Bel perunggu berbunyi ketika seseorang melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko buku tua kecil di tengah kota, letaknya berada di persimpangan Jalan Andana.
Sebuah papan nama dari kayu berukiran "Toko Buku Kita" terpampang jelas di atas pintu masuk.
Toko buku yang penuh akan beragam jenis buku dari berbagai tahun memberikan suasana nyaman bagi siapapun karena pemiliknya yang ramah. Namun, tempat membaca yang minim menjadi sedikit catatan untuk kedepannya. Aroma khas buku apalagi buku lama begitu menggoda.
"Selamat sore, Pak. Apakah komik Iopas keluaran terbaru sudah ada?" tanya seorang remaja yang menggunakan earphone di telinganya.
"Sudah Maja. Carilah di rak bagian komik paling kiri atas," ujar Pak Nada — pemilik toko buku Tangga Nada yang masih fokus membersihkan buku lama dengan kemoceng keramatnya itu.
"Oh oke," balasnya gembira. Ia pun berjalan menuju rak tinggi paling belakang sambil bersenandung ria.
Surga ada di depan mata, kagumnya berulang kali di saat melihat berbagai macam serial komik tersusun rapi memenuhi rak. Lantas ia mengamati satu persatu judul komik sembari mengingat warna khas judulnya.
"Nah ini dia! Gila lanjutannya seru melebihi ekspektasiku," ungkapnya setelah membaca beberapa halaman awal. Ia pun mengambil tempat ternyaman, duduk di kursi kecil dan menyilangkan kaki membelakangi rak komik.
Di ruang baca sederhana, hanya ada sebuah meja panjang yang telah dipenuhi dengan kertas-kertas berserakan kerena seseorang. Dia adalah Azas, gadis berusia 19 tahun dengan penampilan sedikit berantakan. Mata panda yang menghiasi wajahnya, bibir pucat, dan gaya rambut kuncir kuda seadanya.
Di waktu sepi ini adalah waktunya. Ia sudah mengamati toko ini selama satu bulan penuh, hanya untuk novel pertamanya. Ditemani secangkir kopi panas yang sudah habis untuk ketiga kalinya. Tangannya yang lentik dengan lihai menorehkan tinta hitam di kertas polos menciptakan aksara Cina kuno. Menghela napas lega karena satu pekerjaan telah selesai.
"Rén de yī shēng, méi yǒu yī wèi de kǔ, méi yǒu yǒng yuǎn de tòng; méi yǒu mài bù guò de kǎn, méi yǒu chuǎng bù guò de guān."
"Wah, tulisan yang sangat indah. Apa artinya?" tanya gadis asing dengan rambut pirang terurai yang menutupi hampir seluruh wajahnya membuat Azas tersentak dan tanpa sengaja menyenggol tinta di sebelah kirinya sehingga lengan baju putih pun ternodai.
"Oh my God! Maafkan aku mba," lirihnya. Azas yang melihat gadis itu menggigit bibirnya pun segera menenangkan. Ia pun berucap dengan senyuman palsu, "Iya gak ap-"
Bruk!
"-ukh. Oh Shit!" ringis Azas memegang kepalanya, menahan rasa nyeri akibat kejatuhan tumpukan buku. Kekacauan pun terjadi, padahal ia baru ingin mengatakan satu kalimat pada hari ini. Oh ya Tuhan! Seorang pria berkacamata tebal membawa sebuah kardus besar penuh berisi tumpukan buku itu tersenggol oleh gadis pirang yang berjalan mundur. Kecelakaan kecil pun tidak terduga terjadi siang hari itu.
"Eh suara apa itu?" guman Maja melihat sekitar. Ia pun mencari sumber suara, dan menemukan perempuan berkemeja putih penuh noda hitam, seorang pria dan gadis pirang sedang membereskan buku-buku berserakan di lantai.
"Maaf," ucap mereka bertiga serentak.
"Hahaha," tawa Maja tiba-tiba dengan tidak sopannya memecah keheningan. Ia pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sial! Memalukan sekali kau Maja.
"Maaf sini boleh aku bantu."
Hari itu adalah pertemuan pertama mereka. Jadwal Azas yang berantakan pun dimulai. Namun, cerita singkat baru saja tercipta, hasil garis takdir yang telah lama ada.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPELESS #C3
Short StoryKutorehkan tinta hitam di atas kertas kosong yang berserakan dengan rangkaian alur cerita klasik tentang hidup. ••• Ruang hampa tanpa arti. Pena tajam mengiris nadi. Delusi yang menyeruak bagai api. Membara tanpa henti. Namun, semua hanya tentang...