[𝐁𝐥𝐨𝐨𝐝𝐥𝐮𝐬𝐭 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 #𝟎𝟏]
Genre : Fantasy - Romance
Tema : Vampire & Werewolf Hate to Love
⚠ [𝗖𝗢𝗠𝗣𝗟𝗘𝗧𝗘𝗗] ⚠
Follow dulu, dong! Hargai penulis dengan memberikan vote dan komentarmu. Selamat membaca♡
˚☂︎࣪⋅ 。\ | /。˚☂︎࣪ 。\ | / 。˚...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
• • •
"Hei, harus kita apakan gadis ini?" Arion bertanya pada Aeric, sementara netranya tertuju pada sosok seorang gadis cantik dengan kulit pucatnya yang tertidur di atas ranjang beralaskan sprei putih berbahan satin tersebut.
"Tentu saja menjaganya sampai Kak Ayden datang," jawab Aeric sembari memutar bola matanya malas, karena menurutnya pertanyaan Arion itu sama sekali tidak bermanfaat.
"Ck! Kenapa kita jadi harus terlibat dengan hal yang merepotkan seperti ini, sih?"
Aeric tidak menghiraukan ocehan sang adik dan memilih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia juga tidak habis pikir dengan sang kakak. Kenapa Kak Ayden harus repot-repot menolong gadis yang jelas-jelas adalah musuh mereka? Hey, ayolah! Gadis ini adalah seorang vampir. Iya, seorang vampir. Si lintah penjilat itu.
"Kak Ayden pasti sudah kehilangan akal." Arion kembali menggerutu kesal. Membuat Aeric jadi menghela napas dan ikutan geram.
"Diamlah, bodoh!"
Pletak!
Satu jitakan keras mendarat di kepala Arion Hoover. Aeric sang pelaku hanya menunjukkan wajah tanpa dosanya dan kembali mengabaikan Arion yang sudah siap mengamuk.
"Kau-"
"Apa? Aku memang benar, 'kan? Bukannya kau sendiri tadi yang mendukung tindakan Kak Ayden untuk menolongnya?"
"Ugh, kepalaku ..."
Perkataan Aeric terpotong. Arion dan Aeric saling pandang ketika sang gadis mulai tersadar dari pingsannya. Rafellia Reeves mengerjapkan kelopak matanya dan gadis itu spontan mengernyit bingung ketika mendapati dua lelaki asing tengah memandangi dirinya.
"Kalian siapa?"
Lagi-lagi, Aeric dan Arion saling pandang, seolah berbicara lewat tatapan mata. Hal yang menjadi kebiasaan kedua pangeran tersebut saat ingin berkomunikasi tanpa harus berbicara.
"Kami-"
"Ah, aku ingat. Kalian pasti Para Pangeran Hoover, bukan?" Rafellia berujar sembari menatap kedua lelaki yang berdiri mematung di depannya. "Terima kasih karena sudah menolong-"
"Ohh, kau sudah sadar rupanya. Sekarang pulanglah."
Perkataan Rafellia terpotong oleh kedatangan Ayden yang tiba-tiba. Laki-laki dengan bekas luka cakar di mata kanannya itu menarik tangan Rafellia agar cepat berdiri dari ranjang yang semula menjadi tempatnya berbaring. Rafellia yang tidak siap, jelas saja hampir terjatuh jika tidak ada Aeric yang bergerak cepat dan berdiri di belakang gadis itu.
"Kak! Jangan kasar pada perempuan."
"Apa pedulimu? Dia sudah sadar, 'kan? Maka dia harus segera pergi dari sini," jawab Ayden yang terdengar sangat menusuk. Tatapan dingin laki-laki itu juga membuat Arion dan Aeric tidak habis pikir dengan sikap yang ditunjukkan oleh sang kakak.