Ikbal adalah seorang penjudi handal beristrikan tiga wanita. Istri pertama namanya Sari, kedua Intan dan terakhir Darni. Semua madunya akur, tercukupi, tapi tidak ada satupun dari mereka yang berhasil memberikan keturunan. Setiap hamil pasti keguguran, entah itu terpeleset atau salah makan. Terakhir dokter bilang kalau janinnya tidak berkembang. Tapi permasalahan janggal itu tidak pernah dijadikan bahan gunjingan. Semua orang menyukai Ikbal karena loyal, kaya juga tampan. Keluarganya tidak pernah dikucilkan dan selalu diundang ke pesta pernikahan karena sumbangannya paling banyak.
Permasalahan baru muncul saat istri ke tiganya mati. Darni meninggal di sebuah kebun dengan mulut berbusa, katanya keracunan makanan. Lagi-lagi kejanggalan itu tidak digublis oleh semua orang. Bahkan keluarga Darni sendiri langsung mengiklaskan.
Di minggu pertama setelah selesai tahlil tujuh hari, Ikbal sudah sibuk cari istri lagi. Alasannya karena ia kesepian di hari selasa dan rabu. Di mana jatah bermalamnya kosong lantaran si istri meninggal. Gilanya, orang kampung yang berada di bawah garis kemiskinan malah menyodorkan anak perawan mereka.
Termasuk bapakku yang baru kemarin diputus kerja karena divonis menderita glukoma. Bapak terancam buta, jadi beralasan kalau aku harusnya menikah saja. Di desa, aku adalah satu-satunya wanita yang melanjutkan sekolah hingga SMA. Rata-rata temanku berhenti di SMP lantaran biaya. Di pelosok begini, daripada repot-repot sekolah, orangtua lebih suka mendidik anak perempuan untuk mulai mengenal dapur juga mengurus rumah tangga. Toh, ujung-ujungnya pasti jadi istri juga.
Namun berhubung aku tidak punya ibu, bapak lebih suka menyekolahkanku dulu. Ya, itu dulu. Sekarang setelah kelas dua SMA, ia malah menyuruhku untuk berhenti saja.
--
“Nur, besok kamu pergi ke rumah Ikbal bersama kawanmu yang lain.” Bapak pulang dan tiba-tiba saja mengatakan hal mengejutkan.
“Untuk apa? jangan bilang kalau bapak menyuruhku untuk jadi istrinya? Aku masih enam belas.” Aku meletakkan cangkir kopi miliknya dengan wajah marah. Harapanku untuk pergi ke kota selepas kelulusan, berakhir sudah.
“Mengertilah Nur, bapak sudah tidak bisa membiayaimu lagi. Sekolah itu mahal dan kamu itu perempuan. Tidak banyak hal yang bisa kamu kerjakan untuk mendapat uang. Paling tidak, hidupmu harus terjamin sebelum penglihatan bapak semakin buruk,” kata bapak mengambil tanganku untuk digenggam. Jari jemari keriput itu seakan tengah mengeluh tentang masa sulit padaku. Hangat, tapi di saat yang sama juga menyedihkan.
“Tapi pak, aku masih enam belas tahun,” keluhku merinding. Dalam undang-undang pernikahan, aku masih di bawah umur. Artinya, itu melanggar hukum.
“Alah Nur, tiga bulan lagi kamu sudah tujuh belas. Tahu sendiri, kan? di desa kita anak umur lima belas saja sudah bisa menikah. Perempuan itu kalau sudah menstruasi, sudah layak dinikahi.” Suara bapak mulai meninggi. Kalau makin dibantah, ia akan meradang lalu mengatakan banyak kalimat menyakitkan.
Aku langsung bungkam, tapi diam-diam menggerutu pelan. Tidak mungkin aku menyerahkan diriku pada Ikbal. Aku sudah lama membencinya. Selain umur kami hampir terpaut lima belas tahun, pria itu menjijikkan. Mana ada orang waras yang mencari pengganti istrinya seminggu setelah layatan? Perempuan itu bukan barang atau pemuas saja, tapi juga manusia yang wajib dihargai.
Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Banyak pikiran juga kemarahan. Selama ini aku belajar begitu keras agar bisa membuktikan ke tetangga sekitar kalau budaya pernikahan dini sangat buruk. Patriarki kuno yang diterapkan di desa hanya membuat laki-laki besar kepala. Padahal wanita juga butuh pengakuan atas harga dirinya.
Sayang, tinggal setahun lagi, batinku menghembuskan napas sesak. Bea siswa yang didaftarkan atas namaku bisa lenyap kalau memutuskan untuk berhenti di tengah jalan. Tapi kalau memaksa, kasihan bapak. Ia terus mengeluh sakit kepala karena glukoma.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHIM KETIGA
HorrorDi minggu pertama setelah selesai tahlil tujuh hari, Ikbal sudah sibuk cari istri lagi. Alasannya karena ia kesepian di hari selasa dan rabu. Di mana jatah bermalamnya kosong lantaran si istri meninggal. Gilanya, orang kampung yang berada di bawah g...