Di sebuah desa yang letaknya sangat jauh dari pusat kota, hampir seluruh warganya mengais rezeki dengan bertani dan berkebun. Hamparan sawah mendominasi di banding rumah warga, jumlah penduduk di desa itu memang tergolong sedikit dan dari tahun ke tahun ada beberapa warga yang memutuskan untuk berpindah ke desa lain atau kota karena sarana dan prasarana di desa itu sangat kurang bahkan jika mereka ingin pergi berobat maka mereka harus menempuh perjalanan ke desa seberang yang jaraknya lumayan jauh, desa itu termasuk golongan daerah tertinggal. Namun ada juga yang memilih tetap bertahan di desa karena merasa tidak sanggup meninggalkan kampung halaman dan bertahan hidup dengan mengandalkan hasil panen padi serta kebun mereka.
“Joko, tolong ke sini sebentar,” suara itu membuat salah seorang pria yang berumur kisaran 30an menoleh ke arah sumber suara, meletakkan karung beras yang ia pikul ke lantai.
“Dalem Abi,” Joko membungkukkan sedikit badannya pada pria tua yang menginjak umur 50 tahun.
“Nanti tolong setelah mengantar beras ke kota, kamu mampir membeli lampu dan memasangnya di perempatan jalan depan dan juga lampu masjid,” titah pria yang di panggil Abi itu.
Joko mengangguk patuh, “nggeh, siap Abi. Ada lagi Abi? Atau Umi Laksmi mau titip sesuatu di kota?”
“Aku, Abi buku tulis Raras sudah habis, besok Raras kan sudah masuk sekolah,” seorang gadis cantik berusia 17 tahun muncul begitu saja dari dalam rumah.
Joko melihat kedatangan Raras putri semata wayang dari seorang Aris Hendrawan, terkesima atas kecantikan alami dari seorang gadis belia kini bergelut manja di lengan sang ayah. Andai saja Joko belum menikah, ia akan rela menunggu Raras lulus sekolah untuk mempersunting gadis itu namun sayang Joko telah memiliki istri dan anak yang masih balita. Joko mengusir pikiran itu, ia tidak boleh sampai berpikir aneh lagi.
“Sama coklat juga mas Joko, boleh kan Abi?” bujuk rayu Raras. Aris mengangguk mengiyakan sontak Raras menjadi senang, “suwun Abi, sama itu mas Joko beliin buat dedek Mbul juga,” dedek Mbul yang dimaksud Raras adalah anak Joko.
“Bulan belum bisa makan coklat, dek Raras,” jawab Joko memasang ekspresi gemas.
“Terserah saja kalau begitu, bubur juga boleh kan Mbul sudah bisa makan atau susu, pokoknya itu yah mas Joko ndak boleh protes, apalagi Abi juga setuju-setuju saja,”
Aris memberikan uang pada Joko untuk membeli lampu dan juga buku tulis serta pesanan Raras lainnya. Aris Hendrawan terkenal sebagai orang yang dermawan dan memiliki berhektar-hektar sawah dan kebun. Dengan kekayaan yang Aris miliki, telah banyak yang ia sumbangkan untuk pembangunan desanya seperti memperbaiki jalan, membangun masjid serta membantu beberapa warga yang membutuhkan dengan menggarap sawahnya yang 80% hasilnya di nikmati oleh warga tersebut ia hanya mendapat 20% saja dan Aris merasa itu sudah cukup. Dengan kebaikan dari Aris, seluruh warga desa sangat menghormatinya dan Aris pun ditunjuk sebagai kepala desa oleh warga.
Aris hanya memiliki seorang anak saja yang diberi nama Raras Keshwari yang memiliki arti gadis cantik penyejuk keluarga. Sesuai dengan namanya, Raras memiliki paras cantik alami serta sifatnya yang membuat semua orang senang. Raras sama baiknya dengan orang tuanya, suka membantu dan tidak pernah tega melihat orang-orang kesulitan. Setiap hari pukul 3 sore, Raras akan berkumpul di masjid untuk mengajar anak-anak di desanya mengaji bersama dengan sang ayah dan juga beberapa pemuda-pemudi desa. Seperti sekarang ini, Raras dengan telaten dan sabar mengenalkan huruf Hijaiyah pada satu anak yang baru saja bergabung belajar mengaji.
“Mbak Lalas, Alif capek,” keluh anak kecil berpeci putih, bocah yang sedang diajar oleh Raras.
Raras tersenyum lembut mengusap pipi tembam Alif, “baik lah, kalau begitu belajar ngajinya sampai di sini dulu, besok Alif sudah harus belajar hafal huruf Hijaiyah, oke?”
Alif menganggukkan kepalanya lucu, badan kecilnya mendekati Raras dan meletakkan kepalanya di paha Raras.
“Alif ngantuk,” Raras terkekeh pelan. Alif usianya baru menginjak empat tahun, ibu Alif menitipkan secara khusus anaknya pada Raras, apalagi kedekatan antara Raras dan Alif cukup dekat sebab jarak rumah mereka hanya beberapa langkah saja maka dari itu Raras sering bermain dengan Alif.
Pukul 5 sore para anak-anak telah pulang ke rumah masing-masing begitu pula dengan para pengajar lainnya, Raras menggendong tubuh mungil Alif yang tertidur.
“Abi, Raras pulang duluan yah, kasihan Alif,”
Aris tersenyum mengusap wajah Alif yang terlelap dalam rengkuhan putrinya.
“Baik lah, hati-hati di jalan, Nduk,”
Raras meraih punggung tangan sang ayah untuk berpamitan. Dengan langkah pelan, Raras berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah. Raras tersenyum ramah bahkan tak sungkan menyapa di kala berpapasan dengan orang-orang. Hingga satu mobil mewah berhenti, Raras mengernyit bingung melihat mobil mewah itu, suatu hal yang langka karena selama ini belum pernah ada mobil semewah itu memasuki desanya.
Dua orang pria berbeda generasi turun dari mobil. Raras memerhatikan dua wajah yang kini berada di hadapannya. Raras sempat terkesima melihat satu pria muda yang memiliki wajah tampan, selama ini ia hanya sering melihat wajah tampan pria dibalik layar televisi. Sebuah dehaman membuat lamunan Raras terusik dan memasang wajah gugup karena malu.
“Maaf mengganggu, kami ingin bertemu dengan bapak Aris Hendrawan, apakah kamu tahu tempat tinggalnya?” tanya pria itu.
“Ah, iya tahu, saya tahu, bapak terus saja nanti berhenti di depan rumah berwarna hijau yang ada pondok kecil di pekarangan rumah,” jawab Raras.
“Baik lah, terimakasih, maaf, kalau kamu nak tinggal di mana? Mungkin bisa kami antar kasihan adik kamu,” pria berusia hampir seumuran dengan ayah Raras akhirnya membuka suara sedari tadi diam.
“Tidak usah pak, saya bisa berjalan kaki,” tolak Raras.
Tanpa kata lagi, dua pria tersebut akhirnya pamit sedangkan Raras menghela napasnya berbalik badan kembali ke masjid memberi tahu sang ayah bila ada yang mencarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang Tak Usai
ChickLitKisah asmara gadis desa yang bernama Raras Keshwari dengan pebisnis muda yang bernama Abrisam Prince Mahaprana.