ROUND 8: Berubah Total

18 3 2
                                    

Iram menulikan telinga. Terus melangkah maju.

Wajah Anis menjadi tirus sejak terakhir kali. Kurus dan hampir tidak memiliki daging. Rambutnya jadi lebih panjang dan terurai. Padahal Iram lebih suka diikat.

"Iram? Lo Iram kan? Gak nyangka ketemu lo di sini."

Anis mendekat, meraih tangan Iram, tapi sebelum tergapai Iram lebih dulu menyingkir.

"Maaf, Nona. Sebaiknya jangan menggangguku."

Iram membangun tameng. Anis jelas berbeda dibanding tiga tahun lalu. Sosoknya berubah dewasa dan terkontrol. Teriakannya terakhir kali terdengar saat melawan tiga pria tadi. Tidak seperti dahulu yang emosional setiap detik.

Membuat Iram takut daripada melihat hantu.

Anis tahu akan begini. Dia menghadang jalan Iram dengan kedua tangan terentang. Keras kepala.

"Gue tahu ini lancang, tapi gue gak kenal siapa pun di sini selain lo. Yah, beruntungnya gue ketemu lo. Gue mau minta tolong, boleh?"

Iram memalingkan wajah. Dia tidak mau terpengaruh. Dirinya bertekad sembuh. Jadi ketika penyakit itu kembali menyerang ... anti bodinya harus siap mengatasi.

Pupilnya menatap tajam. "Kita tidak saling mengenal. Kau lupa? Aku tidak peduli pada urusanmu."

Iram melewati Anis dengan mudah. Tidak lagi ditahan.

Mengepalkan tangan sembari memaksa kakinya bergerak. Iram terus merapal dalam hati kalau ini langkah terbaik.

Tidak ada yang lebih penting dari kewarasan diri sendiri sekarang.

Suara, cara bicara yang aneh itu, bahkan deru napasnya harus Iram hempaskan. Mereka hanya tidak sengaja bertemu. Iya, tidak ada hal penting lain.

"Bokap gue gak ada kabar tiga tahun ini." Anis jelas sangat keras kepala. Suaranya pelan, tapi terdengar jelas ke telinga Iram. "Emang biasanya sering gak pulang bertahun-tahun. Tapi bokap pasti ngabarin. Trus sekarang ...,"

Anis tercekat. Air mata tahu-tahu menggenang. Menyusut hidungnya yang berair.

"Dia kayak orang hilang. Pengasuh juga gak bisa hubungin. Jadi gue nekat keluar kota, nyari dia, gak tahunya udah di sini aja."

Anis terduduk. Dia tidak tahu Iram masih di sana atau benar-benar pergi. Dirinya putus asa. Pergi sejauh ini selama dua minggu dan tidak menemukan petunjuk apa apun.

Berbekal beberapa foto yang pernah dikirim ayahnya saat bepergian, Anis mengunjungi setiap tempat. Sayangnya petunjuk itu berhenti di sini.

Buntu. Setelah petunjuk lain tidak menemukan hasil.

New York.

Anis baru sadar sudah sejauh ini dari rumah. Sendirian.

Hebat dia masih hidup hingga kini.

Kemudian tanpa disengaja dia bertemu Iram. Membuat jantungnya berhenti sebentar. Tertahan beberapa detik. Lalu normal kembali.

Anis sepenuhnya paham kalau dia dan Iram telah berbeda. Kejadian di masa lalu rasanya cukup membuat mereka berjarak selamanya.

Anis ingin pergi dan tidak peduli seperti Iram. Namun, informasi sekecil apa pun tentang ayahnya sangat penting. Meski didapat dari Iram sekalipun.

Jadi, Anis bersikap seolah hubungan mereka baik-baik saja. Mengurai nada ceria dan tanpa beban, menyapa Iram.

Wajar jika Iram memilih pergi dan meninggalkannya. Anis juga akan begitu kalau di posisinya.

"Gak pa-pa, gue sendiri bisa nyari." Anis bergumam. Dia tersenyum, mendongak, terkejut melihat uluran tangan seseorang.

Nefarious GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang