian langsung kembali ke kamar nya, hendak melanjutkan tugas nya kembali, namun rasa malas menyerang nya kali ini, bersamaan dengan rasa bosan, lalu dia mengambil benda pipih yang ada di atas nakas.
Menggulir sosial media, barangkali ada yang menarik, dan dia melihat post terbaru Reon, yang menampilkan fotonya berdua dengan sang bunda, tak ada caption, hanya stiker love merah.
Ada rindu yang berteriak dalam hatinya, teringat bagaimana ia dulu begitu dekatnya dengan Reon, kemana- mana selalu bersama, bahkan ketika melihat sesuatu secara bersamaan, mereka akan tertawa saat itu tanpa harus menjelaskan letak kelucuannya, entah telepati mereka yang bekerja atau memang mereka memiliki pikiran yang telah menyatu.
Namun sekarang berbeda, bahkan Rian merasa saudaranya seolah menjauh darinya, semua pesan juga telepon dari Rian tak mendapat balasan apa pun.
Ingin Rian pergi menemui mereka, menyampaikan rindu yang selama ini terpendam, menyuarakan sakit yang selama ini terbawa angin tanpa tau arahnya kemana.
Namun sayangnya, Ayah tak pernah memberi izin, hanya janji manis juga ancaman yang akan Rian dapat jika ia mengatakan akan menemui mereka, orang terkasihnya yang dirindu.
Kadang terbesit di hati Rian untuk kabur saja dari rumah ini, namun ia ingat pesan terakhir Bundanya untuk tidak membantah sang Ayah, menurut pada perkataan nya, dan Rian benar-benar melakukannya, karena ia ingin menjadi anak yang baik.
Rian hanya berharap, waktu dapat mengantarkannya sesegera mungkin pada mereka yang dirindu.
•••
Suara bising adalah hal biasa ketika Rian memasuki Kelas, sapu yang sudah tidak ditempatnya, kapur berserakan dimana mana, spidol sudah raib entah kemana.
Terkadang Rian merutuki kenapa bisa dia berada di kelas sebising ini, padahal biasanya jurusan MIPA adalah kumpulan siswa yang terobsesi mendapat nilai tinggi dan haus akan pujian guru, mengapa sekelasnya berbeda, bahkan tak ada persaingan dikelas ini.
Jika ada tugas, yang menjadi korban adalah satu dua orang yang rajin mengerjakan, yang lainnya hanya tinggal menyalin, prinsipnya "ngapain dikerjain susah-susah, toh juga nanti hasilnya sama. Kejujuran akan kalah dengan Usaha, karena hasil lebih dihargai daripada proses."
Dan dapat diterima akal juga, semua siswa mendapat nilai cukup tinggi, bahkan yang bolos pun mendapat nilai lebih tinggi dari si cupu yang biasa menjadi korban.
"Pagi Yan," sapa Ficus, teman sebangku Rian, sahabat yang setia selalu ada untuk Rian, namun beda cerita jika dia sudah bersama gadis nya.
Ribka, mereka berpacaran hampir satu tahun, sungguh awet dan romantis, terkadang tugas Ficus dikerjakan oleh Ribka, padahal Ficus sudah mengatakan akan mengerjakan sendiri.
Pelajaran pertama akan dimulai, Fisika, pelajaran dimana Ficus cukup ahli dalam memahaminya, lain hal dengan Biologi, dia memang sudah mundur jika membahas hal itu.
"Rib, oy," bisik setengah teriak dilontarkan oleh Ficus, meja mereka memang berseberangan, sehingga memudahkan mereka untuk saling berbagi jawaban ketika ujian, tepatnya Ficus yang meminta jawaban.
"Apa?" Tanya Ribka agak kesal, padahal Bu Dwi tengah menerangkan, bukannya menyimak, Pacarnya yang super duper sok romantis ini malah mengganggu.
"Jangan kesal gitu napa sih, makin cantik tau ga." goda Ficus, namun sayangnya Ribka sudah kebal akan gombalan receh sejenis itu.
"Jadi anak-anak, huk-" Ucapan Bu Dwi berhenti ketika melihat satu siswanya yang kurang fokus dalam penjelasannya.
"Ficus, apa wajah Ribka lebih menarik dari Penjelasan Ibu?, Sekarang coba sebutkan bunyi hukum kekekalan energi!"
Ficus menampilkan cengir kuda, lalu menatap seisi kelas yang arah pandangnya tertuju padanya.
"Eh- , bi-bisa Bu, jadi Bu, Hukum Kekekalan energi itu berbunyi 'Energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, tapi dapat diperbarui atau diubah' sekian bu" Untung saja dia menyukai pelajaran Fisika, jadi menjawab pertanyaan tiba-tiba tak membuatnya mati kutu.
"Hem, coba berikan contoh nya, supaya teman-teman mu dapat lebih mengerti!"
"Contoh ya Bu, Eum Kebahagiaan tidak dapat diciptakan jika kenangan masa lalu tidak dapat dimusnahkan, tapi kalau ingin memperbarui masa depan dan mengubah kenangan, ayo kita gas kan jadian, yoi gak Rib?" Ucapnya percaya diri, dan mengarahkan pandangnya pada Ribka, sementara Ribka sudah menunduk malu, dengan wajah merah menahan malu dan amarah. Awas saja Ficus, nanti kau akan dapat balasan.
Sementara seisi kelas berteriak, mengatai gombalannya receh, ada yang tertawa dan menggoda mereka, Bu Dwi pun ikut tersenyum, rindu juga pada jiwa muda nya dulu, yang tak jauh beda dengan kelakuan siswa nya saat ini.
Sorry for typo (s)
KAMU SEDANG MEMBACA
RandD
Teen FictionTernyata dua tahun merupakan waktu singkat namun mampu memulai terjadinya suatu perubahan. Rian tidak bermaksud meninggalkan karna ia tidak ingin ditinggalkan, namun takdir tak mengerti maksud Rian. Reon- saudara Rian, hanya tau, bahwa Rian meningga...