APAKAH SEBENARNYA kita itu? Apa esensi dari eksistensi kita?
Pertanyaan konyol seperti itu selalu saja muncul di setiap pikiran makhluk-makhluk bodoh itu. Entah itu manusia, humanoid, atau para monster jelek yang hanya mengandalkan ototnya. Mereka selalu saja berusaha mencari hakikat dan makna keberadaannya. Mereka menjadikan moral atau bahkan semacam Dewa, Tuhan, sesembahan—atau apa pun sebutannya—sebagai sandaran dan pegangan hidupnya.
Sungguh tolol. Terutama manusia, yang memiliki ras yang sama denganku, sangat naif jika mereka berpedoman dengan hal-hal semacam itu. Kita ras paling sempurna di bumi ini. Dilengkapi dengan kecerdasan otak dan fisik yang potensinya tidak terbatas. Menghabiskan hari-hari kita dalam cengkeraman konsep moralitas dan keilahian hanya akan melucuti semua potensi vital manusia.
Apa gunanya segenap usaha kreatif manusia yang tiada habis-habisnya, jika dengan sekali renggut segalanya berakhir?
Dengan merenungkan kalimat itu, orang-orang selalu saja dihantui dan mengalami kekhawatiran ketika menyadari bahwa mereka hidup dan suatu hari nanti pasti akan mati; mereka dibayang-bayangi rasa takut jika tidak ada makna yang bisa dijadikan naungan. Karena itulah mereka beralasan bahwa menjalani hidup dengan mematuhi moral, mereka akan dianggap sebagai masyarakat yang berguna; atau jika penganut yang taat, mereka akan menyenangkan Dewa, Tuhan, sesembahan—atau apa pun sebutannya—sehingga bisa menekan ketakutan-ketakutan atas esensi hidup mereka.
Menggelitik sekali. Justru dengan menjalani hidup dengan mematuhi nilai masyarakat dan spirituallah, mereka akan selalu dikelilingi ketakutan dalam persoalan baik dan buruk sebagai standar mutlak.
Pada akhirnya, semua upaya jerih payah mereka adalah kesia-siaan belaka; mereka terbelenggu oleh hukum dan keyakinan hasil fantasi sendiri, tidak dapat membebaskan keinginan batinnya. Tidak ada gunanya mencari esensi kehidupan berlandaskan moralitas dan nilai umum universal atau bahkan keyakinan keilahian—hasil imajinasi—yang dianggap sebagai ketetapan yang harus dipatuhi. Tidak ada hakikat bawaan semacam itu yang dapat dijadikan sandaran hidup karena kitalah tokoh utama yang mestinya menciptakan esensi kita sendiri, bukan masyarakat dan bukan pula suatu ajaran kepercayaan. Kitalah pemeran dari panggung kehidupan, dan orang yang tidak tahu perannya sendiri adalah bukti nyata dari kebodohan.
Manusia hidup dari, oleh, dan untuk kesenangan dan kenikmatan dirinya sendiri. Nikmatilah hidup dan juga nyatakanlah itu. Nikmatilah dirimu sendiri; dalam kesenangan itu, engkau akan menikmati dirimu sendiri.
Hei, kau, orang yang melihat dan membaca tulisan ini. Apa kau termasuk dari jenis makhluk tolol yang kusebutkan? Kalau iya, eksistensimu sungguh tidak berguna. Lenyaplah menuju ketiadaan dan menyatulah dengan kehampaan!
Akan tetapi, tunggulah kini. Aku akan berbaik hati untuk memberi sedikit makna dalam hidupmu. Catatlah kehidupanku di atas bumi, yang tak akan dapat dihapuskan oleh masa. Langit hendak menceritakan kemasyhuranku dan cakrawala memberitakan keindahanku. Hari meneruskan berita tentangku kepada hari dan malam menyampaikan kisahku kepada malam. Kepuasan akan datang padaku dan mengisiku dengan kebahagiaan. Akan kunikmati kesenanganku, puncak hidupku ada di sini!
KAMU SEDANG MEMBACA
EXISTENTIAL
FantasySudahkah dirimu bereksistensi? Atau cara beradamu cenderung hanyut dalam rupa-rupa arus pemahaman dari luar dirimu? Bagi makhluk berakal, eksistensi seharusnya bukan sekadar "ada", melainkan sebuah proses untuk merealisasikan individu yang autentik...