Prologue

334 50 7
                                    

Di tengah kekacauan yang meningkat, wilayah Barat dan wilayah Timur terperangkap dalam konflik sengit. Suara meriam bergema di antara pegunungan dan lembah, menciptakan lanskap yang dipenuhi kecemasan. Setiap hari, serangan udara dan pasukan darat mempertegas perbatasan yang semakin terkikis.

Penduduk setempat hidup dalam ketegangan konstan, terjebak di antara dua kekuatan yang saling berseteru. Desa-desa menjadi korban, dengan rumah-rumah yang hancur dan lahan-lahan pertanian yang terabaikan. Perbatasan yang dulu ramai kini sunyi, hanya diisi dengan jejak-jejak perang yang meninggalkan luka mendalam pada tanah dan jiwa.

Pihak diplomatik berusaha keras untuk meredakan konflik, tetapi kesulitan muncul dalam mencapai kesepakatan yang adil. Kedua belah pihak saling bersumpah untuk mempertahankan wilayahnya, memperumit upaya perdamaian. Dunia internasional menahan napas, khawatir bahwa eskalasi konflik ini dapat memicu dampak global yang tidak terduga.

Sementara itu, harapan untuk perdamaian masih menyala di antara warga yang lelah. Beberapa kelompok masyarakat mencoba memediasi dan menggalang dukungan untuk solusi damai. Namun, situasi perang antara wilayah Barat dan Timur terus menjadi tantangan yang sulit dipecahkan, dengan pertanyaan besar tentang masa depan kedua wilayah yang menggantung di udara.

Dalam kegelapan, sunyi malam dipecah oleh kehadiran pasukan wilayah Timur yang datang secara tiba-tiba. Warga sipil terbangun oleh suara perlahan langkah pasukan, dan sebelum mereka menyadari, beberapa di antara mereka telah disandera sebagai bentuk kekuatan dan kendali.

"Semuanya, lari!" Doyoung berteriak nyaring, menggandeng lengan anak-anak yang lebih kecil darinya untuk ikut melarikan diri dari sergapan tentara Timur.

Nampak ratapan miris dari berbagai keluarga, sebab terpisah dari orang-orang yang mereka cintai. Seseorang yang tiba-tiba menghilang menjadi bayangan teror yang menggantung di atas komunitas yang dulu damai. Warga sipil, yang sebelumnya hidup dalam ketenangan, kini terjebak dalam ketidakpastian dan kekhawatiran akan nasib mereka.

Doyoung percaya semuanya akan segera berakhir, jika mereka bertahan lebih lama sebentar saja.

Pria mungil itu berhasil menemukan tempat persembunyian kecil yang sudah ramai ditempati oleh warga sipil barat. Doyoung bernapas lega sesaat ketika menemukan beberapa temannya juga ternyata berada di sana.

Hingga teriakan seorang anak kecil membuat jantungnya kembali berdetak kencang "TIDAK! LEPASKAN AKU!" gadis kecil itu berteriak sambil terisak. Sungguh ironi bahkan anak sekecil itu tetap dipukul rata menjadi tawanan tentara-tentara Timur yang keji.

"Hey, Eva terlalu kecil untuk menjadi sandera tentara Timur, tolong lakukanlah sesuatu" ucap Doyoung.

Namun semua orang seakan buta dan tuli, saat ini keselamatan diri sendiri adalah yang paling utama. Doyoung benar-benar kehabisan kata, hatinya meringis melihat anak sekecil itu harus berpisah dengan orangtuanya dan berakhir menjadi sandera.

"Jungwon, tolong sampaikan permintaan maaf ku pada kak Junkyu."

Kedua mata Jungwon membelak saat melihat Doyoung beranjak dari duduknya "Kim Doyoung jangan gila! Kau tidak akan menyerahkan dirimu sendiri kan?"

Persis seperti dugaan Jungwon, ia melangkahkan kakinya dengan tegas keluar dari persembunyian "Apa kalian semua tidak punya hati hah?!" Satu kalimatnya berhasil mengalihkan seluruh atensi tentara wilayah Timur yang berada di sekitar tempat tersebut.

Menghasilkkan kekehan geli dari sekumpulan orang-orang besar itu "wah wah lihat, berani sekali kelinci kecil ini masuk ke dalam kandang singa."

"Tolong, lepaskan anak-anak kecil itu. Mereka masih terlalu belia untuk kalian perbudak, apa kalian benar-benar tidak punya empati?"

"Cih, kenapa juga kami harus memiliki empati untuk kaum sepertimu" tangan besar tentara itu siap melayangkan pukulan tepat di wajah Doyoung.

"Ricky, berhenti."

Suara berat sang letnan menghentikan pergerakan tentara tersebut, tentu saja ucapannya itu memicu pertanyaan dari benak rekan-rekannya.

"Lepaskan seluruh tawanan anak-anak di bawah umur" ucapannya bagai perintah mutlak, dengan sorot mata setajam serigala yang seakan mampu menembus kegelapan.

Doyoung cukup terkejut dengan penuturan tiba-tiba itu, apa letnan ini tidak terima jika dikatai tidak punya empati? Namun setidaknya perasaannya sedikit lega. Anak-anak kecil itu tidak jadi berpisah dengan orangtuanya dan merasakan kerasanya perbudakan.

"Terima kas—"

"Dan sebagai gantinya....." letnan itu menunjuk lurus ke arah Doyoung.

"....bawa dia ikut bersama kita ke wilayah Timur."

. . . . .

Kim Doyoung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Doyoung

Letnan Jenderal Park Jeongwoo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Letnan Jenderal
Park Jeongwoo

Disclaimer♡

Halo semua! Sebelumnya aku cuma mau ngingetin kalau cerita ini sepenuhnya cuma fiksi dan gak ada sangkut pautnya sama sejarah perang dunia yang asli, semua latar kejadian, dll hanya setingan yaa. Anyway ini juga kebetulan book pertama aku jadi maaf kalau masih ada yang kurang, happy reading everyone<3

Burning Embers | JeongbbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang