Main Story

54 11 1
                                    

“Tuan Monstrous, apakah Anda baik-baik saja?”
       Itu datang. Kebosanan. Itu menghampirinya lagi. Akhir-akhir ini dia merasa tidak bergairah. Kebutuhannya selalu terpenuhi, tapi ia senantiasa selalu merasa berkekurangan dan mengalami kekosongan.
       Monstrous sedang memejamkan matanya ketika seseorang memanggil-manggil dan mengayunkan tangan di depan wajah tuannya. Dia mencoba memastikan apakah Monstrous bermimpi buruk.
       Saat ini, yang ada di benak Monstrous adalah hal menarik apa yang bisa dilakukan untuk mengobati kebosanannya. Pikirannya sangat tidak tenang. Lebih, dia menginginkan sensasi yang lebih lagi. Bahkan dengan mata yang tertutup, ekspresinya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Orang-orang bisa langsung tahu hanya dengan melihat wajahnya.
       “Sekarang pukul berapa? Aku mau keluar,” tanya Monstrous.
Matanya masih tertutup, ditariknya selimut dari sutra emas hingga menutupi setengah badannya, lalu memeluk guling dengan motif yang sama. Tidak hanya selimut dan bantal, tetapi juga seprai, tirai, dan piyama yang dikenakannya serasi dengan corak mega mendung.
       “Bukannya Tuan bilang mau keluar, tetapi kenapa malah kembali tidur?”
       “Diamlah, jawab saja pertanyaanku. Aku memang meminta kalian semua untuk tidak kaku padaku, tapi jangan coba membantahku. Aku tidak akan segan mengeksekusi siapa pun yang kuanggap tidak berguna.”
       Monstrous, putra tunggal sekaligus calon penerus tahta dari Kerajaan Bizarre. Rambutnya berwarna abu-abu, lurus, sedikit melewati bahunya. Dia telah memerintahkan ke seluruh pegawai istana untuk tidak terlalu bersikap formal padanya. Siapa saja diperbolehkan keluar masuk kamarnya tanpa perlu izin terlebih dahulu. Bahkan dia tidak peduli meskipun ada yang melihatnya ketika sedang bersenang-senang di dalam. Memamerkan keindahan tubuhnya adalah salah satu kegemarannya.
       “Ma-maaf, Tuan. Sekarang sudah pukul 7 pagi.” Tubuh pegawai itu gemetar ketakutan.
       “Oh, begitu. Kausiapkan kereta sekarang. Kita akan keliling sampai ke tepi kerajaan. Aku ingin melihat apakah ada sesuatu yang menarik. Dan juga madu. Siapkan juga tempat untuk menampung madu. Aku penasaran dengan proses pengambilan madu.”
       Monstrous membalikkan badannya membelakangi pegawai istana tadi. Akan tetapi, dia tiba-tiba teringat sesuatu, membuka matanya, dan melanjutkan ucapannya dengan tetap membelakangi.
       “Oh, iya, yang di sudut sana jangan lupa kaubereskan. Dia sudah benar-benar tidak berguna dan membuat suasana hatiku menjadi buruk semalam. Terserah mau kaukembalikan ke keluarganya atau mau kaupakai, yang penting sisiknya jangan sampai berserakan di istana. Kalau semuanya sudah selesai, kabari aku lagi. Sekarang enyahlah!” Dia membuat isyarat tangan yang mengingatkan pegawai istana itu akan cara seseorang mengusir lalat.
       Garis wajah pegawai istana itu berubah. Dia tidak dapat lagi menahan kebahagiaan di hatinya dan itu tercetak ketika senyuman lebarnya memperlihatkan barisan giginya yang tidak rata. Dia menggosok-gosokkan telapak tangannya, mengelap ilernya yang meluap, dan pupilnya matanya melebar. Benar-benar terlihat seperti hewan buas yang menemukan mangsa segar.
       Mimpi apa aku semalam bisa memakai barang premium bekas dari Pangeran? Apakah ini anugerah Dewa? Tidak, tidak, aku akan ditertawakan oleh Pangeran kalau percaya hal semacam itu. Ini sudah pasti murni kebaikan hati Pangeran. Aku sudah tidak sabar lagi, batin pegawai istana itu.
       “Woi, kau menjijikkan. Sudah dua kali kau tidak tanggap dengan perintahku hari ini. Kau mau kueksekusi sekarang juga?”
Pegawai istana itu tersentak mendengar suara Monstrous. Dia menerima tatapan tajam yang merendahkan.
       “Ma-maafkan saya, Tuan, maafkan saya. Saya terlalu tenggelam saking gembiranya. Tidak akan saya ulangi lagi. Akan saya selesaikan dengan segera.”
       Pegawai itu membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun, tetap saja, wajahnya tidak bisa membohongi apa yang dirasakannnya. Walau sudah berusaha menahan sekuat tenaga, senyuman itu masih mendobrak muncul.
       “Hadeh, gini amat punya kroco. Kau harus bekerja berkali-kali lipat nanti untuk menebusnya.”
       “Siap, Pangeran!”
       Seseorang yang sejak tadi mendengar percakapan mereka berdua, menggeliat-geliat di sudut kamar. Itu adalah salah seorang perempuan yang berasal dari ras Lamya, ras humanoid yang berwujud setengah manusia dan setengah ular. Bagian pinggang ke bawah berupa ular dan bagian atasnya wanita cantik dengan sisik kuning kecil menempel di beberapa titik secara sporadis.
       Wajahnya sekarang merah padam. Campuran dari rasa malu, marah, kesal, takut, dan perasaan campur aduk lainnya yang tidak bisa diungkapkan. Kedua tangannya mencoba menutupi wajahnya yang ditangkupkan ke lantai, tapi ekornya terus menggeliat.
       Tadi malam, saat sedang me time bersama Monstrous, tubuhnya memberi sinyal untuk memasuki fase ganti kulit. Ini benar-benar membuat Monstrous kesal dan menganggap itu najis.
       Pegawai istana sudah berdiri di samping wanita Lamya itu. Dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tidak kering. Diangkatnya bagian atas tubuh wanita itu.
       “Ssshhh.”
       Sorot matanya tajam, sepasang taring dikeluarkan di sana mencoba menggigit tangan pegawai istana, tapi reflek cepat pegawai baru saja menyelamatkannya dari gigitan wanita ular. Digenggamnya bagian ekor wanita itu, sehingga yang tadinya sangat agresif, sekarang menjadi tidak berdaya.
       “Shishishi, kulit barumu sangat sensitif, bukan?” tawa pegawai istana penuh kemenangan.
       Dikalungkannya wanita Lamya itu di bahunya, sebagian ekornya yang menjuntai ke lantai meliuk-liuk tanpa memberi perlawanan yang berarti.
       “Aku akan puas malam ini. Terima kasih banyak banyak tuanku, Monstrous.” Dia berjalan kegirangan menuju ruangannya, sementara Monstrous tidak memberi respon.
       Beberapa waktu berselang. Sisik yang berserakan sudah dibersihkan dan kereta yang diminta juga sudah dipersiapkan. Pegawai istana kembali ke kamar Monstrous untuk memberi tahukannya.
       “Ah, aku sangat indah, dan memadukan pemandangan indah di sekitarku meningkatkan penampilan memesonaku. Akulah puncak ketampanan. Bahkan cermin ini tidak mampu merefleksikan betapa mengagumkannya diriku.”
       Monstrous sedang memuji-muji dirinya sendiri di depan cermin besar di kamarnya. Rambutnya panjangnya disisir rapi ke belakang tanpa diikat. Dia berulang kali membolak-balikkan badannya, mencoba berbagai pose layaknya model, untuk melihat tubuhnya sendiri dari berbagai sisi.
       “Tuan, bukannya Anda tadi masih tidur? Mengapa sekarang sudah rapi? Di samping itu, Tuan terlihat sangat tampan,” tanya pegawai istana yang masuk kembali ke dalam kamar.
       “Rapi? Bodoh sekali kau ini. Aku selalu rapi bahkan jika tanpa mengenakan apa-apa. Dan juga, aku tidak merasa senang dibilang tampan oleh sesama jenis. Selain itu, jangan coba menerka-nerka apa yang akan kulakukan. Apa kaumengerti?” Monstrous menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin.
       “Maaf, Tuan. Siap, saya mengerti.”
       “Keretanya sudah siap, 'kan? Ayo berangkat. Kau akan menjadi kusirku.”
       “Baik, Tuan.”
        Mereka berdua berjalan menuju ke luar istana. Prajurit yang berjaga di sana menunduk dan berlutut untuk memberi penghormatan ketika Monstrous lewat. Di situ sudah terparkir dua buah kereta yang masing-masingnya ditarik oleh tiga burung unta. Salah satunya kereta mewah yang khusus dipakai oleh keluarga kerajaan. Sedangkan yang satunya lagi hanya kereta gerobak yang bermuatan beberapa gentong kosong.
       “Pangeran, ke mana kita akan mengambil madunya?”
       “Hah? Kau siapa?”
       Seorang pria besar berwarna hijau gelap menundukkan kepala saat bertanya kepada Monstrous. Rambut gimbalnya terlihat sangat kasar atau lebih tepat jika digambarkan itu sangat mirip tentakel. Sekujur tubuhnya dipenuhi dengan mata dan ketika dia mengangkat kepalanya lagi, wajahnya tertutupi topeng senyum.🙂
       “Saya prajurit yang juga sebagai kusir kerajaan, Pangeran. Ras kami, Shoggoth, telah menjadi abdi setia kerajaan sejak dahulu.”
       “Lalu, apa alasan prajurit memakai topeng aneh seperti itu?
       “Ratu memerintahkan seluruh dari ras kami harus menggunakan topeng karena waktu masih kecil Pangeran pernah menangis saat melihat kami dan mengira kami adalah monster karena wajah kami yang mengerikan. Padahal istriku mengatakan kalau aku tampan, tapi bagi ras lain yang melihat, kami ini dianggap seperti monster.” Prajurit itu mengelap air mata hijau kekuningan yang menetes dari balik topeng dengan rambut tentakelnya.
       “Hm, aku tidak mengingatnya. Yah, tidak penting juga untuk diingat. Di samping itu, ras kalian terlihat kuat, tapi kau mudah sekali menangis. Sangat tidak cocok dan
menggelikan.”
       Sambil mengatakan itu, Monstrous berjalan masuk ke kereta mewah yang sepenuhnya terbuat dari rodium-logam langka berwarna putih keperakan yang lebih elegan dibandingkan emas-dengan motif mega mendung. Dia benar-benar menyukai corak itu.
       “Oi, cepatlah. Para rakyat jelata itu pasti sudah sangat merindukan Pangeran tampan ini lewat di depan mereka. Jangan menunda-nunda lagi dan cepatlah, Kusir.” Monstrous mengibaskan poni nakal yang menutupi dahinya ke belakang, menyentuhkan tangannya ke dadanya, sambil kepalanya menengadah ke atas langit. “Uh, pria luar biasa bermandikan cahaya mentari pagi. Sepertinya aku sudah lebih mengagumkan daripada diriku setahun yang lalu.”
       Prajurit Shoggoth yang belum terbiasa dengan tingkah Monstrous tampak kebingungan. Itu memang tidak terlihat dari wajahnya yang ditutupi topeng senyum, tetapi ekspresi mata yang berada di seluruh badannya pastilah mengatakan hal yang sama dengan wajah di balik topengnya. Dia melihat ke arah pegawai istana untuk menemukan jawaban.
       “Tuan kita mungkin dimabuk dengan dirinya sendiri.”
       “Ha ha ha.”
       “Aku bisa mendengar kalian berdua, lho ....” Monstrous membuka sebelah matanya. Pupil abu-abunya menyorot tajam ke arah anak buahnya itu.
       Takut membuat tuannya marah, mereka berdua segera bergegas ke kemudi, mengemudikan keretanya masing-masing.
       Kini mereka telah melewati gerbang ibu kota kerajaan. Hiruk-pikuk rutinitas warga di pagi hari memenuhi suasana di sepanjang perjalanan. Tidak ada yang antusias, mereka bersikap biasa saja ketika kereta Monstrous melintas. Justru sebagian besar dari mereka berusaha agar tidak bertatapan langsung dengannya. Namun, Monstrous juga tidak terlihat peduli apakah dia akan disambut atau tidak. Dari sini, pemandangan istana megah dan kastel kokoh di ibu kota masih terlihat cukup jelas.
       “Hei, kau! Kembali kau bocah brengsek! Akan kucincang kau kali ini dan kujadikan kau pakan ternak!”
       Seorang anak laki-laki berlari sekuat tenaga dari kejaran pria paruh baya. Tubuhnya dekil dan lusuh. Bentuknya seperti manusia biasa, tetapi telinganya seperti daun pada tanaman mawar, hijau muda, dan sedikit menguning, yang menunjukkan usianya masih belia.
       Kaki kecilnya gesit, tanpa alas kaki, dia melompati atap bangunan yang satu ke bangunan yang lain. Dua daging panggang utuh yang sangat besar dipegang di masing-masing tangannya. Anak itu tertawa penuh kemenangan sambil menjulurkan lidahnya ke arah pria yang mengejarnya, sebelum akhirnya menabrak tembok tidak terlihat, dan terguling ke tanah. Dia kaget, entah karena kepalanya terbentur atau karena bingung mengapa objek keras yang transparan bisa tiba-tiba ada di depannya.
       Anak itu mengambil daging yang bergeletakan di tanah, mengelapnya dengan bajunya yang tidak kalah kotor, dan akhirnya frustasi dengan ulahnya sendiri. Pria tua yang mengejar berhasil menyusulnya, dengan napas terengah-engah bersiap mengayunkan butcher knife-nya.
       “Bawa kereta ke sana!”
       “Siap, Tuan.”
       Monstrous yang sejak tadi memperhatikan, menjetikkan jarinya sekali lagi. Dinding transparan terbentuk lagi mengelilingi anak laki-laki itu, mencegah pak tua penjual daging untuk mendekat.
       “Pergilah. Biar aku yang mengurusnya” Monstrous turun dari kereta, menghapus sihir penghalangnya.
       “Tapi, Pangeran, dia sudah berkali-kali mencuri daganganku. Bukan hanya aku, tapi warga lain juga,” keluh Pak Tua dengan wajah memelas dan mengatupkan kedua tangan di depan dadanya.
       “Kubilang pergilah bodoh. Salahkan ketidakmampuanmu sendiri bisa kemalingan berulang kali!”
       “Baiklah, Tuan.” Pak Tua membalikkan badan dan pergi dengan muka pasrah.
Kerumunan yang terbentuk karena kegaduhan pun ikut bubar karena tidak ingin terlibat. Mereka sadar, menyampaikan aspirasi juga tidak akan membantu.
       Pandangan Monstrous kembali ke bocah laki-laki yang masih terduduk di tanah. “Nah, sekarang bagaimana aku harus menentukan nasib dari herbivora yang telah mempelajari rasa daging, Delinquent Boy?”
       “Melihatmu menghilangkan penghalang tidak terlihat itu, pasti kau jugalah yang membuatku menabraknya sampai terjatuh. Lalu kenapa kau malah menyelamatkanku? Aku tidak punya apa-apa untuk kauperas. Bagaimanapun aku tidak akan menyerahkan daging ini!” Anak itu menyembunyikan daging besar itu ke belakang punggung kecilnya.
       “Bodoh sekali. Kau memang terlihat bodoh, tapi sepertinya bukan dari luarnya saja. Dari penampilanmu aku menyimpulkan bahwa kau adalah ras Druid yang diusir dari desamu karena melanggar ajaran Druid, dan sekarang berakhir menjadi gembel di sini. Apa aku salah?”
       “Bagaimana kau bisa tahu? Kau menggunakan sihir untuk membaca pikiranku, ya?” Anak itu reflek menutupi kepalanya menggunakan kedua tangannya dengan panik, membuat dagingnya jatuh kembali ke tanah.
       “Tidak ada sihir semacam itu. Sepele saja, daun telingamu sudah menguning artinya kau kekurangan nutrisi. Kekurangan nutrisi membuat otakmu tidak bisa bekerja dan aku tidak ingin berbicara dengan orang yang tidak bisa berpikir. Habiskanlah dulu dagingmu." Monstrous bergeser sedikit, menyentil tanah di dekatnya. “Mon Sen!” sebuah mantra diucapkan dan pancuran air kecil keluar dari sana.
       “Hebat!” kata anak itu.
       Dia mencuci dagingnya, memakan semuanya dengan lahap. Hanya dengan beberapa gigitan semua sudah habis ditelan bersama tulang-tulangnya. Diminumnya air dari pancuran itu, perlahan daun telinganya kembali menjadi hijau muda yang cerah.
Monstrous menekan telapak tangannya ke tanah itu dan pancurannya terhenti.
       “Ah, kenyangnya.”
       “Masuk ke topik utama. Bukan tanpa alasan aku menyelamatkanmu. Aku suka dengan keberanianmu untuk keluar dari keyakinan dan norma Druid yang mengekangmu, yaitu hanya boleh memakan tumbuhan. Alasan pertama dan paling jelas dibalik tidak memakan daging adalah karena orang-orang Druid sangat menghormati makhluk hidup, dan memakannya akan bertentangan dengan apa yang mereka perjuangkan. Non-kekerasan adalah salah satu keyakinan tertinggi mereka. Lucu sekali.”
       “Aku tidak mengerti maksudmu. Aku makan daging karena aku ingin makan daging, aku bosan makan tumbuhan terus, tapi itu malah membuatku dikucilkan dan diusir dari desa. Aku ingin makan daging lagi nanti.” Bocah itu memegangi perutnya yang membesar setelah memakan daging.
       “Kau lebih bodoh dari yang kukira. Apa kau bisa menggunakan sihir?”
       “Aku hanya bisa menggunakan sihir dasar dari Druid dan skill spesial dari klanku. Itu juga masih belum sempurna.”
       Dia menjulurkan tangannya, berusaha sekuat tenaga mengeluarkan seutas batang mawar di sana. Batang itu masih terlalu rapuh, segera patah, dan mengeluarkan getah, kemudian layu dan hancur ke tanah.
       “Pengendalian manamu buruk sehingga menguras energi terlalu banyak.”
       “Iya, aku sekarang jadi lapar lagi.” Perutnya yang tadi membuncit sudah mengempis lagi.
       “Pergilah ke istana. Mendaftarlah di sana sebagai prajurit. Kalau aku tidak salah ingat, salah seorang pengajar di sana juga seorang Druid. Di sana kau bisa berlatih sihir dan senjata sampai ke tingkat lanjutan.” Monstrous menarik salah satu pernak-pernik di bajunya. “Kaubawa ini sebagai bukti dan bilang kalau Pangeran Monstrous yang menyuruhmu datang.”
       “Tapi, Tuan—”
       “Aku tidak memerintahkanmu bicara, Kusir!”
       Pegawai istana yang menjadi kusir yang dari tadi hanya menyimak, mencoba bereaksi terhadap situasi ini sebelum akhirnya dipotong oleh tuannya. Sementara prajurit Shoggoth duduk diam di kemudi kereta barang dengan topeng senyumnya.🙂
       “Padahal aku lemah dan bodoh, tapi kenapa kau menyarankanku menjadi prajurit?” tanya bocah laki-laki itu sambil menerima aksesoris dari Pangeran.
       “Kalau kau ingin menjadi kuat, kau harus mengetahui kelemahanmu dahulu. Bahkan mawar jelek pun memiliki duri, Delinquent Boy.”
       Anak itu termangu sembari memiringkan kepalanya.
       “Karena aku melihat Druid sepertimu, aku jadi teringat sesuatu yang bagus sekarang. Bisa kau memberi tahu aku rute mengarah ke desa asalmu?”
       “Ah, kau menyebut dirimu sebagai Pangeran, tapi tidak tahu rute ke wilayah di kerajaanmu sendiri?” Anak itu terkikik.
       “Aku memang yang tercerdas di Kerajaan, tidak, mungkin di bumi ini. Ya, aku yakin itu. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak terlalu pandai dalam navigasi dan menghapal rute dalam jangka lama.”
       “Lagian apa urusanmu ke sana? Di sana hanya diisi oleh orang-orang taat yang bahkan tidak mau memakan daging.”
       “Apa keperluanku ke sana bukan urusanmu.”
       “Tuan—”
       “Sudah kukatakan aku tidak memerintahkanmu untuk bicara!”
       Pegawai istana yang sekali lagi berusaha menyela percakapan mereka terpaksa menelan kata-katanya lagi. Itu mengundang kebingungan mengapa tuannya tidak tersinggung dengan ucapan anak tadi. Dia menutup mulutnya rapat, mengangkat lengan kanan di depan bibirnya, dan memutarkan tangannya seolah-olah menguncinya, lalu mundur beberapa langkah kembali ke kereta karena takut membuat tuannya marah.
       “Baiklah, baiklah, orang yang terlihat bisa segalanya pun mempunyai kekurangan yang tidak terduga, ya.”
       Diikuti tawa samar, anak muda itu mulai menggambar denah di tanah menggunakan jarinya dan menjelaskan secara rinci. Monstrous memperhatikan dengan saksama.
       “Apa kau mengerti?” katanya dengan nada bangga.
       Tidak langsung menjawabnya, Monstrous mendongak ke arah langit untuk sementara waktu.
       “Ah, iya aku akan mengingatnya.” Monstrous kemudian berjalan kembali ke keretanya.
       “Bagaimana jika aku menjual aksesoris yang kaukasih ini dan tidak pergi ke ibu kota?” teriak anak itu sebelum Pangeran berangkat.
       “Itu urusanmu. Kita mungkin akan bertemu lagi kalau kau cukup tangguh untuk menjadi seorang prajurit atau kau akan mati karena tidak tahan dengan latihannya. Kau juga boleh menjual itu dan menjalani kehidupan gembelmu lagi, tapi mungkin saja kau akan berakhir di perut seekor anjing. Yang mana saja aku tidak peduli. Hanya yang kuat yang bertahan.”
       Meninggalkan kata-kata di belakang, Pangeran pergi ke desa Druid diiringi dengan pekikan suara burung unta.
       “Inikah tanah suci para Druid sang penjaga hutan? Dibandingkan dengan hutan, ini lebih mirip padang rumput. Tidak ada apa pun di sini selain rumput dan bebatuan di sepanjang jalan,” tanya prajurit Shoggoth setelah menghentikan laju burung unta yang mengikuti kereta Pangeran di belakang.
       Mereka bertiga sudah sampai di desa para Druid setelah berjalan cukup jauh. Matahari pun sudah melewati titik puncaknya. Tidak ada lagi istana maupun kastel yang terlihat. Tidak ada seorang pun di sana, seperti tidak ada kehidupan.
       “Di depan sana,” jawab Monstrous. Dia duduk santai di kereta sambil memandangi kukunya yang indah.
       “Tuan Monstrous, apa Anda kenal dengan para Druid?” Pegawai istana tidak bisa menahan diri untuk tetap diam lebih lama lagi. Dia mengangkat tangan ke depan mulutnya, memutarnya ke kiri, seolah membuka kunci.
       “Aku pernah ke sini saat kecil.”
       “Lalu mengapa Anda menanyakan rutenya kepada bocah nakal tadi? Karena saya sering membaca peta kerajaan, saya ingat semua rute di seluruh Kerajaan Bizarre meski saya belum pernah mengunjungi tempat tersebut, termasuk desa ini. Saya cukup percaya diri dengan kemampuan navigasi saya untuk menunjukkan jalan walau hanya bermodalkan membaca peta.”
       “Aku tidak ingin dipandu oleh seorang kusir. Hanya akulah yang boleh memerintahkan jalan mana yang harus kuambil. Itu saja.”
       “Bukankah itu sama saja dengan Anda dipandu oleh bocah tadi, Tuan?”
       “Beda.”
       “Saya bisa mengerti betapa tingginya harga diri Anda. Tetapi, Tuan, mengapa Tuan malah menyuruh bocah Druid yang nakal itu menjadi prajurit kerajaan?”
       “Itu hanya caraku sendiri untuk menghabiskan waktu. Sejak awal aku keluar juga karena bosan.” Monstrous menyilangkan lengannya di depan dada.
       “Baik, saya mengerti, Tuan.”
       “Itu saja semua yang mau kautanyakan? Untuk ukuran seorang laki-laki kau begitu cerewet. Karena suasana hatiku sedang bagus, tanyakan semua yang ingin kautanyakan sekarang.”
       “Benarkah?” Pegawai istana itu tersenyum karena dia mendapat izin bertanya. Dia mencoba mencari-cari pertanyaan mengganjal yang ada dibenaknya. Kedua telunjuknya menekan pelipisnya, kerutan tercetak jelas di dahinya. “Hm ... sepertinya tidak ada lagi, Tuan. Hehehe.” Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
       “Kalau begitu jalankan kereta melewati pilar batu di depan itu.”
       “Siap!”
       Pegawai istana menghentakkan tali kemudinya. Tiga burung unta mulai berjalan menuruti instruksi, diikuti kereta barang di belakang mereka. Sesaat mereka melintasi pilar batu itu, sesuatu mulai terjadi di sekeliling mereka.
       “Wow, ini luar biasa, Tuan. Saya tidak punya cukup kata-kata untuk mengungkapkan betapa menakjubkannya ini.”
       Pandangan mata pegawai istana tidak henti-hentinya menyapu ke segala arah. Mulutnya terbuka lebar. Padang rumput yang hanya dipenuhi bebatuan tadi tidak lagi seperti padang rumput. Pepohonan rimbun dan pepohonan kecil seakan tumbuh entah dari mana. Setiap dahan dan ranting memiliki organisme bervariasi yang berkeriapan, seakan mereka memiliki dunianya sendiri-sendiri. Lalu batu kecil yang ada di tengah tadi menjelma menjadi menara batu yang menjulang tinggi.
       “Pilar yang kita lewati tadi merupakan gerbang penghubung desa ini dengan lokasi luar, menciptakan ilusi yang berbeda-beda jika dilihat dari luar. Dibutuhkan Druid asli atau darah keturunan resmi keluarga kerajaan agar pembuka gerbangnya bekerja. Atau setidaknya kalau ada orang luar yang mau masuk, harus ada pengguna sihir tingkat tertinggi yang diakui oleh gerbang itu sendiri.”
       Monstrous turun dari kereta, mengambil apel di dahan sebelahnya. Sementara prajurit Shoggoth di belakang hanya terdiam dengan topeng senyumnya. Mata yang ada di sekujur tubuhnya bisa melihat semuanya dalam satu waktu.
       “Dengan kata lain, Anda memenuhi kriteria yang mana saja. Aku sangat bersyukur bisa menjadi bawahanmu, Tuan.”
       Pegawai istana ikut turun dari kemudi, berlarian ke sana kemari seperti anak kelinci. Dia berlari ke danau kecil tak jauh di depannya. Danau itu begitu jernih, perinciannya yang gemerlap dan pola gelombangnya yang berbelit-belit membuat pegawai istana terpanah. Di sana dia menemukan suatu dunia yang tidak pernah dilihatnya, seperti seorang penyelam laut dalam yang membuka matanya di kedalaman laut tak bertepi untuk pertama kalinya. Dia menelusuri setiap detail yang terhampar, seakan ingin menghabiskan sisa umurnya untuk menatap air tersebut dan memecahkan misteri di dalamnya sampai akhir hidupnya.
       Seekor kupu-kupu berwarna pelangi sebesar burung pipit melintas di hadapannya. Pegawai istana mengikuti arah terbang kupu-kupu itu sampai ke balik sebuah batu. Dia membungkuk untuk melihat apa yang ada di sana. Dia menatap seekeor undur-undur yang berjalan maju sedang berusaha menggali sarang di tanah. Di antara sela rerumputan, segerombolan pasukan semut merah yang bekerja bersama dalam suatu usaha, memberi tatapan curiga ke arah pegawai istana, dan seekor kaki seribu sepanjang jengkalan tangan berlari keluar dari antara celah batu, berusaha keras mendaki lumut. Pegawai istana itu penasaran berapa jumlah kaki seribu itu. Ketika dia sedang sibuk menghitung, kupu-kupu yang tadi menghalangi pandangannya membuat pikirannya menjadi buyar.
       Beberapa kali dia mengulang hitungannya, tapi kupu-kupu itu terus menghalangi pandangan matanya. Hingga akhirnya dia menyerah karena kesal, lalu berdiri mencoba menangkap kupu-kupu itu.
       Wooshh
       Ketika hendak menegakkan kepalanya, sebuah anak panah melesat kencang tepat di atas rambutnya, mengenai apel ditangan Monstrous yang tinggal setengah. Wajah pegawai istana pucat, diam membeku, otaknya belum selesai memproses apa yang baru saja terjadi. Jika tegak sedikit lebih tinggi saja, anak panah itu pasti sudah menempel di jidatnya sekarang.
       Sementara itu, prajurit Shoggoth tetap duduk diam di kemudi kereta barang dengan topeng senyumnya.🙂
       “Kukira siapa yang menyusup, ternyata kamu, ya, Monstrous. Tidak heran kalau kamu bisa melewati gerbang ilusi itu. Ada agenda apa Pangeran jauh-jauh datang ke sini?”
       Yang melepaskan anak panah barusan adalah seorang wanita muda berpenampilan seperti seorang pemburu. Pakaiannya hanya tunik sepanjang lutut, sehingga dari lutut sampai ke bawah kakinya terekspos tanpa alas kaki. Dahinya tinggi, menunjukkan bahwa dia adalah orang dengan kepercayaan diri yang tinggi.
       Daun telinganya menyerupai bentuk daun pinus, berwarna hijau cerah menuju gelap, menandakan usianya yang sudah memasuki dewasa muda. Mengingat umurnya yang sudah dewasa, tubuhnya terbilang cukup mungil. Dia memegang busur emas di tangannya yang lengkungannya seperti bulan sabit, didampingi dua ekor rusa jantan.
       “Kemampuan memanahmu meningkat drastis. Cukup hebat untuk menembus sebuah apel, Little Girl.” Monstrous memberikan pujian kepada wanita itu sambil menyeringai.
       “Maaf, kamu salah dalam penggunaan untuk menyebutkan kata ganti, Pangeran. Aku bukanlah little girl. Aku memiliki nama!” Mengabaikan sindiran dari Monstrous, gadis Druid itu lebih peduli dengan kata ganti panggilan yang ditujukan padanya.
       “Fufufu. Akulah yang harus memutuskan itu, bukan kau. Aku tidak membuat kesalahan sesuai penggunaan sebagaimana biasanya kata itu digunakan. Penggunaan kata little girl cocok dengan usia dan fisikmu, yang berarti aku akan memanggilmu dengan itu karena aku tidak mengingat namamu. Kau tidak perlu merepotkan diri sendiri untuk menyebutkan nama atau semacamnya, aku hanya mengingat apa yang mau kuingat.”
       “Justru di situlah letak kesalahanmu. Menurut aturan penggunaan, 'gadis kecil' adalah apa yang kamu gunakan untuk merujuk ke anak kecil dan tidak ada arti lainnya. Meskipun kamu Pangeran, dunia ini tidak terbentuk hanya untuk memungkinkanmu melakukan apa pun yang kamu inginkan di dalamnya. Aku ini seumuran denganmu dan kamu mengetahuinya dengan baik.”
       “Ini kebijakanku untuk menggunakan akal sehat. Benar dan salah, akulah yang memutuskannya.”
       Gadis Druid itu menarik napasnya dalam-dalam, menghembuskannya, dan dengan putus asa melihat Montrous. Dia begitu paham bahwa Monstrous tidak akan mengubah pikirannya jika dia tidak ingin melakukannya.
       Monstrous mencabut anak panah emas yang menancap sampai menembus apelnya, kemudian memakannya sampai habis. “Seperti keinginanmu, seorang Pangeran sudah seharusnya memberikan contoh yang baik, 'kan? Tidak membuang-buang makanan, misalnya.”
       “Jangan membuatku tertawa. Katakan apa tujuanmu ke sini. Kalau kamu datang untuk memintaku menjadi istrimu, aku menolak. Mana mungkin aku menjadi istri seorang playboy.”
       “Kepercayaan dirimu yang tinggi itu tidak berubah sama sekali, atau mungkin bertambah kalau kulihat lebih jelas. Sangat kontras dengan pertumbuhan badanmu.” Monstrous mengembalikan pernyataan gadis itu.
       “Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni omong kosongmu.”
       “Baiklah. Aku ke sini hanya untuk mengambil madu,” kata Monstrous santai.
       “Madu? Mengapa kamu tidak menyuruh orang saja?”
       “Aku ingin melihat proses pengambilan madu. Itu saja.”
       Alis gadis itu terangkat sebelah, memberi tatapan ragu kepada pria di depannya. Monstrous memberi isyarat kepada prajurit Shoggoth yang sejak tadi hanya diam mengamati dengan topeng senyum. Prajurit itu mengerti apa yang harus dilakukannya. Dia segera datang membawa sepuluh buah barel besar dengan rambutnya.
       “Sebanyak ini? Mau kamu apakan madu sebanyak ini? Apa ada jamuan besar atau semacamnya di ibu kota?”
       “Tidak ada yang seperti itu. Aku ingin mandi madu bersama para gadis cantik dan ide ini baru saja terpikirkan tadi pagi. Menarik, bukan? Kebosanan memang selalu memunculkan ide kreatif,” kata Pangeran. “Ayo.” Dia berjalan mendahului gadis Druid itu. Prajurit Shoggoth mengikutinya dari belakang.
       “Tunggu di sana, Pangeran. Aku belum mengatakan kalau aku setuju atau tidak. Kalau sekadar untuk dibuang-dibuang, kamu bisa mendapatkannya di ibu kota atau tempat lain.”
       “Aku tidak keberatan menjawab semua pertanyaanmu, tapi kau harus ingat kalau akulah yang membuat keputusan.”
       Tanpa menoleh ke belakang, Monstrous memberikan jawaban lembut, tetapi nadanya mengintimidasi. Gadis Druid itu juga sadar akan batasannya. Dia tidak ingin melibatkan desa ini ke dalam masalah.
       “Ya, mengingat aku seorang Pangeran, akan menjengkelkan jika ada yang menyebutku pencuri madu nantinya. Alasan aku tidak mengambilnya dari tempat lain adalah karena aku tahu betul tidak ada madu paling berkualitas selain dari hutan Druid. Aku ingin menikmati pengalaman paling nikmat dengan madu premium.”
       Selama ini Monstrous memang tidak pernah mencuri. Dia hanya tinggal membuat orang yang memiliki sesuatu yang diinginkannya untuk memberikan dengan tangannya sendiri, meski dengan paksaan.
       Mengerti tidak ada pilihan lain, gadis Druid itu mengambil langkah, dan menuntun mereka ke area yang tidak begitu jauh. Mereka masuk ke sebuah gua, dengan menyusuri bebatuan besar. Dia meninggalkan kedua ekor rusa jantan yang menemaninya tadi untuk menunggu di luar gua.
       “Kupikir kita tadi akan ke sebuah taman bunga atau semacamnya.”
       Monstrous mengikuti sembari menaruh tangannya di belakang kepala. Gadis Druid itu mengangkat busurnya, bermaksud menyinari jalan mereka dengan kilauan emasnya. Setelah berjalan cukup jauh, dia berhenti.
       “Mari kita lihat apa yang kutemukan di sini.”
       Koloni semut sebesar jempol manusia bergelantungan di dinding gua. Bagian perut semut-semut itu membengkak karena dipenuhi cairan. Tidak ada vegetasi tumbuh di sana, melainkan hanya batu-batu runcing dan kasar yang dipenuhi semut. Monstrous mengambil seekor dari mereka, menggigitnya, dan bagian tubuh yang membengkak itu seketika pecah, mengeluarkan semua cairan di dalam mulutnya.
       “Hoho, ini sangat manis. Aku tahu hutan ini tidak akan mengecewakanku dan ini membuatku cukup takjub dengan adanya tempat seperti ini di tengah hutan.”
       Ketika Monstrous mengambil semut yang lain untuk dimakan, dia dihentikan oleh gadis Druid itu.
       “Aku tidak bilang kau boleh memakannya dengan cara seperti itu! Kamu tahu sendiri memakan hewan sama dengan menyakiti mereka dan itu merupakan kesalahan besar. Bukan hanya kesalahan, tapi itu adalah dosa besar!”
       Gadis Druid menggenggam lengan Monstrous. Mudah saja bagi pria itu untuk melepaskan diri, tetapi dia memilih untuk tidak melakukannya.
       “Aku tidak punya kewajiban mengikuti keyakinan konyol kalian; dan lagi, aku memang mengatakan datang untuk melihat proses pengambilan madu, tapi bukan berarti aku hanya melihat semut-semut ini bergelantungan dengan kantong madu di perutnya. Aku tidak melihat adanya sarang yang mereka jadikan sebagai tempat penyimpanan.”
       “Lihat dan perhatikan sajalah di sana, Anak Raja! Hanya karena kamu cerdas, bukan berarti kamu mengetahui semua hal.” Suara gadis itu menggema di dalam gua, tatapannya ganas.
       “Baiklah, baiklah. Kau orang yang berpengetahuan luas.” Monstrous meletakkan kembali semut itu.
       Melihat itu, gadis Druid meminta prajurit Shoggoth yang dari tadi hanya menyimak dengan topeng senyumnya untuk meletakkan barel-barel yang dibawanya. Gadis itu mulai berbicara kepada semut-semut itu dengan bahasa khusus ras Druid. Tidak lama kemudian, semut-semut dari segala penjuru masuk bergantian ke dalam barel, memuntahkan cairan yang ada di perut mereka. Perut semut-semut itu mengempis sehingga sekarang terlihat seperti bentuk semut normal dengan ukuran yang tidak normal!
       “Apa ini artinya aku akan mandi dengan muntahan?”
       “Begitulah alam bekerja. Masih belum terlambat untuk kembali. Aku bisa mengerahkan semut-semut tadi untuk mengisap kembali madu ini,” balas gadis itu dengan nada setengah berharap.
       “Maaf, Little Girl, tapi sepertinya aku tidak bisa menjawab harapanmu.”
       Gadis Druid ingin bereaksi terhadap panggilan itu, tetapi segera mengurungkan niatnya setelah menyadari bahwa itu tindakan percuma, kemudian dia menghela napas panjang. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka selama beberapa waktu. Hawa panas dari gua samar-samar berhembus, diiringi dengan keheningan yang dingin. Monstrous berjongkok perlahan di dekat barel-barel itu, memandangi lebih dekat bagaimana semut-semut itu berbaris rapi dan tertib menuangkan madu dari perut mereka.
       “Apa yang menyenangkan dari itu?” Gadis Druid berbicara dengan penuh pertimbangan, mengajukan pertanyaan dengan ragu-ragu.
       “Melihat semut?” balas Monstrous tanpa mengalihkan pandangannya.
       “Bukan. Maksudku ... apakah menyenangkan bersikap sesuka hati demi kepuasan sesaat tanpa peduli itu berdampak buruk bagi makhluk lain? Apa yang memotivasimu berbuat sampai sejauh itu? Kamu sudah benar-benar berubah sejak terakhir kali aku mengenalmu." Gadis itu juga berjongkok di sebelah Monstrous. Dia ikut memandangi semut-semut sambil sesekali mengelus-elus mereka.
       “Jangan menanyakan hal-hal yang membosankan dan basi, apalagi nostalgia.”
       “Ini tidak basi! Justru aku ingin tahu. Mengapa kamu yang sekarang bertindak dengan mengejar segala bentuk kenikmatan dari keinginanmu sambil berusaha menghindari segala bentuk penderitaan dan kebosanan, tanpa mengindahkan kaidah moralitas? Padahal saat masih kecil kamu begitu baik dan aku membayangkan kamu akan tumbuh menjadi Pangeran yang dicintai banyak orang. Karena aku telah mengizinkanmu mengambil banyak madu, kamu harus menjawabnya!”
       “Baiklah, kau memang suka memaksa.” Monstrous mencelupkan tangannya ke dalam barel yang sudah hampir terisi penuh, lalu menyendokkan madu ke mulutnya yang terbuka lebar. Kemudian Monstrous mulai menjawab, “Orang-orang selalu menyerukan nilai-nilai dan norma masyarakat yang menurut mereka baik dan ideal, tapi pertanyaannya adalah siapa yang sebenarnya membentuk kaidah itu? Kenapa aku harus mengikuti sesuatu yang bahkan aku tidak ikut andil dalam membuatnya?”
       “Itu hal yang wajar. Aturan yang telah ada juga dibuat untuk kebaikan bersama. Moralitas, etika, dan nilai-nilai, itu semuanya terbentuk karena kesepakatan bersama demi dunia yang ideal!”
       “Kesepakatan bersama? Setiap makhluk terlahir dengan keadaan murni tanpa terikat, tetapi orang yang lahir sebelumnya menganggap anak yang baru lahir harus mengikuti norma mereka dan jika tidak menurutinya, akan dianggap sebagai bentuk penyimpangan? Itulah kenapa kalian yang hidup seperti itu hanya dibodohi. Kalian merasa telah berkontribusi dengan berkorban diri untuk melakukan aturan universal. Akan tetapi, sebaliknya, orang-orang seperti kalian dipaksa menjalani kehidupan berdasarkan keharusan menaati, bukan kebebasan individu; yang pada gilirannya, kalian tenggelam dalam aturan yang dibuat-buat oleh orang lain dengan menyangkal kehendak pribadi dalam mengambil setiap keputusan. Keinginan batin ada untuk dipenuhi dan setiap makhluk hendaknya memilih jalannya tanpa terpengaruh oleh siapa pun. Itulah cara memenuhi eksistensi kita. Jujur saja, dalam keyakinanmu yang paling dalam, pasti kau juga berpikiran bahwa ada norma—yang kau sebut sebagai kesepakatan umum—yang bertentangan denganmu.”
       “Um ... walaupun kamu berkata begitu, tapi di satu sisi, aku tadi bisa merasakan bahwa sekali pun kamu bukan keluarga kerajaan, kamu pasti tetap dapat melewati gerbang ilusi itu. Untuk mencapai kekuatan sebesar itu pastilah butuh banyak belajar dan berlatih; belajar dan berlatih memerlukan pengorbanan dan rasa sakit. Kamu menghindari segala bentuk rasa bosan dan penderitaan, tapi kamu juga melakukannya. Ini menjadi kontradiksi.”
       “Belajar itu menyenangkan dan menjadi kuat sama menyenangkannya. Tidak ada kontradiksi di sana. Ketika dilahirkan, semua makhluk dalam keadaan tidak mengerti apa-apa. Untuk memenuhi semua potensi, belajar itu diperlukan.”
       “Kalau begitu, mengapa kamu tidak menggunakan kemampuanmu untuk menolong orang lain saja?”
       “Aku tidak bilang kalau aku tidak mau menolong, tapi itu bukanlah kewajibanku.”
       “Lalu bagaimana menurutmu dengan orang yang malas belajar dan tidak mau memaksimalkan potensinya?” Gadis Druid meletakkan busur emasnya yang tetap bersinar, kemudian memeluk lututnya dan mulai menggoyang-goyangkan badannya.
       “Setiap orang memiliki hak untuk menjadi bodoh, tetapi mereka juga tidak boleh protes jika dieksploitasi oleh orang yang lebih cerdas.”
       “Hei, tunggu sebentar! Aku mau protes.” Gadis itu menoleh ke arah Monstrous. “Di mana hati nuranimu pergi? Kamu tidak memiliki perasaan apa-apa ketika menyalahgunakan orang lain?”
       “Jadi, kau tidak mengerti, ya? Makhluk bodoh yang tidak mau belajar itu sangat mengganggu, dan dengan menyingkirkan makhluk seperti itu, bisa memberimu begitu banyak perasaan menyenangkan. Seorang pria sepertiku dapat meraih kenikmatan yang lebih tinggi, dan untuk mencapai hal itu, melenyapkan makhluk lain yang kuanggap mengganggu pun merupakan gagasan yang sangat bagus. Kau juga harus belajar untuk membunuh makhluk lain demi kepuasanmu. Bisa kau mulai dari makan daging, misalnya.”
       “Makhluk lain itu juga ingin hidup. Seharusnya kita tidak boleh membunuh makhluk apa pun.”
       “Mereka yang lemah dan bodoh, kemudian malas dan tidak berguna. Apakah ada alasan logis membiarkan mereka tetap hidup?”
       “Aku tidak tahu, aku tidak mengerti sama sekali. Cara berpikirmu ... menyeramkan.” Gadis itu menyerah, membenamkan kepalanya di antara lututnya, dan menghembuskan napas.
       “Daripada kau memikirkan itu, mengapa kau tidak bergabung saja mandi madu bersamaku?”
       “Hah ...? Kalau aku mengucapkan sesuatu yang kasar kepada Pangeran, aku bakalan dianggap sebagai penjahat, tidak? Aku benar-benar ingin mengatakannya sejak tadi.”
       “Katakan saja.”
       “Najis, tolol!”
       “Fufufu, kau mengatakannya dengan sangat lancar. Tenang saja, aku sama sekali tidak terganggu dengan ucapanmu, terlebih-lebih yang menyebutkan itu adalah teman masa kecilku. Lagi pula, aku tidak berminat dengan anak kecil.”
       “Teman? Kamu menganggapku teman, tapi mengingat namaku dengan benar saja tidak bisa?” Gadis itu sudah tidak tertarik untuk memperbaiki panggilan yang diberikan Monstrous kepadanya.
       “Benar juga. Mungkin lebih tepatnya kenalan.”
       Mendengar itu, gadis Druid mencibir, kemudian menundukkan kepalanya.
       “Aku tadi memang bilang kalau kau tidak cukup menarik, tapi kalau kau memaksa dan memohon padaku, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk melakukannya denganmu.”
       “Simpan fantasi itu untukmu sendiri.”
       “Fufufu, karena kau menolaknya, mungkin selanjutnya kau tidak akan muncul lagi dalam kisahku.”
       “Apa maksudmu?”
       Monstrous mengabaikan sepenuhnya pertanyaan itu. Seluruh barel sekarang sudah penuh. Dia bangkit berdiri dan memerintahkan prajurit Shoggoth yang hanya diam menyimak dengan topeng senyum untuk mengangkat semua madu itu. Prajurit itu melilitkan rambut-rambutnya yang mirip tentakel, mengikuti Monstrous dan gadis Druid di belakang mereka.
       Mereka bertiga sudah kembali ke permukaan, di tempat mereka semula. Dua rusa jantan yang menunggu di mulut gua itu langsung mengelus-ngeluskan kepala mereka ke kaki gadis Druid.
       “Ngomong-ngomong ada ritual apa di dalam menara batu di sana?” Itu merujuk ke menara yang menjulang tinggi di tengah sana.
       “Kamu bisa tahu?”
       “Kau sebaiknya tidak meremehkanku. Aku mengaktifkan sensorku sejak melihat hanya kau sendiri yang muncul. Dari kesimpulanku, kau tadinya juga ikut di sana, tetapi karena aku menembus penghalang gerbang itu, kau datang sendirian untuk memeriksanya. Kayaknya, itu sejenis ritual persembahan kepada Dewa, Dewi, sesembahan, atau seperti apa pun kalian menyebut itu. Apa aku benar?”
       “Ya.” Gadis itu mengangguk.
       Tebakan Monstrous tepat sasaran. Dia bisa mengerti tanpa membutuhkan penjelasan dari gadis Druid. Bagi gadis itu, ini sesuatu yang agak tidak terduga dari orang yang menurutnya tidak memiliki kesadaran terhadap apa pun yang orang itu tidak tertarik secara pribadi.
       “Kalau begitu, aku kembali. Terima kasih madunya.”
       “Kamu tidak mau bertemu dengan ayahku sebelum pulang? Meski ayahku Ketua Pendeta Druid, aku rasa dia bisa menemuimu sebentar kalau aku yang memintanya.”
       “Tidak perlu. Tidak penting juga.”
       “Bagaimana sekadar makan siang? Hari sudah siang. Kalian pasti lapar setelah perjalanan jauh kemari.”
       “Aku sudah makan apel tadi. Sudah minum madu juga. Kaloriku siang ini sudah cukup. Lagian di sini tidak ada daging.”
       “Kamu tidak mau menjadi pengikut ajaran Druid? Itu akan membersihkan jiwamu yang sudah tersesat. Kalau dibutuhkan, aku juga mau membantu.”
       “Berhentilah mengatakan hal yang kau sudah tahu jawabannya.”
       Monstrous membalikkan badannya dan berlalu.
       “Woi, bodoh, urusan di sini sudah selesai.”
       Monstrous menampar pipi pegawai istana yang diam mematung akibat terguncang oleh lesatan anak panah yang nyaris melubangi kepalanya. Otaknya baru saja selesai memproses kejadian itu.
       “E-eh, Tuan,” katanya linglung memegangi pipinya. “Sudah selesai? Aku belum ngapa-ngapain di sini.” Dia kecewa pada dirinya sendiri.
       Monstrous mengabaikannya dan naik ke kereta. “Kau boleh tinggal di sini kalau kau mau, tapi mungkin saja kau akan dijadikan persembahan buat ritual orang-orang Druid ini.”
       “Tolong jangan mengatakan hal yang kejam seperti itu, Tuan. Wanita ular, ya, malam ini aku mau bersenang-senang dengan wanita Lamya pemberian Tuan. Walaupun tempat ini sangat indah, aku tidak mau berakhir sebagai korban upacara mereka.”
       Pegawai istana berlari menuju kemudi kereta. Dengan menghentakkan tali pengekang, burung unta yang sibuk memakani rumput mulai berjalan. Prajurit Shoggoth mengikuti dari belakang, membawa madu, tanpa bicara, hanya menyimak dengan topeng senyum.
       Mereka bertiga kini berada di luar desa Druid. Dari pandangan mereka, segala sesuatunya seperti kembali ke keadaan semula, keadaan di saat mereka sama sekali belum masuk ke desa itu. Pepohonan rimbun kembali menjadi padang rumput bebatuan, danau dan menara batu tidak ada lagi.
       Setelah mereka pergi, gadis Druid diam-diam melambaikan tangannya dan tersenyum sendirian. Dari garis pandangnya, dia masih bisa melihat kereta itu karena ilusi padang rumput hanya memberikan efek bagi orang yang melihatnya dari sisi luar hutan.
       “Hati-hati,” gumamnya
       Gadis Druid itu tahu kata-katanya tidak berarti. Tidak ada di kerajaan ini yang bisa mencelakakan Monstrous. Bahkan di Kerajaan lain pun mungkin hanya segelintir saja yang bisa menandinginya. Akan tetapi, dia tetap mengucapkannya karena hanya itulah yang bisa dia lakukan.
       “Kamu salah, kamu jelas salah. Kami tidak pernah melakukan ritual dengan mengorbankan hewan, apalagi makhluk yang ada di atasnya. Satu-satunya yang kami korbankan adalah perasaan. Semua bentuk perasaan yang mengganggu jiwa harus dikorbankan, seperti perasaan yang tidak berbalas, misalnya. Itulah inti ajaran yang ingin aku kenalkan padamu.”
       Di tengah sore yang mendung, tanpa seorang pun di sekitarnya, gadis Druid itu melanjutkan monolognya.
       “Aku tahu, aku sama sekali tidak dianggap olehmu. Aku paham, aku hanya karakter yang keberadaannya tidak akan berdampak untukmu. Ya, begitulah kamu sekarang melihatku; begitulah caramu sekarang memandang dunia, Pangeran Monstrous.”
       Menuju rombongan Monstrous yang sudah tidak terlihat, dia menyampaikan suaranya yang tidak terjangkau.
       “Namun, aku ... aku akan tetap selalu ....” Suara gadis itu begitu lembut, menghilang tersapu angin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EXISTENTIAL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang