BAB 2. Pahlawan

13 4 2
                                    

Aku hanya mengetahui kata pahlawan dari sejarah dan masa lalu. Tapi kini, aku merasakan kepahlawanan sejak bertemu denganmu.

#Ø3

Ini benar kompleks yang dimaksud Ryuga. Tetapi dimana rumahnya? Begitu banyak rumah dengan bentuk yang sama di sini. Aku mencoba menelisik satu persatu dengan mobilku ini. Sepi sekali. Persis seperti kompleksnya.

Ah, sepertinya rumah ini. Ada motor yang familiar terparkir di balik pagar hitam yang tinggi. Aku menghentikan mobilku di depan rumah itu. Tanganku gemetar, aku hanya ingin cepat-cepat keluar dari mobil dan masuk ke tempat yang lebih aman.

Ketika membuka pintu mobil, aku mengingat kembali kejadian sepuluh menit yang lalu. Hal itu membuatku refleks menutup mata. Ya Tuhan, jauhkan ingatan itu dari kepalaku.

Pagar hitam itu digembok. Aku tidak tahu itu di gembok atau tidak. Tapi yang pasti, ketika aku menarik pagar itu, terasa berat dan mengganjal. Namun ada sebuah tombol di dekatnya, aku menekan tombol itu sambil berbicara dengan nafas terengah.

"Ryu..."

Ajaibnya, tak berselang lama terdengar bunyi 'click yang menandakan pagar terbuka. Aku menariknya sekuat tenaga, lalu menutupnya kembali. Seperti rumah sendiri, aku menerobos masuk melewati halaman rumahnya yang terparkir sebuah motor besar berwarna hitam.

Aku mengetuk pintu sambil menoleh ke belakang dengan was-was. Aku tahu ada tombol untuk bell di sana, tapi itu lama. Akan lebih puas jika menggebrak pintu rumah yang penghuninya entah ada dimana.

Pintu itu terbuka, ada wajah Ryuga dengan senyum tipisnya menyambutku ramah. Aku memeluk dada bidang itu, erat sekali sampai tubuhnya terdorong ke dalam. Aku mendorong pintu rumahnya dengan kakiku hingga tertutup sempurna.

"Hey, lo kenapa?" tanya nya khawatir.

Semakin ditanya, aku semakin mengeratkan pelukanku. Satu menit kemudian, aku merasakan lengan kekarnya melingkar di pinggangku dengan ragu-ragu. Nyaman sekali.

"Sini, gue bikinin minum, ya?" tawarnya seperti mengerti kondisiku bagaimana.

Aku tak punya pilihan lain selain duduk di pantry yang menghadap langsung ke dapur. Ryuga mengambilkan segelas air untukku, lalu duduk di sebelahku. Aku, dengan tangan gemetar memegang gelas yang Ryuga berikan, lalu meminumnya sedikit.

"Udah tenang?" Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Gue nggak maksa sih kalo lo nggak mau cerita juga," katanya basa-basi.

"Tapi kalo lo mau cerita, gue disini."

Aku menarik napasku dalam-dalam, kemudian menatap wajah Ryuga. Lelaki itu memperhatikanku dengan seksama, aku refleks menunduk sambil memainkan gelas di tanganku yang airnya sudah berkurang.

"Gue punya pacar, baru jalan dua minggu sih, tapi minggu ini udah putus," ucapku sebagai pembuka.

"Gue bucin banget dulu sama dia. Sampe gue nggak sadar kalo dia doyan selingkuh. Dia udah beberapa kali keciduk selingkuh sama temennya sendiri, tapi tetep aja ngejar-ngejar gue."

"Muak banget gue sama segala dramanya. Terus tadi, pas gue lagi di jalan, dia tiba-tiba berhentiin motornya di depan mobil gue. Habis itu gedor-gedor kaca mobil gue."

"Dia bilang mau nunjukin sesuatu, tapi ternyata itu akal-akalan dia biar gue keluar dari mobil. Terus habis itu..."

Aku menyentuh bahuku, "habis itu..."

Ryuga menggeleng, ia meraih tubuhku, lalu mendekap tubuhnya sambil menepuk-nepuk perlahan. "Shhh, udah, gue disini. Dia nggak akan berani masuk rumah gue."

"Tapi gue takut, Ryu."

"Jangan takut, lo aja bisa lepasin diri dari dia tadi," godanya padaku.

"Ah, itu. Kebetulan aja sih," kataku sembari mengusap pipiku yang basah.

"Kebetulan gimana? Dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan. Kalah kata novel yang gue baca, kebetulan itu adalah takdir yang menyamar," Ryuga mengoceh panjang.

Aku tersenyum tipis, lantas menjawab ucapannya. "Gue tendang benda pusaka dia."

Ryuga membuka mulutnya terkejut, ia melotot padaku. "Hah? Serius?"

Aku mengangguk polos, "gue bilang, kalo dia temuin gue lagi, gue bakal sunatin dia untuk kedua kalinya."

Lelaki di hadapanku tertawa renyah, dia mencubit kedua pipiku gemas. "Aduh, lo bisa-bisanya kepikiran. Good girl."

Good girl katanya?

Berani sekali dia menyentuh wajahku, lalu mengatakan hal seperti itu yang membuat pipiku bersemu.

"Ih, yang penting gue kabur kan."

"Iya sih, terus kok lo bisa tau ini rumah gue?" tanya Ryuga lagi. Entah mengapa dia bawel sekali pada pertemuan kedua ini.

"Karena ada motor lo di teras."

"Kalo ternyata itu bukan motor gue gimana? Dan kalo rumah ini bukan rumah gue gimana?" Diberi pertanyaan sebanyak itu, aku mendadak gugup.

"Ya... Mana gue tau... Pokoknya gue pengen cepet-cepet keluar dari mobil, terus masuk ke rumah biar aman."

"Kalo ternyata lo tiba-tiba meluk orang asing terus di dorong masuk ke rumah habis itu—"

"IHHH, udahhh gue malu." Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Ryuga sialan!

"Eh, jangan bilang lo marah-marah ke gue tadi pagi itu gara-gara mantan lo?" Aku mengangguk dua kali sebagai jawaban.

"Ah kampret, jadi gara-gara mantan lo gue kena semprot."

"Sorryy," cicitku padanya.

"Awalnya gue marah sih. Tapi setelah tau kalo mantan lo modelan gitu, gue memaklumi."

"Makasih ya, Ryu. Lo udah jadi pahlawan gue," kataku sambil menatap netra legamnya.

Aku mendekatkan wajahku padanya. Lalu memegang satu tangannya dan menangkapnya diantara kedua telapak tanganku. Ryuga hanya terdiam menerima perlakuanku.

"Sebagai permintaan maaf dan terima kasih, gue mau ngajak lo jalan-jalan."

Dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi aku buru-buru menempelkan telunjukku di bibir tipisnya hingga mulutnya terkatup kembali. Aku menggeleng pelan.

"Jam berapapun itu, gue terima. Pokoknya besok."

Aku menjauhkan wajahku dari wajahnya, begitupun dengan telunjuk. "Deal?"

Ryuga mengangguk dengan senyumannya. Ah, menawan sekali.

• LOVEMBER •

Sejujurnya, aku lagi galau :(

LOVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang