Chapter VI

15 6 0
                                    


Aeris menatap dirinya pada pantulan cermin yang menampilkan dirinya. Surai hitam pekatnya terurai panjang dengan bagian sisi kiri dan kanannya terkepang rapi dengan bunga mawar merah muda menghiasi.

Berbeda dengan warna rambut Shuane dan Jemiko yang pirang, persis seperti sang ibunda. Mulai dari mata hingga warna rambut Aeris hitam mengikuti Ayahnya.

Matanya memicing, ia mencoba untuk merasakan sesuatu yang tiba-tiba saja ia rasakan dengan samar-samar. Begitu juga dengan pergerakan Meimi yang terhenti saat ia tengah memilih sepatu yang akan Aeris kenakan.

"Meimi, kamu merasakannya?"

Meimi mengangguk, ia dengan cepat meraih sepatu dengan hak pendek lalu segera melangkah mendekati Aeris. "Nona, sepertinya terjadi gempa. Nona harus segera menuju ke tempat yang aman."

"Bukan Meimi.. ini berbeda." Sanggah Aeris beranjak menuju balkonnya.

"Nona tunggu—!"

Ia sudah menduganya karena jika ini memang gempa yang berbahaya, Arve akan segera bertindak. Namun melihat Arve yang tak berbuat apa-apa saat merasakan suatu getaran membuat Aeris menaruh curiga.

Bibirnya melongo melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Membuatnya teringat siapa Jemiko Jiellart sebenarnya.

"Ini lebih gila jika disebut gempa biasa."

Sebuah menara tinggi menjulang seperti hendak menyentuh awan yang mengapung di langit nampak berada di pekarangan mansionnya. Seperti memang sedari awal bangunan itu berada di sana. Tidak ada lahan yang rusak ataupun bekas tanah terseret di sekelilingnya.

Dengan santai Arve melompat tepat di dinding balkon dengan mengendus-endus udara. "Ini hal wajar yang sering di lakukan penyihir."

Aeris menoleh, "Kakak ku bukan penyihir." Batinnya terbaca oleh Arve.

"Pengendali mana tingkat tinggi bukan? Itu sejenis penyihir, namun mananya bersumber melalui tubuh tanpa perantara apapun."

Bibir Aeris semakin terbuka lebar, "pantas saja kakak kedua ku jarang sekali pulang, ternyata dia punya rumah yang bisa dia bawa kemanapun?"

"Kenalkan aku padanya." Celetuk Arve tiba-tiba.

"Apa? Nggak boleh!" Aeris segera menggendong Arve masuk ke dalam kamar, meletakkannya diatas ranjang lalu melipat kedua tangannya di depan dada. "Jemiko bisa saja merasakan aura mu. Aku bisa terkena masalah nanti!"

Arve menghela napas, "Lihat saja aku akan segera mengumpulkan sisa-sisa aura ku lalu kembali menjadi manusia."

Kening Aeris mengerut dalam, dirinya nampak tak setuju dengan itu. "Kalau seperti itu, kamu harus langsung keluar dari sini! Bagaimana tanggapan kakak ku nanti kalau melihat ada kakek tua di dalam mansion?" Batin Aeris bergelut dengan suara Arve.

"Hey— tentu saja tidak begitu!"

"Nona Aeris, kepala pelayan mengatakan nona harus menyambut Tuan muda Jemiko di pintu utama."

Kehadiran Meimi membuat perdebatan yang akan dimulai terhenti. Aeris mengangguk sebelum memberikan sinyal untuk Arve agar tetap diam disini.

"Sudah lama aku nggak melihat kak Jemiko, menurut mu apa dia akan seperti pengendali mana yang kebanyakan memanjangkan rambutnya Meimi?"

Dari belakang Meimi mengikuti Aeris menyusuri lorong mension menuju tangga utama, "Menurut saya dengan gaya rambut apapun itu, keturunan Jiellart tetap akan rupawan."

Aeris mengeluh tak terdengar. "Bukan itu yang ku maksud."

Dulu sebelum Jemiko memasuki academy, dibanding dengan Shuane yang terfokus mendapat kelas penerus, Aeris lebih dekat dengan Jemiko.

AERISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang