Hembusan angin dingin menerpa Aeris, dedaunan hijau sedikit bergoyang mengikuti arah mata angin.
Kening Aeris berkerut, sedikit mendongak menatap Arve. "Kenapa kamu menjauh?"
Ekor Arve tergulung menutup kaki depannya. "Untuk berjaga-jaga saja."
Tampak jelas sekali dimata Aeris, ia paham Arve tak mau ambil risiko dengan mencoba hal yang bahkan ia sendiri tak yakin apakah projek ini akan membuahkan hasil seperti apa.
Tak mau pikir panjang, Aeris menginjakkan kakinya ditengah lingkaran sihir yang telah ia buat lalu memejamkan matanya. "Per questo io, Aeris Jiellart, ho aperto le porte del cerchio magico per apportare cambiamenti alla vita del mondo."
Saat itu juga, desir angin kencang mengelilingi tubuh Aeris. Selayaknya angin topan halus, melingkari tubuh mungilnya dari ujung kepala hingga habis tertanam di tanah mengikuti pola garis yang telah ia gambar.
Perlahan Aeris membuka sebelah matanya, mencoba mengintip dengan perasaan bercampur aduk setelah tubuhnya terasa seperti tertelan angin topan. Pandangannya menangkap Arve dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. "Aku nggak berpindah kemana pun, apa ada yang salah?" Ekspresi wajah Aeris nampak bingung.
"Arve!? Kau nggak menipu ku 'kan?" Aeris mengitari lingkar sihir yang telah ia buat.
Dituduh seperti itu secara tiba-tiba membuat Arve mendengkur keras, "Hey nak, kau sendiri yang membawa buku itu dan memaksa ingin mencobanya. Mengapa menyalahkan ku?"
"Maksud ku, bukan tentang buku. Tetapi garis lingkar sihir ini." Aeris menunjuk kearah tanah, "atau mungkin ejaan kata ku kurang tepat?"
Jemari lentiknya menyentuh bibir seakan memikirkan bagaimana cara mengeja kata dengan benar.
Arve duduk terdiam namun anehnya pandangannya tak tertuju pada Aeris dan justru melihat sekitar. Hidungnya tampak mengendus sesuatu.
Disisi lain Aeris melangkahkan kaki keluar dari garis untuk mengambil buku kuno yang ia simpan di dalam tasnya, mencoba meneliti apa benar ia salah ingat?
"Nak!" Belum sempat membuka lembaran buku, Aeris dikejutkan dengan seruan Arve yang diiringi dengan suara dari arah danau, seakan ada seseorang tercebur disana.
Aeris memandang Arve dengan tatapan bercampur aduk, apakah ia harus memeriksanya? Tapi bagaimana jika itu seorang pelayan? Atau Prajurit? Jika ia bisa saja ini menjadi sebuah boomerang baginya yang keluar diam-diam.
Tanpa sepatah kata, Arve berlari dengan cepat menghampiri danau, membuat Aeris mau tak mau memilih untuk mengikutinya.
Dari kejauhan, Aeris dibuat melongo oleh apa yang dilihatnya saat ini. Ada seseorang yang tercebur ke dalam danau. Oh astaga apakah orang itu mencoba menjadi seperti dirinya beberapa waktu lalu?
"Tolong dia." Titah Arve menatap getaran dalam danau.
Kening Aeris mengerut mendengarnya, "Apa?"
"Jangan membuang waktu dan cepat bantu dia, Nak." Arve mendekati Aeris memberi tau agar ia lekas bergegas.
"Gila, aku nggak bisa berenang. Kau lupa?"
"Itu belum mencapai area dalam danau, kau tak akan tenggelam."
"Kalau begitu biarkan saja dia."
Ekor Arve bergoyang nampak tak sabaran, "Aku merasakan energi tubuhnya lemah, dia tidak sadarkan diri. Kau ingin ada seseorang yang ditemukan mengambang di danau rumahmu?"
"Dan kau ingin aku juga menemui ajalku karena ikut tenggelam?"
Hening sesaat, keduanya saling melempar pandang. Aeris menatap kearah danau dengan mengigit bibir bawahnya, nampak berpikir apa yang harus ia lakukan. Hingga pada akhirnya ia membuang napas dan melangkah mendekati danau.
Kedua tangannya terkepal meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melakukannya.
"Kalau sesuatu terjadi padamu, aku akan menolong mu menggunakan aura."
Mendengar hal itu, telapak kaki Aeris yang telah memasuk danau terhenti, tubuhnya berbalik menatap Arve, "Kau saja yang langsung selamatkan dia!"
"Tidak bisa, aura ku hanya bekerja padamu. Cepatlah!"
Aeris nampak kesal, bibirnya menggerutu seraya kembali masuk kedalam danau.
"Aku belum menulis surat wasiat, ah uang jajan ku juga belum ku gunakan.." lirih Aeris.
Dengan tekadnya, ia berhasil meraih lengan pemuda itu. "Dia laki-laki?" Pikirnya.
"Ugh.. ayolah, bagaimana kau bisa sampai tak sadarkan diri di danau ini?"
"Semangat nak, kau pasti bisa." Teriak Arve yang menatap dari pinggiran danau.
"Diamlah!"
Setelah sekuat tenaga menarik tubuh pemuda itu untuk menepi, seperkian detik setelahnya Aeris langsung menjatuhkan tubuhnya diatas rerumputan dengan napas tak beraturan.
Dengan kepala mungilnya, Arve menyundul lengan Aeris. "Kau ini bocah petualang yang tak betah dirumah, tetapi begini saja sangat lemah."
Aeris memutar bola matanya jengah lalu kedua matanya terpejam. "Seorang prajurit saja memiliki kelemahan, mengapa aku tidak boleh?"
"Bagaimana aku bisa menjelaskan gaun ku yang lusuh ini pada Denada?"
Hening sesudahnya, membuat Aeris merasa keanehan. "Arve?"
Sebelah mata Aeris mengintip, dilihatnya Arve yang saat ini hanya terfokus pada pemuda disampingnya.
"Apa yang kamu lakukan?" Kepala Aeris miring menatap Arve sepenuhnya.
"Bocah ini.."
Aeris mendudukkan tubuhnya menatap keduanya dengan jelas.
"Aku seperti familiar dengan energi bocah ini. Tapi entahlah, aku tak bisa mengingatnya."
"Mungkin itu hanya perasaan mu saja," Aeris menopang dagunya diantara kedua lututnya yang tertekuk. "Aku tak pernah melihat lelaki ini disekitar kediaman. Jadi mana mungkin kau pernah bertemu dengannya?"
Pandangannya terpaku pada pemuda itu, "apa dia prajurit baru? pelayan baru? atau apa? bagaimana bisa dia disini?" Gumamnya.
"Kau bisa tanyakan itu padanya nanti."
"Kau benar, tapi apa yang akan kita lakukan padanya saat ini? Aku tak mungkin menggendongnya naik ke balkon."
Tatapan keduanya bertemu. "Pindahkan ke gudang perkebunan lalu untuk selanjutnya kita pikirkan nanti."
"Sekarang?" Tanya Aeris.
"Kau ingin ketahuan oleh prajurit patroli?"
Aeris menghela napas lalu beranjak berdiri, ditariknya lengan pemuda itu dan menopangnya berjalan sembari terus menggerutu, "Aku tak pernah melakukan hal seperti ini, aku akan menagih bayaran untuk ini nanti."
"Tapi dia cukup tampan walau tidak melebihi ketampanan ku dulu," ucap Arve membuat Aeris kembali memutar bola matanya.
"Kau tak akan meminta imbalan melenceng darinya 'kan, Nak?"
Wajah Aeris memerah, "Apa maksud mu!? Aku bukan orang seperti itu, apa di mata mu aku memiliki tampang kriminal hah?"
Arve berjalan mendahului Aeris yang nampak kesulitan menopang tubuh pemuda itu, "bahkan lebih dari itu."
"Katakan lagi! Arve!???"
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
AERIS
Fantasía"Ini lingkar sihirnya beneran nggak ada koreksi lagi? Kok kita nggak pindah kemana-mana?" Aeris Jiellart namanya, anak bungsu dari keluarga penguasa wilayah Selatan penghasil tambang berlian terbesar di kekaisaran. Ia hanyalah si bungsu yang selalu...