→ tukang peluk ²

187 19 7
                                    

Di rumah Irene, tepatnya rumah kedua orang tua gadis itu. Wendy yang tersenyum cerah memasuki halaman rumah dengan perasaan senang. Hati nya terasa berbunga-bunga membayangkan akan tidur berdua dengan Irene. Dipeluk Irene.

Ckck, belum juga bertemu sosok Irene yang cantik dirinya sudah merasakan salting. Parah.

"Aduh-duh, anak manis, ucucucuuu.."

Mama Irene terlihat mendekat dan memberuntuninya dengan cubitan dan tepukan pelan di pipi. Wendy berkali-kali membuka mata dan menutupnya lagi ketika tangan halus Mama Irene menyapa pipinya.

"Udah makan belum?" tanya wanita parubaya itu, terlihat begitu antusias.

Wendy menggeleng sebagai jawaban, lantas mendapat tepukan pelan di kepala.

"Pas banget, Mama baru masak tongseng. Kesukaan Irene."

Karena Irene menyukainya, maka Wendy juga jadi suka makanan itu.

Wendy menunggu dengan gembira, bagaimana Mama Irene menyiapkan makanan untuknya. Tangan Wanita itu terlihat cekatan dan telaten mengambilkan nasi untuk Wendy, kemudian menaruh tongseng di mangkuk dan meletakkan di meja depan Wendy.

Wendy tersenyum, rasanya sudah seperti jadi menantu saja. Hehe.

"Oh ada si bayi, pantes aja mama lupain aku." Irene datang dengan wajah yang dibuat seolah-olah marah. Kemudian membuka mulutnya ketika sudah duduk di samping Wendy.

Wendy langsung menyuapkan sesendok penuh daging tongseng kepada perempuan di sampingnya.

"Yang akur ya, di rumah. Mama malam ini mau bertemu kolega papa."

Irene dan Wendy kompak mengangguk. Dalam hati Wendy senang sekali ditinggal berdua dengan Irene.

Bisa peluk sepuasnya sampe mabok!

"Udah ngerjain fisika?"

Wendy menggeleng sebagai jawaban, tangannya meraih lengan Irene kemudian bersandar pada perempuan yang sibuk menyuapkan tongseng dalam mulutnya.

"Kan ada kamu," kata Wendy dengan bibir lucu.

Irene mendengus melihatnya, kemudian menarik bibir bawah Wendy pelan. Dengan gemas.

"Ish! Daripada kamu tarik-tarik mending kamu cium aja, bisa nggak?"

Irene tertawa, sementara tangannya sibuk memegangi pipi Wendy.

"Emang mau dicium?" tanya Irene dengan senyum menggoda. Wendy hampir menampar pipinya sendiri karena terpesona.

Tahan, tahan.

NGGAK BISA ANJAY!!

Wendy segera memajukan bibirnya dengan wajah senang. Persetan dengan ekspresi Irene yang shock melihatnya. Dia mau dicium Irene!

Wendy yang memejamkan mata dengan jantung berdebar begitu kencang semakin sekarat merasakan dingin yang kini menyentuh bibirnya. Apakah ini yang namanya ciumaann??????

Apakah ini rasanya dicium Irene???

BIBIR WENDY SUDAH TIDAK POLOS.

Belajar dari pengalaman menonton film rating 18+ Wendy segera melumat, merasakan rasa tongseng di mulutnya. Tentu saja, keduanya sedang makan tongseng.

Tapi ada yang aneh, suara Irene menahan tawa dan juga rasa besi di mulutnya yang kini mulai terasa.

Wendy membuka mata. "Hahaha, dih ciuman sama sendok," kata Irene dengan tawa yang tidak bisa lagi dia tahan.

What the f..

•••

"Masih marah?"

Irene tersenyum memperhatikan Wendy yang terdiam membuka album foto di sudut kamarnya.

Sudah semenjak kejadian ciuman dengan sendok setengah jam yang lalu itu membuat Wendy marah sampai sekarang.

"Kamu kalo marah gitu keliatan tambah lucu tau, aku jadi nggak bisa nahan ketawa lagi." Irene berkata dengan kekehan kecil di akhir.

Wajah Wendy memang lucu sekali saat ini. Bibirnya terpaut dan pipi nya menggelembung karena Wendy menahan udara disana.

"Emang kita kenal ya? Nggak usah ngajak ngobrol deh."

Irene tertawa kecil, "mabar, yuk?" Tubuhnya mendekat pada Wendy dan duduk di lengan sofa. Ikut memperhatikan album foto ketika dirinya masih kecil.

"Kamucantikwaktumasihkecil," kata Wendy cepat. Irene perlu berpikir sejenak mencerna kalimat yang begitu cepat itu.

Begitu paham dirinya menepuk pucuk kepala perempuan di sampingnya pelan. "Sampe sekarang juga masih cantik."

"Dasar ke-pede-an!"

"Halah, kamu aja nggak tau kalo kamu ngeliat aku, tatapan mata kamu itu kaya ngeliat bidadari." Irene menyelipkan beberapa anak rambut ke telinga nya.

Wendy melirik sinis, "sok tau!"

"Lah yang punya mata kan aku, aku yang selalu ngeliat kamu, mana bisa kamu ngeliat mata kamu sendiri."

"Udah-udah stop, berisik kamu tuh!"

"Yaudah ayo kita mabar," kata Irene menahan tangan Wendy yang hendak melakukan kegiatan lain. Menghindari dirinya.

"Ck, ya!"

Irene tersenyum senang, kemudian membelai lembut pipi Wendy. Irene melihat dengan jelas bagaimana wajah Wendy memerah.

Wendy masih mencoba bersikap ketus. Irene terkekeh.

Dia mana tau kalo dia selucu ini?

"Aduh-aduh eh-Rene tolongin sini ya ampun aku ditinggalin sendirian!!! Aanjjj—" Irene buru-buru membekap mulut Wendy, mencegah perempuan itu berbicara kasar.

"Sabar, tenang, aku gendong kamu dan tiga coro nggak berguna ini," kata Irene sembari tangannya sigap menekan beraturan layar ponselnya.

Wendy misuh-misuh sendiri. Dalam hati merapal kutukan kepada teman setim nya dalam game. Termasuk Irene yang tidak peduli padanya.

"Huft.. menang kan, untung aku jago." Dengan sombongnya Irene merebahkan diri di kasur.

Wendy geleng-geleng kepala kemudian menyusul di sebelah perempuan itu. Memeluk Irene yang terkapar.

Rasa kantuk melanda mereka berdua. Irene terlebih dulu menutup mata disusul Wendy yang tidak berdaya.

Entah sudah gila atau bagaimana, Wendy merasa sesuatu yang dingin menyentuh bibirnya.

Ya, Wendy pasti sudah gila.






To be continued

tukang peluk [wenrene]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang