Kalau kamu sudah muak dengan kisah-kisah, huruf-huruf, dan kalimat yang saling menjalin itu, maka kamu bukan lagi gadis yang pernah kulihat mematut diri ke cermin dan ketakutan akan wujudnya sendiri, atau seorang gadis yang bolak-balik menatapi hasil tulisnya dengan perasaan campur aduk.
Kamu berubah, menjadi sesuatu yang pernah ku bayangkan, menjadi sesuatu yang asing.
Aku ingatkan lagi; pernah kita menjadi pecandu kisah-kisah ini sembari penuh harap menjadi bagian darinya, meski diam-diam batin dan cara pandangmu lagi-lagi mengingatkan kalau kita memang begitu. Lagi-lagi berjuang menyakini mu kalau kita sudah menjadi bagian dari kisah kenalanmu sendiri, dan menjadi peran utama dari kehidupan masing-masing.
Tapi kamu urung merasa puas. Kamu menuntut lebih, lantas berjuang menjadi pusat perhatian meski kakimu diam-diam gemetar dan jantungmu seolah nyaris pecah ditempat.
Kamu menutup telinga dari gumaman remaja yang sebaya denganmu, rahangmu sering sakit karena terlalu lama tersenyum diantara kerumunan yang dahulu kamu sebut 'anak gaul'.
Kamu mulai rajin mematut diri dihadapan cermin sambil berias dengan alat kecantikan bermerk baru—yang kamu beli dengan uang saku, lantaran dahulu kamu sibuk di perpustakaan—yang mana dahulu kamu amat jauhi.
Kamu belajar mati-matian membaca materi yang berada diluar kemampuanmu, dengan drastis kamu meninggalkan cerita-cerita yang dahulu kamu luar biasa pertahanan.
Perlahan-lahan kamu mengusirku jauh-jauh dari hidupmu. Awalnya kupikir kamu hanya ingin menambah kenalan baru, namun aku perlahan lupa siapa aku.
Satu hari ku sapa kamu di persimpangan jalan raya, kamu mengernyitkan alis dengan rupa dan kepribadian yang tak pernah kamu kenalkan denganku. Kamu kebingungan, terlihat sangat konyol.
Kamu bingung, linglung, dan tersesat sesaat kita bertemu. Kamu meminta maaf, dan kamu memintaku memperkenalkan diri. Akulah yang terlihat tersesat sekarang, aku menggeleng, berpura-pura aku keliru.
Kemudian aku pergi, rasanya amat kosong dan aku bingung sendiri mesti bagaimana.
Sesaat aku lewat, kamu menggerutu. Aku dengar makian dan sumpah serapahmu tentang penampilanku, tentang betapa anehnya makhluk sepertiku eksis di duniamu.
Waktu berlalu, dan kita berjumpa lagi. Aku tersenyum, dan kita lagi-lagi ditemukan di salah satu anak tangga sepi dengan kopi susu murah dari lemari pendingin.
Nostalgia katamu, kemudian kita kembali menatapi persimpangan kosong dan melanjutkan pembicaraan tentang pangeran apel sepanjang jalan menuju perpustakaan.
Perlahan-lahan kita menjadi tambah dekat dari yang sebelumnya, kamu kembali.
Sampai satu malam kamu berujar mau jadi bulan, "padahal bulan itu bopeng-bopeng 'loh, aslinya. Tapi kemana-mana dia tetep di sanjung," Keluhmu akan pubertasmu, tapi kamu tersenyum ceria.
Lantas ku perkenalkan kamu dengan kisah-kisah baru, kamu kegirangan, membuatku sulit berhenti bercerita agar kebahagiaan tidak luntur pada jiwamu.
Esok hari, kamu tinggal sebuah raga berbalut kain kafan dan hendak ditelan bumi—dimakamkan. Sudah sejak jauh-jauh hari kamu membuat perjanjian dengan salah satu rumah sakit untuk mendonorkan organ mu yang masih layak. Seolah sudah sejak lama kamu menanti saat-saat ini.
Serangan jantung, kata mereka.
"Tidak apa-apa," katamu, terlihat ikhlas dan agak bersemangat.
*27/12/2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Terbuang; Biarlah Begitu
RandomKadang melamun, lantas tiba-tiba mengetik sesuatu, begitu sadar sudah selesai. Kumpulan cerpen-cerpen yang ditulis ketika melamun. Sangking random-nya kumpulan cerpen ini, Saia sampai gak sadar penyimpanan Saia sudah penuh.