Setelah Jeongwoo menarik Doyoung keluar dari keramaian, suasana di kamp tetap dipenuhi dengan bisik-bisik dan kecanggungan yang tersisa. Para petinggi wilayah Timur yang tadi berkumpul masih terkejut dengan tindakan mendadak Jeongwoo. Mereka saling bertukar pandang, tak percaya bahwa seorang letnan seperti Jeongwoo, tiba-tiba menunjukkan reaksi emosional.
Salah satu petinggi yang tadi dihina, mengusap darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena pukulan yang ia terima, tapi lebih karena penghinaan yang terasa jauh lebih berat. "Apa-apaan ini?" geramnya dengan suara yang penuh amarah, pandangannya liar mencari dukungan dari rekan-rekannya. "Seorang letnan berani menyerangku? Ini tak bisa dibiarkan!"
Orang-orang di sekitarnya hanya saling pandang, tak ada yang berani langsung bereaksi. Meskipun mereka tahu pangkat petinggi tersebut lebih tinggi, mereka juga tahu bahwa Jeongwoo memiliki reputasi yang menakutkan di medan perang. Mereka enggan melibatkan diri dalam konflik pribadi ini, apalagi mempertaruhkan hubungan dengan Jeongwoo.
Anton, yang menyaksikan dari jauh, berjalan mendekat, mendekati petinggi yang sedang marah tersebut. Dengan tenang dan sedikit senyum sinis di bibirnya, ia meletakkan tangannya di bahu pria itu. "Sudahlah," ucapnya dengan santai "Kau tahu Jeongwoo. Jika dia sudah memutuskan sesuatu, tak ada gunanya menantangnya sekarang. Lebih baik kau lupakan saja."
Petinggi itu menepis tangan Anton dengan kasar, jelas tidak puas dengan jawaban tersebut. "Lupakan? Kau ingin aku melupakan bagaimana seorang bawahanku mempermalukanku di depan semua orang?!"
Anton menatap pria itu dengan tatapan dingin, tak menunjukkan rasa takut atau simpati. "Kau tidak akan mendapatkan simpati di sini. Kau mungkin berkuasa, tapi orang-orang di sini tahu siapa Jeongwoo. Dan percayalah, mereka lebih takut pada dia daripada padamu. Jadi sebelum kau membuat keributan lebih besar, lebih baik kau berpikir ulang."
Petinggi itu terlihat ingin membalas, namun akhirnya hanya mendengus marah, menahan amarahnya. Dengan gemetar, ia mengumpulkan martabat yang tersisa dan bergegas pergi, meninggalkan kerumunan yang mulai memudar kembali ke rutinitas mereka. Anton memperhatikan kepergiannya dengan tatapan dingin, lalu menghela napas panjang.
"Jeongwoo, Jeongwoo," gumam Anton pada dirinya sendiri sambil berjalan kembali ke posisinya. "Apa yang kau lakukan kali ini?"
-
Jeongwoo menarik Doyoung dengan langkah cepat, tangannya masih mencengkeram erat pergelangan Doyoung seolah tak ingin melepaskannya. Mereka bergerak menjauh dari kerumunan, meninggalkan bisik-bisik dan tatapan heran di belakang mereka. Jeongwoo terus berjalan tanpa berkata sepatah kata pun, membawa Doyoung ke sudut area kamp yang lebih sepi, tersembunyi di balik tenda-tenda besar yang jarang dilalui.
Saat mereka akhirnya berhenti, napas Doyoung terasa berat, bukan karena kelelahan, tetapi karena perasaan yang campur aduk. Jeongwoo melepaskan cengkeramannya, namun tetap berdiri di depan Doyoung, tatapannya gelap dan penuh amarah.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Doyoung dengan suara bergetar, masih terguncang oleh kejadian tadi.
Jeongwoo tidak langsung menjawab. Ia mengangkat tangannya, meremas rambutnya yang berantakan, seolah sedang mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Kau tidak mendengar apa yang dia katakan padamu?" suaranya rendah, nyaris bergemuruh. "Orang itu... dia tidak pantas berkata begitu. Dia menghina-"
"Aku tahu," potong Doyoung, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdegup kencang. "Tapi dia adalah petinggi wilayah Timur. Kau seharusnya tidak-"
"Apa peduliku pada pangkatnya?" Jeongwoo membalas, nadanya penuh frustrasi. "Dia tidak bisa seenaknya menghina dan memperlakukanmu seperti itu di depanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Burning Embers | Jeongbby
Tarihi KurguDi tengah kekacauan perang dunia, Kim Doyoung, seorang warga sipil wilayah Barat yang menjadi sandera pihak Timur dan diperbudak di bagian dapur tentara, dipertemukan dengan Park Jeongwoo yang merupakan seorang Letnan Jenderal wilayah Timur. Meskipu...