Frinka melangkah ragu memasuki sekolah. Kaki kanannya melangkah ke depan, namun didetik selanjutnya kaki kanan kembali bersebelahan dengan kaki kirinya.
Dengan kerutan dalam di keningnya, Frinka bergumam "iya, enggak, iya, enggak"
Untung saja, hari ini dia berangkat pagi sehingga sekolah masih sepi. Bahkan belum ada seorang pun selain dirinya.
Untuk kesekian kalinya Frinka memandang kakinya dan melangkahkan kaki kanan ke depan.
Tepukan ringan di bahunya membuat Frinka menghentikan gerakan kakinya dan beralih menoleh ke belakang.
Menghirup nafas secara diam - diam dan membuat mukanya seakan terlihat datar.
"Hei" sapanya, "Lo ngapain, Ka?"
Frinka menghembuskan nafas samar. Dia lega mengetahui bahwa orang itu Gavin bukannya Azkan.
Mengembalikan muka datarnya, Frinka menaikkan sebelas alisnya.
Gavin yang mengerti bahwa tidak akan mendapat jawaban apapun dari Frinka ikut menaikkan alisnya seraya mengira apa yang dilakukannya.
"Ke kelas, yuk?" Ajak Gavin.
Lagi - lagi Frinka hanya menaikkan alisnya dan berlalu begitu saja.
Gavin terkekeh melihat kelakuan Frinka lalu segera menyusul.
"Ninggal," Gavin mengerucutkan bibir dan meletakkan lengannya di bahu Frinka.
Dia memutar bola mata tanpa membalas ucapan Gavin. Frinka menaik - naikkan bahu berusaha menyingkirkan lengan Gavin.
Namun, Gavin hanya terkekeh dan mengeratkan lengannya di bahu Frinka.
"Kantin dulu, yuk, sebelum kelas" ajak Gavin.
Karena tidak bisa langsung berjalan tanpa menanggapi ucapan Gavin seperti biasanya, Frinka akhirnya membuka mulut malas.
"Males" ucapnya singkat.
"Ayolah," ucap Gavin. "Lo belum makan kan?"
"Udah"
"Kalau gitu, temenin gue makan" Gavin menaik turunkan alisnya.
Sedangkan Frinka melebarkan matanya tidak percaya.
"Makan sama cogan itu berkah lho, Ka. Jarang nih gue minta ditemenin makan sama cewek" ucap Gavin dengan percaya diri.
Frinka makin melebarkan matanya mendegar itu. Cowok disebelahnya ini sangat amat percaya diri. Dan itu, uh, menggelikan.
"Enggak, males banget," ucap Frinka seadanya.
Gavin memegang dadanya. "Oh, gue ditolak"
Tanpa sadar senyum kecil Frinka terbit walau sangat kecil dan samar.
*
Wajah Frinka sudah sangat bertekuk - tekuk. Dirinya kini duduk di kantin dalam satu meja dan berseberangan dengan Gavin.
Cowok alay, menggelikan, dan super percaya diri yang mengganggu hidup Frinka yang kelewat datar.
"Ish, diem mulu," ucap Gavin setelah meminum es teh manis di depannya. "Itu diminum kali, kasihan abang esnya udah buat"
Melihat tidak adanya pergerakan dari Frinka, Gavin mendorong gelas es teh manis mendekat ke Frinka.
"Mau minum sendiri atau gue minumin, eh?" Gavin tersenyum lebar dengan kedua alis yang dinaik turunkan.
Frinka melebarkan matanya mendapat pertanyaan ambigu dari Gavin.
Akhirnya Frinka meraih gelas es teh dengan kesal. Lagi pula, dia tidak ingin Gavin benar - benar meminumkannya. Pasti sangat menjijikan. Ya, pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real
Teen FictionApapun yang ada di hidup Frinka hanyalah kepalsuan dan penganggu. Mulai dari sekumpulan teman busuk yang hanya memasang kepalsuan sebagai tameng sampai senyum sinis dan tatapan tajam yang Frinka pasang sebagai penutup butiran air mata yang mengalir...