Selama beberapa hari belakangan, Ajeng menyadari bahwa masalah hidupnya itu datang dan pergi. Pertama kehamilannya, lalu setelah Alan mau bertanggungjawab, nenek Alan malah menunjukkan rasa tidak senangnya terkait hubungan asmara sang cucu dengan Ajeng, dan begitu Alan berhasil menenangkan Ajeng dengan mengatakan bahwa mereka akan tetap bersama dengan atau tanpa persetujuan nenek, kini, Ajeng malah dihadapkan pada masalah lain, yang lumayan sulit.
Masalah itu adalah bagaimana cara menyampaikan pada kedua orangtua Ajeng bahwa dia ingin menikah tanpa memberitahu mereka bahwa Ajeng sedang hamil. Karena, menurut Alan, akan lebih baik seperti itu, supaya, orangtua mereka masing-masing tidak perlu merasa malu dan tentu saja, tidak akan marah pada mereka.
Ajeng tahu ini sulit, tapi siapa yang tahu kalau belum dicoba? Ajeng akan mengusahakan yang terbaik, siapa tahu Dewi keberuntungan ada di pihaknya dan jalannya dalam meminta izin untuk menikah dipermudah.
Malam itu, Ajeng melaksanakan rencananya.
Ajeng membantu ibunya memasak di dapur untuk makan malam padahal sebelum ini dia sekalipun tidak pernah melakukan hal tersebut. Tidak hanya itu, Ajeng juga membantu menata meja makan, dan memanggil sang ayah untuk makan bersama yang mana sebenarnya membuat Rama kebingungan karena biasanya Ajeng lah yang diajak makan bukan sebaliknya.
Kebingungan Rama pun masih berlanjut ketika Ajeng mengambilkan nasi dan lauk pauk untuknya dan sang istri. Bagi Rama ini sangat amat janggal dan mencurigakan sedangkan bagi Retno, malah ini adalah hal yang sangat baik dan tidak perlu memikirkan alasan mengapa Ajeng melakukan hal tersebut.
"Terima kasih ya Ajeng karena hari ini kamu udah mau bantuin ibu menyiapkan makan malam."
"Sama-sama bu, Ajeng senang juga kok bisa bantuin ibu. Kan Ajeng sudah dewasa, jadi ya hal seperti ini seharusnya Ajeng sudah terbiasa lakukan, ya kan?"
"Betul itu. Makanya, besok-besok bantuin ibu lagi ya?"
"Siap bu," Ajeng mengiyakan dengan cepat.
Makan malam itupun berlangsung dalam diam, awalnya. Suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu, entah bagaimana membuat hati Ajeng tak tenang. Semakin lama makanan di piring Retno dan Rama semakin berkurang dan sebagaimana biasanya, mereka akan selesai dan Ajeng tidak tahu kapan lagi dirinya memiliki kesempatan yang bagus untuk mengungkapkan keinginannya menikah.
Ajeng memegang sendok di tangannya kuat-kuat kemudian menghembuskan napas dan akhirnya berkata, "Ibu, ayah, Ajeng… mau ngomong sesuatu sama kalian."
"Ngomong saja Jeng? Ibu dengarkan sambil makan," kata Retno yang masih sibuk menikmati makanannya, berbeda dengan Rama yang langsung menghentikan kegiatannya, dalam hati mengakui bahwa inilah yang ia tunggu. Alasan mengapa Ajeng bertingkah begitu baik lebih daripada biasanya akan segera terungkap.
"Sebenarnya… Ajeng mikir buat gak lanjut kuliah."
Retno berhenti menyuap makanannya, dan Rama mengernyit mendengar keinginan putrinya. Pikir mereka, Ajeng telah hilang akal karena menginginkan hal tersebut?
"Kenapa? Bukannya kamu mau belajar tentang dunia seni lebih banyak dan juga jadi sarjana?" tanya Retno beruntun. Dia menjatuhkan sendoknya ke atas piring sehingga bunyi dentingan keras terdengar membuat Ajeng sedikit gentar.
"I-iya, bu. Cuma Ajeng mikir kalau Ajeng kuliah jurusan seni nanti susah cari kerjanya…. jadi ya…."
"Kalau gitu kamu kuliah jurusan lain lah sambil kamu tetap lanjut ngelukis. Itu kan hobimu Jeng. Kamu janji untuk mengembangkan kemampuan kamu dan jadi pelukis handal, tapi kok sekarang malah begini sih?"
Suara sang ibu yang sangat berbeda dari biasanya sangatlah mempengaruhi Ajeng, tapi dia harus tetap maju. Lagipula, pikirnya, apa yang ingin dikatakannya ini adalah termasuk memperjuangkan masa depannya juga.
"Aku, mau, nikah."
Rama dan Retno pikir petir di siang bolong mengejutkan, tapi ternyata apa yang Ajeng katakan barusan, jauh lebih mengejutkan dan menakutkan di saat yang bersamaan.
"Astaga Ajeng… kamu… jangan bercanda," Retno tersendat-sendat saat mengatakan pemikirannya saking terkejutnya akibat apa yang Ajeng sampaikan barusan.
"Ajeng serius bu," kata Ajeng sambil menunduk. "Alih-alih kuliah, aku lebih mau menikah supaya gak perlu lagi menyusahkan kalian."
"Kamu tidak menyusahkan kami. Itu sudah jadi tugas kami sebagai orangtua kalau kamu lupa," Retno dengan cepat menanggapi, tapi Ajeng menggeleng dan masih tetap menunduk.
"Ajeng gak mau lagi nyusahin kalian. Ajeng mau nikah setelah lulus dan itu keputusan akhir Ajeng, dan Ajeng harap kalian mendukung keputusan Ajeng itu walaupun berat untuk dilakukan."
Muncul kesunyian untuk beberapa saat sebelum akhirnya Rama buka suara. "Kamu mau menikah dengan Alan?" tanyanya lemah lembut.
"Iya, yah."
"Kalian rasa diri kalian masing-masing sudah siap untuk membangun sebuah rumah tangga?"
"Iya, yah. Ajeng sudah memikirkan ini matang-matang. Alan juga. Kami sudah siap dengan segala macam konsekuensi yang harus kami tanggung nantinya. Kami sudah sama-sama siap yah. Jadi ayah dan ibu tidak perlu khawatir," kata Ajeng dengan penuh keyakinan. Entah hilang kemana ketakutannya yang tadi di awal begitu mengganggunya. Bahkan, ketika dia harus meninggalkan meja makan tanpa mengetahui keputusan akhir dari kedua orangtuanya, Ajeng merasa baik-baik saja. Setidaknya, dia telah menyampaikan keputusannya.
><
Di kamarnya, sendirian, Ajeng memutuskan untuk menelepon Alan dan memberitahu tentang pembicaraannya tadi dengan kedua orangtuanya.
"Menurut kamu mereka akan biarin kita nikah atau enggak?"
"Seharusnya iya, apalagi kalau kamu kekeh dengan keputusanmu," kata Alan. "Makanya itu, kalau ayah atau ibumu nanya kamu yakin atau enggak mau nikah sama aku kamu jawab dengan yakin dan percaya diri supaya mereka ngasih kita izin buat nikah. Ngerti?"
"Ya." Ajeng menunduk. Setelah dia pikir-pikir lagi, muncul ketakutan dalam dirinya yang mengatakan kemungkinan bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya menikah dengan Alan dan mereka pada akhirnya harus memberitahu pada orangtua bahwa Ajeng sebenarnya sedang mengandung. Itu sangatlah menakutkan bagi Ajeng sehingga sebenarnya, ucapan Alan tadi tidak terlalu membuat perasaan Ajeng jadi lebih baik. Ketakutannya tidak sedikitpun sirna.
"Kenapa kamu kedengarannya lesu begitu? Gak percaya ya sama ucapanku?" tanya Alan yang kini sudah cukup kenal dengan macam-macam nada bicara Ajeng dan bisa menebak perasaan Ajeng darinya.
"Enggak…" Hati Ajeng terasa berat sekali untuk berbohong. "Aku cuma takut aja? Gimana kalau nanti kita terpaksa kasih tahu mereka kalau aku lagi hamil?"
"Kalau kita tetap tutup mulut dan gak bertingkah aneh, semuanya bakal aman. Kamu jangan khawatir. Kamu cuma harus tetap kuat dan jangan sampai ngelakuin kesalahan dan ngasih tahu yang sebenarnya sama orangtuamu kalau kamu mau tetap nikah sama aku. Kamu mau nikah sama aku kan?"
"Iyalah." Tentu saja Ajeng mau, dia mencintai Alan dan juga, rahimnya kini tengah mengandung buah hatinya dengan Alan, jadi tidak alasan bagi Ajeng untuk tidak mau menikah dengan Alan. Terlebih, setelah kehamilannya, Ajeng menyadari bahwa begitu banyak hal yang ia inginkan untuk masa depannya terpaksa harus ia lupakan dan kini, satu-satunya impian untuk masa depannya yang paling realistis untuk digapai adalah menjadi istri yang baik Alan dan ibu yang baik anaknya di masa depan.
"Bagus kalau begitu. Tunggu sebentar lagi Ajeng, beberapa hari setelah pengumuman, aku bakal ngajak orangtuaku ke rumahmu untuk melamar kamu."
>>>>>
Kayaknya, mau itu hamil atau tidak, meminta izin orangtua untuk menikah tetap menakutkan, iya gak sih?🤔🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku - TAMAT
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...