Seperti permulaan sebuah kisah, aku akan menceritakan semua perjalanan menakjubkan yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Perkenalkan nama ku Jenggala, teman-teman sebaya biasa memanggilku 'gala' atau 'la.' Tetapi berbeda dengan orang tuaku mereka tidak suka dengan panggilan singkat itu. Bagi mereka namaku dipikirkan dan dibuat dengan penuh makna, sehingga memanggil namaku secara utuh adalah sebuah keharusan.
Ayah selalu mengatakan 'Jenggala' berarti ambisi yang kuat, selalu menginginkan sebuah keberhasilan. Begitu juga Mama, saat kecil mereka sering menceritakan arti dibalik nama itu, seolah-olah mereka mempunyai keinginan agar kelak aku dapat tumbuh menjadi apa yang mereka harapkan sesuai dengan nama itu. Setidaknya aku pernah menyukai gagasan itu sebelum kejadian yang benar-benar mengerikan merenggut apa arti sebuah ambisi yang mereka sering tanamkan dulu. Aku anak laki-laki tunggal dari keluarga yang berkecukupan. Saat ini usiaku 17 tahun, aku pindah ke kota saat menginjak kelas satu bangku SMA.
Dari kecil aku justru lebih banyak menghabiskan waktu bersama nenek di desa. Di sana rumah kami jauh lebih besar, dengan dekorasi antik ala kerajaan kuno disertai dengan pemandangan danau dan juga pohon-pohon yang akarnya menggantung tinggi. Jika boleh jujur, aku lebih senang tinggal di desa bersama nenek. Alasanya adalah selain rumah kami lebih besar, udara dan pemandangan disana juga membuat tenang. Sejak aku kecil Ayah sering berpindah-pindah tempat untuk bekerja sesuai permintaan dari atasan. Ayahku seorang BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Ayahku bekerja dibagian ahli tanah, gempa, dan getaran. Jadi dimana pun terjadi gempa maka Ayah akan dipanggil untuk menganalisa getaran bumi bersama dengan timnya. Itulah mengapa sejak kecil, aku dan Ayah jarang memiliki waktu bersama.
Sementara Mama, ia adalah wanita karir, ia tidak senang jika hidup sebagai Ibu rumah tangga dan bergantung sepenuhnya pada penghasilan suami untuk menghidupi keluarga. Bagi Mama rumah tangga yang kuat harus dibangun dari peran dua orang yang porsi nya sama besar. Mamaku mantan penyiar radio nasional, setelah akhirnya pensiun tahun kemarin, alasanya karena banyak perusahaan radio saat ini menginginkan penyiar radio muda untuk memberikan siaran kepada publik.
Mama pensiun dari perusahaan radio nasional saat genap bekerja sebagai penyiar radio selama enam belas tahun. Ayah tidak mengizinkan Mama untuk bekerja lagi setelah pensiun. Pensiunnya Mama dari profesi sebagai penyiar menjadi faktor pendukung mengapa akhirnya aku pindah untuk melanjutkan pendidikan di kota.
Kata Ayah, saat ini Mama bisa menjagaku karena sudah pensiun dari pekerjaanya ketika Ayah harus sibuk keluar kota untuk melakukan risetnya, ditambah lagi usia nenek yang sudah menua. Ayah merasa bersalah jika terus menitipkanku kepada Nenek, padahal Nenek senang jika aku menemani nya di desa. Sebenarnya aku tidak suka menyebut rumah kami di desa dengan sebutan "desa" karena arsitektur dan juga interior bangunan rumah kami disana 100 kali jauh lebih mewah dan menarik daripada rumah kami di kota. Saat kecil aku sering menyebut rumah kami itu sebagai "kerajaan tengah hutan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenggala And The Lost City Of Nusantara
Science FictionKetika satu indra berhenti bekerja, ini akan memicu indra yang lain lebih peka. Disinilah aku sadar bahwa realitas tidak tunggal. Kejadian itu membawa ku berpetualang ke banyak sekali tempat menakjubkan yang tidak bisa dicapai oleh manusia dengan k...