28. Falling Tears

936 87 14
                                    

Pada jam istirahat, kue buatan Nara dibagi secara merata ke seluruh murid di kelas mereka dan Shella serta Azka sebagai dua pengecualian, karena mereka memaksa. Semuanya mengucapkan terima kasih mereka pada Nara, dan bahkan sebagian bertanya apakah kue tersebut dijual. Nara yang belum berpikir sejauh itu hanya dapat menjawab, "liat nanti, ya."

"Oh, gue tau kenapa rasanya familiar," kata Satya. "Lo gunain cokelat yang biasa kita beli di arkade, kan?"

Nara hanya tersenyum sembari memotong kue cokelat tersebut di atas mejanya. Satya membantunya meletakkan masing-masing potongan kue ke atas piring kertas dan membaginya ke teman-teman sekelas mereka.

"Itu cokelat terenak yang pernah gue coba," tukas Nara. "Tapi gue juga kaget sih, ternyata di kue pun rasanya tetep enak."

"Menurut gue, itu karena lo yang jago bikin kuenya."

Nara hanya berharap rambut pendeknya berhasil menutupi kedua telinganya karena mereka sudah berubah warna menjadi merah bagaikan tomat sekarang.

Dia meletakkan bagian terakhir di atas piring kertas--bagian miliknya. Namun belum sempat dia memasukkan kue tersebut ke dalam mulut, seorang teman sekelas mereka berseru bahwa dia belum mendapatkan jatah.

"Kenapa nggak bilang dari tadi?!" gerutu Nara kesal.

"Ya, maap," ucap siswa itu.

"Yaudah, nih." Nara menyerahkan piring kertas miliknya pada lelaki itu, kendati dia sebenarnya sedikit kecewa sebab dia sendiri pun tidak dapat menyangkal bahwa dia ingin ikut mencoba kue cokelat buatannya.

"Lo makan aja punya gue," kata Satya, memberikan piring kertasnya pada Nara. Potongan kue Satya belum sepenuhnya habis, bahkan baru sedikit sekali yang dia makan.

Nara memperhatikan piring tersebut sejenak, kemudian dia menengadah. "Lo... suka, kan? Apa kemanisan kuenya? Duh, mungkin gue masukin terlalu banyak gula."

Satya menggeleng dengan cepat. "Nggak kok! It's perfect. Gue emang lambat aja makannya. Tapi kalo lo mau, kita bisa bagi dua. Kokinya juga berhak nyobain karyanya dong. Ya, kan?"

Gadis itu mendengus dan tertawa. "Hm. Okay."

Mereka duduk berhadapan dan memakan kue itu bersama. Nara bercerita tentang apa saja yang terjadi di sekolah selama Satya diskors. Tugas-tugas. Guru-guru. Jayan dan Azka. Satya pun terlihat begitu tertarik dengan semua cerita tersebut dan menyimaknya dengan seksama. Nara sengaja tidak menyebutkan segala hal yang berhubungan dengan kasus di kelab itu--tentang rumor dan gosip yang beredar, karena dia tidak ingin mengingatnya dan dia yakin Satya sendiri sudah lelah mendengar hal yang sama itu berulang-ulang kali.

Seminggu tidak bertemu dengannya, Nara selalu merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Satya. Pada liburan semester lalu, mata Satya sedikit membengkak, sementara sekarang, dia terlihat lebih... kurus.

Hati Nara seperti terhimpit besi. Dadanya terasa sakit.

Apa sesuatu terjadi selama satu minggu itu? batinnya.

Usai melahap habis kue cokelat mereka, Nara dan Satya mengumpulkan semua piring kertas dan sampah murid-murid kelas mereka untuk langsung membuangnya ke tempat sampah besar di belakang sekolah. Barulah sekarang dia sadar bahwa perayaan kedatangan Satya menghabiskan cukup banyak peralatan makan sekali pakai.

Setelah menyelesaikan urusan mereka itu, Nara dan Satya mampir ke wastafel taman belakang sekolah untuk mencuci tangan mereka. Taman belakang sekolah sering kali sepi, termasuk hari itu. Karena posisinya yang cukup jauh dari kerumunan para murid saat sedang jam istirahat, tidak ada suara gaduh yang memusingkan kepala. Yang ada di sana ialah hembusan angin siang hari ketika awan tengah menyelimuti teriknya surya, dan mengalirnya air segar dari dalam keran. Lantas itulah mengapa, taman belakang sekolah biasa digunakan oleh para murid yang sedang ingin menyendiri.

To the Moon and Back [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang