ENAM

10 2 0
                                    

Sudah sekitar dua jam Nora menatap layar laptopnya, gadis berambut hitam panjang itu terus menggulir layar makin turun, dari satu artikel ke artikel yang lain. Namun, apa yang sejak tadi dia cari tidak terjawab.

Mengapa Dean menghilang?

Dari beberapa artikel yang dia baca, para wartawan berasumsi bahwa Dean diam-diam menikah, ada juga yang berpendapat bahwa pemuda itu pergi keluar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Namun, yang menjadi pertanyaan Nora adalah pihak manajemen tetap bungkam sampai saat ini, bahkan para anggota Gistara juga enggan untuk diwawancarai, seperti sengaja tidak mau atau memang ditutup rapat.

"Mau nyari sampai mana?"

Suara halus dan dingin merambat lambat di udara, masuk ke telinga Nora. Walau pelan, efek suara itu membuat Nora terperanjat. Refleks tangannya mengelus dada.

"Bisa nggak sih kalo masuk kamar orang tuh salam dulu, ini langsung ngagetin. Nanti aku jantungan gimana?" kata Nora sewot, nyaris saja jantungnya jatuh.

Dean melayang rendah di samping kanan Nora. "Ya bagus dong, jadi nemenin aku di sini."

"AMIT-AMIT!" Nora memukul meja lalu beralih ke kepalanya tiga kali, berusaha mengusir sial gara-gara perkataan nyeleneh Dean. "Sembarang kalo ngomong! Nanti kalo ada malaikat lewat gimana?" Bibir tipisnya mengerucut.

"Kasus ini nggak ada di berita." Dean mengabaikan perkataan Nora barusan. "Ditutupi sama seseorang ... mungkin."

Mendengar penuturan Dean membuat Nora mau tidak mau berpikir, dia setuju dengan hantu itu. Mana mungkin ada berita orang hilang, yang jelas-jelas dia artis dan sedang naik daun, tetapi tidak ada media yang menyorot. Secara Indonesia itu negara bebas, mau tahu artisnya beli baju di Tanah Abang saja bisa dicari di Google. Bisa dibilang tidak ada privasi sama sekali.

"Agensi mungkin?"

Dean menggeleng pelan. "Nggak tahu, agensi mana yang senang kalo ada artisnya yang mati? Nggak ada, 'kan?"

"Oh! Agensi menutupi kasusmu biar grupmu tetap bisa survive di sini, itu bisa aja, 'kan?" Akhirnya pikiran Nora terbuka, ini juga gara-gara dia sering melihat drakor. Kan banyak juga drakor bergenre detektif seperti ini, mungkin saja kasus Dean juga begitu.

Mulut Dean sudah terbuka, tetapi kembali bungkam. Bisa jadi. Namun, dirinya tidak berpikir sampai sana. Apa ini ada kaitan dengan ibunya?

Nora memasukkan tangan ke saku piama hitamnya, mulutnya bergerak-gerak sambil memperhatikan perubahan ekspresi Dean. Mungkin jika Dean masih hidup, cowok itu akan tampan sekali. Wajahnya cukup kecil, rahangnya tegas dan dagu yang agak runcing. Bola mata cokelat tua dipayungi bulu mata lentik, dengan bibir sedang yang kini pucat.

Jika saja Dean tidak melayang, tinggi mereka akan berbeda jauh. Nora mengira tingginya hanya sebatas dada Dean. Dean adalah gambaran sosok oppa yang lama Nora inginkan.

"Pernah coba hubungi teman grupmu? Mereka ada Instagram nggak ya?" tanya Nora, jiwa keponya sedang meluap-luap.

"Jangan kebanyakan kepo, nggak baik," ujar Dean, sosoknya melayang menjauh, bergerak mendekati cermin di sisi kiri lemari pakaian. "Kalo bisa cermin ini ditutup kain pas malam."

Dan, tanpa menunggu reaksi Nora, sosok Dean menghilang menembus pintu kamar.

-ˋˏ✄┈┈┈┈

Nora terlambat.

Sepasang kaki beralas sepatu hitam berlarian di sepanjang trotoar di depan SMA Bina Bangsa. Hiruk-pikuk kendaraan di jalanan beraspal tidak membuat fokus gadis berpakaian putih abu-abu itu pudar, dengan napas tersengal-sengal dirinya berhasil melewati gerbang sekolah yang sudah dia tempati dua tahun ini.

Setelah memasuki area sekolah, kaki Nora kian melambat. Sambil berjalan Nora merapikan rambutnya yang acak-acakan dan basah karena keringat. Napasnya masih terengah saat dirinya memijakkan kaki di koridor kelas.

Wah, ibunya parah sekali. Wanita itu lupa jika libur semester anaknya sudah berakhir kemarin, jadinya Nora kalang kabut saat alarm ponselnya terus-terusan bersuara nyaring. Jika saja dia lupa dan kembali tidur, tamat sudah awal tahun ajaran pertamanya di kelas dua belas.

"Pagi, Nora!"

Dari belakang tubuh Nora, seseorang berteriak dan langsung merangkulnya. Gadis itu sedikit berjingkat karena suara cempreng seseorang, dia lantas menoleh ke samping.

"Suara lo masih sama ya, Des," ujar Nora sambil memukul lengan gadis itu.

"Gimana-gimana, kangen gue nggak?" Dessy bertanya. Gadis berambut panjang hitam dengan bando di kepalanya, sedikit menjauh dari Nora saat seseorang memisahkan rangkulannya. "Heh, Ay, baru kelihatan lo."

"Potong rambut lagi?" Nora geleng-geleng kepala. Temannya yang satu ini suka sekali jika rambutnya pendek. "Padahal bagus yang kemarin loh, kelihatan cantik, Ay."

Araya berjalan mendahului kedua temannya. Dirinya sendiri memiringkan kepala untuk bicara dengan mereka. "Ayo ke kelas, katanya ada yang mau diomongin."

"Eh, iya!"

Nora bergegas menyusul Araya diikuti Dessy. Ketika sampai di kelas XII IPA 2, Ketiganya dengan asal duduk karena kelas masih setengah kosong. Nora duduk dengan Dessy sementara Araya duduk di depan mereka, gadis berambut pendek itu berbalik badan ke belakang untuk menyimak.

"Pindah ke mana lo? Shareloc dong," tanya Dessy.

Sebenarnya tenggorokan Nora kering karena berlari tadi, tetapi dia lupa membawa minum. Namun, ini tidak akan menghentikan keinginannya untuk bergunjing.

"Dekat sini kok, lari aja sampai sekolah," kata Nora terkekeh. "Oh ya, ini sesuatu yang wow banget. Kalian pasti kaget." Nora menurunkan intonasi bicaranya, kepalanya lebih condong ke depan, mendekat ke kedua temannya.

"Apa? Buruan bilang." Dessy geregetan sendiri, Nora sok misterius dan itu membuatnya ingin menjambak rambut panjang Nora.

"Gue bisa lihat hantu ...."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Something Only We Know Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang