ROUND 6: Dia (Tidak) Mati

29 5 8
                                    

Arga bersiaga dengan pistol di kepala. Sesekali mengintip lewat lubang angin, memantau keadaan.

Wajahnya tertutup kain surban, menghalangi tanah tandus yang tengah ditiup angin kencang, juga untuk menutupi identitasnya.

Lewat lubang angin itu Arga bisa melihat banyak penjaga berkeliaran. Wilayah perbatasan Istanbul yang kumuh dan hanya dibangun lewat tanah liat dan batu bata, menjadikan penyisiran Arga sulit karena debu dari dinding ikut menghalangi pandangan.

Kondisi ruangan di dalam seperti labirin. Memiliki banyak lorong dan ada dua penjaga di tiap lorongnya.

Arga berpindah ke sisi gedung yang lain, berharap menemukan celah. Panas matahari tidak membuat Arga berkeinginan melepas penutup wajahnya walau sudah dibanjiri peluh.

Arga lebih mengkhawatirkan satu-satunya tawanan yang ingin diselamatkannya. Bertanya-tanya apakah keadaannya baik-baik saja atau tidak.

“Bagaimana dengannya? Bos memerintahkan kita memindahkannya ke tempat lain.”

Arga menajamkan telinga.

“Ya, nanti akan datang truk pengangkut seperti biasa. Kau siapkan saja semuanya.”

“Baik.”

Lalu terdengar suara langkah berderap pergi. Arga berdeduksi kalau yang dimaksud itu adalah orang yang sedang dicarinya.

Sesuatu bergerak. Arga menoleh cepat pada sebuah pintu di sampingnya. Sial. Dia berdiri tepat di samping pintu belakang.

“Tidak ada pilihan lain.”

Arga menunggu seseorang keluar dari sana. Bersiap di belakang pintu, memukul kepala penjaga itu dengan pukulan keras, tidak membiarkannya jatuh ke lantai.

Arga menyeret orang itu ke dinding. Dia menggunakan surban yang sama sebagai penutup wajah.

Arga menyeret tubuh itu lebih jauh di belakang gedung, mengambil senapan laras panjangnya, menukar surban, lalu masuk sebagai penggantinya.

Arga berkedip. Satu langkah bagus. Dia harus secepat mungkin menemukan di mana wanita itu dikurung.

Kontrol ettin mi?” (Sudah kau periksa?) tanya seorang penjaga begitu Arga menutup pintu.

Evet. Güvenli.” (Ya. Aman) Arga mengangguk mantap.

Penjaga itu balas mengangguk. “Kau cepat pergi ke kamar wanita itu. Gantikan Emir.”

Arga mengangguk, mengikuti jalan yang ditunjuk sekilas oleh penjaga itu. karena sama-sama tidak melihat wajah, Arga yakin ini akan berjalan lancar. Wanita yang dimaksud tadi pasti wanita yang tengah dicarinya.

Arga menyusuri lorong tanah liat. Sangat tidak relevan dengan bangunan kota Istanbul lainnya yang sudah dilapisi dinding bahkan gedung pencakar langit.

Sepertinya tempat ini memang didesain untuk hal-hal bertema penyekapan.

Di sepanjang jalannya tidak ada lampu. Hanya obor yang menyala-nyala. Ada banyak pintu yang dijeda lima centi gedung pembatas, lalu kamar lagi.

Pintu-pintunya tertutup dan tidak ada suara. Arga tidak tahu di dalam sana kosong atau sudah mati.

Arga hanya perlu mencari seorang penjaga.

Tiba di kelokan sebelah kiri, Arga langsung menemukan sebuah ruangan. Ruangan itu sendiri. Diapit tembok tanah liat dan batu bata dengan pintu tertutup.

Dia berhadapan dengan Emir yang berjaga sendiri. Tubuhnya tambun dan tinggi besar.

“Kau yang menggantikanku, Himmet?” Arga mengangguk tanpa ragu. Ini nama orang yang digantikannya. “Baiklah. Tawananan ini sangat tenang. Kau bisa tidur saat menjaganya.”

Arga tidak menjawab, membiarkan Emir menepuk lengannya, kemudian pergi sambil menguap.

Tidak menunggu Emir benar-benar menjauh, Arga membuka pintu dengan kunci yang diberikan Emir.

Matanya membola. Berharap akhirnya rindunya akan tersampaikan melihat wanita yang selama ini mengganggu mimpi-mimpinya, membebaskan dari kurungan, memeluk erat hingga mereka tidak lagi berpisah.

Langkah Arga terhenti.

Terpana melihat pemandangan di depannya. Rambut hitam panjang yang terurai indah ke bawah, kepalanya mendongak ke atas dengan mata terbelalak. Tidak bergerak, tidak terdengar juga hembusan napas di dinding batu.

Arga tersenyum getir. Manik birunya melihat kaki jenjang itu tidak menapak tanah dengan tubuh lemas. Terbang tinggi di antara dinding dan seutas tali disambung-sambung.

Hatinya merasakan linu, lemas, tidak sanggup berdiri. Dia jatuh terduduk. Tatapannya tidak lepas dari tubuh mungil yang tergantung tanpa suara.

Bibirnya tersenyum penuh ironi, tertarik makin kuat ke atas seiring sesuatu seperti air mata—sialan—membasahi pipinya. Gigi Arga bergemeletuk, tangan mengepal keras.

Ini tidak sia-sia, bukan?

Ini … lelucon, kan?

“Tolong siapa saja katakan kalau ini mimpi, Keparat!” Suara Arga pecah di akhir, tak sanggup meneruskan teriakan yang tenggelam bersama suara-suara lain.

Langkah-langkah kaki yang berkerumun di sekitarnya. Desisan, umpatan, dan todongan pertanyaan yang mengelilinginya.

Arga balas berteriak. Mendorong mereka semua, menyumpah, meneriaki takdir, mengambil senapan, lalu ditempelkan ke kepalanya sendiri.

Sudah tidak ada gunanya lagi. Dia tidak berguna. Arga tidak perlu hidup di dunia lagi jika di dunia ini tidak ada dia. Arga selama ini bertahan karena dia masih ada di sini.

Walau mereka tidak bisa bersama, Arga bersumpah, selagi dia ada … Arga juga tidak akan ke mana-mana.

Namun, kini keadaannya berbeda. Dia sudah pergi. Wanita itu sudah pergi bahkan tidak sempat berpamitan pada Arga. Mereka belum sempat bertegur sapa dan takdir sudah memisahkan mereka. Selamanya.

Jadi, bukankah lebih baik Arga menyusulnya? Mengikuti ke mana pun dia pergi?

DOR!

Arga merasakan pukulan keras di pipinya, hingga terjengkang dari kasur.

“Sadarlah, Berengsek!” Dash berdiri menjulang di hadapannya, memukul Arga sekali lagi. “Apa yang akan kau lakukan dengan pistol itu di kepalamu, HAH?”

Dash menarik kerah kaos Arga hingga pria itu berdiri. Wajahnya terlihat linglung. Dia baru mau menyeberang ke kematian, tahu-tahu Dash ada di depannya. Bukankah tadi dirinya ada di penjara bersama seseorang?

“Dengarkan aku, Bodoh.” Dash mengeratkan cengkeraman di leher Arga. “Kalau kau memang sangat cinta pada gadis sialan itu, kejar dia. Jangan diam di sini, minum, dan berencana mati dalam mimpi bodohmu itu. Kau dengar aku Arga?!”

Manik Arga bergerak tak beraturan, merasakan sesuatu memenuhi mata. Dash mendorong tubuhnya keras, mengambil pistol yang telah memuntahkan satu peluru. Tidak ingin melihat lebih lama wajah tersiksa kawannya.

Wajah nelangsa menjijikkan itu … entah apa yang ada dalam mimpinya hingga dia hampir meledakkan kepala sendiri.

Jika saja Dash tidak mendengar teriakan tidak jelas Arga dari bawah, cepat berlari ke atas dan menemukan pistol itu sudah ditodongkan ke kepalanya sendiri, jika Dash terlambat sedikit saja … dia bersumpah akan mengutuk Arga dan seluruh nenek moyangnya.

Persetan apa pun tentang cinta tidak berguna Arga. Dash tidak menyangka anak ini akan sekacau sekarang, sampai gila ke jaringan otak terdalam. Tidak menduga kalau penolakan seorang gadis akan membuat kehidupan sniper handal hancur berantakan. Hanya perkara gadis.

“Bangunlah, Pemalas! Sudah sore! Pantas saja kau bermimpi buruk.” Dash masih berbalik ketika sampai di pintu. “Jangan coba-coba mati di rumahku dan sebelum kau selesaikan urusan perasaan itu!” makinya.

Arga meraba pipinya yang nyeri. “Aku bermimpi?”

Nefarious GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang