“Ajeng dibawa ke dukun saja, Pak, Bu, untuk diobati sakitnya. Saya yakin setelah itu dia akan berhenti teriak-teriak. Saya punya kok kenalan dukun yang pastinya jago dalam mengobati penyakit seperti yang Ajeng alami itu."
“Tapi…” Retno hendak menyanggah, tapi sang tetangga sudah kembali berbicara.
“Atau kalau Bu Retno dan Pak Rama gak percaya sama dukun, bisa ke ustadz saja. Biar Ajeng diruqyah dan setan dalam dirinya itu dihempaskan. Setelah itu pasti Ajeng langsung sembuh.” Tetangga Rama dan Retno ini, adalah tipikal orang yang akan dengan senang hati memberitahu apa yang harus orang lain lakukan dan tidak lakukan seolah dia tahu mana yang benar dan salah. Dia pikir idenya barusan sangat bagus sehingga Rama dan Retno pasti akan menyetujui.
“Tapi anak saya tidak kerasukan setan dan karena itu saya tidak bakal mau membawanya ke dukun atau ke ustadz untuk diruqyah.”
“Ya terus kenapa dia suka teriak-teriak gak jelas? Itu Ajeng kerasukan setan bu, dan kalau gak dibawa ke dukun, gak bakal bisa sembuh,” kata si tetangga mempertahankan argumennya. “Lebih baik dia diobatin sekarang, jangan tunggu nanti-nanti. Takutnya sakitnya makin parah dan gak bisa disembuhin lagi terus Ajeng gak bakal bisa ngendaliin dirinya sendiri, terus dia bakal semakin gila.”
“Anak saya gak gila bu!”
“Bu, sabar,” Rama berusaha menenangkan Retno dengan mengelus-elus lengannya, tapi tidak berhasil.
“Ya terus kenapa dia suka teriak-teriak? Kalau gak gila terus apa namanya? Sinting?!”
Rama dan Retno benar-benar tidak menduga tetangga mereka itu akan bisa mengatakan hal yang menurut mereka begitu kejam. Dan karena hal itu, kali ini bukan Retno lagi yang menanggapi, tapi Rama.
“Jangan ngomong sembarangan bu! Istri saya sudah bilang kalau Ajeng tidak gila, jadi seharusnya ibu berhenti, berhenti mengatakan anak kami gila, dan berhenti menyuruh kami melakukan hal yang tidak ingin kami lakukan!”
“Saya cuma mau anak kalian sehat lagi supaya gak teriak-teriak lagi. Gak ganggu tetangga lagi. Itu aja kok.”
“Ibu gak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama anak saya, makanya Ibu bisa ngomong begitu!”
“Halah… saya gak peduli apa yang terjadi sama Ajeng. Yang saya adalah Ajeng sembuh dan tidak menggangu hidup saya lagi!”
Pembicaraan itu berakhir sampai di sana, tidak ada solusi yang tercipta, yang ada malah pertengkaran. Rama dan Retno semakin pusing memikirkan tindakan apa yang akan mereka lakukan agar keadaan menjadi baik seperti semula. Mereka tak pernah tahu bahwa diam-diam dari balik pintu kamarnya, Ajeng mendengarkan semuanya. Ajeng pun merasa sangat bersalah.
Ajeng duduk bersandar di pintu kamarnya dan merenungkan semua hal yang telah terjadi dalam hidupnya dan menyadari bahwa hal itu tak hanya berefek kepada dirinya sendiri namun juga kepada keluarganya.
Ajeng tak mau terus seperti ini, namun kesedihan menariknya ke tempat yang begitu gelap dan Ajeng tidak tahu bagaimana cara menemukan jalan keluar dari tempat itu. Terlebih setelah kemunculan Dodit yang membuatnya menemukan sebuah kenyataan baru yang lagi-lagi menyakiti hatinya.
Ada beberapa waktu di mana Ajeng bersikeras dia harus berjuang namun dia kemudian gagal ketika ingatan tentang hidupnya yang hancur kembali muncul. Seperti itu terus berkali-kali.
Ajeng kembali mencoba untuk bangkit.
Keesokan harinya, Ajeng berhasil bangun lebih awal daripada orangtuanya berkat alarm yang ia pasang. Dia membuka semua jendela, pintu, dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya sehingga dadanya terasa penuh. Hari itu, Ajeng memberanikan diri masuk ke dapur setelah sekian lama dan membuat makanan sebisanya. Ketika hampir selesai, Retno keluar dari kamarnya, dia terkejut mendapati jendela-jendela dan pintu telah terbuka, mulanya dia pikir ada pencuri yang masuk ke rumah, tapi ketika dirinya beranjak ke dapur dan melihat Ajeng, Retno tahu bahwa dugaannya salah, bukan pencuri atau perampok, tapi Ajeng, putrinya.
“Ajeng, kamu ngapain nak?”
Ajeng menjawab, “Lagi masak, Bu.” Kemudian dia berbalik badan menatap ibunya yang termenung. “Ibu, mau kan, makan makanan buatanku?”
Keadaan berubah dalam sekejap, hati Retno menghangat mendengar suara lembut putrinya yang telah lama tak ia dengar. Tanpa bisa dirinya cegah, matanya berembun, sebelum luruh airmatanya menetes, Retno menghampiri Ajeng dan memeluk putrinya itu dengan erat.
“Maafin Ajeng, Bu. Udah nyusahin Ibu selama ini.” Ajeng membalas pelukan Ibunya tak kalah erat.
"Tidak, Nak. Kamu tidak pernah menyusahkan Ibu." Tangis Retno terdengar semakin jelas, namun bukan karena sedih, tapi karena terharu melihat Ajeng telah kembali menjadi Ajeng yang sama seperti dulu. “Harusnya Ibu yang minta maaf sama kamu karena membiarkan kamu melewati masa sulit sendirian.”
“Ibu dan Ayah gak salah apapun. Semuanya udah takdir, Ajeng," kata Ajeng. "Mulai sekarang, aku bakal berusaha untuk memperbaiki hidupku seburuk apapun masa laluku.”
“Iya, nak.” Retno mengangguk-angguk. Mereka saling menatap dalam kesenduan yang nengharu biru. “Ibu yakin kamu bisa melakukan hal itu. Ibu yakin.”
Ajeng pun begitu, walau ia tahu membenahi hidup tidak semudah membalikkan telapak tangan, seperti kata orang, tapi ia tetap akan berusaha semampunya dan menunjukkan bahwa dia bisa dan membuat dirinya sendiri dan orang-orang di sekelilingnya bangga sekaligus bahagia.
•••••
Akhirnya selesai pemirsa. Terima kasih sudah membaca, dan memberikan vote. Semoga kalian para pembaca bisa mengambil pelajaran dari cerita ini.And SEE YOU di ceritaku yang lain. MAYBE WITH AJENG AND HER STORY AGAIN🤩😆

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku - TAMAT
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...