-- 6 --

14 3 5
                                    

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Lari!

Begitu pintu ini terbuka, kau harus lari, Airi! Seperti yang kau lakukan dulu!

....

... Atau aku bisa menunggunya datang.

Sensei pasti akan datang. Selama aku tidak bersuara, aku akan aman di sini. Aku bisa percaya padanya, 'kan? Dia sudah berjanji padaku. Dia bahkan sedang berusaha melepasku dari mimpi buruk masa lalu. Sekarang pun pasti akan begitu, bukan?

....Dia akan menyelamatkanku dari manusia ini, kan?

Harapanmu terlalu tinggi, diriku.

𖥸


"Siapa ini?"

Penampakan tinggi besar menjulang tepat di depan mata. Airi–mengabaikan kakinya yang lemas dan napas tersenggal–mencoba menerobos sosok itu melalui celah sempit di antara lengan dan pintu lemari yang terbuka.

"Oh, tidak. Mau kemana kau, ha!?"

Airi meronta sekuat tenaga dari tangan yang berhasil menggagalkan aksi kaburnya. Tapi, tentu saja usahanya sia-sia. Tenaga manusia itu berkali-kali lipat lebih besar dari si gadis kecil. Ia masih terus berteriak. Meminta tolong, meminta dilepaskan. Nihil. Selain karena bahasanya yang tidak bisa dimengerti, orang itu juga tidak peduli.

"Sialan!!! Si Bajingan itu tidak ada di sini. Aku tidak bisa menghajar muka bangsatnya itu!" Ia menggeram. Sebelah tangannya menjambak rambut hitam panjang Airi, memaksa si gadis melihat mukanya yang merah padam dengan alis berkerut dalam. "Di mana dia?"

Airi masih melawan.

"Aku tanya, DI MANA DIA!?" Rambut Airi ditarik lebih kencang. Tangan yang tadi mencengkeram tangan, berpindah ke lehernya. Mencengkik kuat, menancapkan jari-jari kuku di sana dan membuat jeritan Airi terkalahkan oleh napas yang tertahan.

"TIDAK BERGUNA!" Dihempaskannya tubuh kecil itu ke sembarang arah. Pelipis Airi menghantam sudut konteiner keras. Sakit. Bisa dirasakan sesuatu hangat mengalir di pelipisnya. Tapi, Airi tidak memedulikan itu. Cepat-cepat ia merangkak mundur, sampai tak lagi ada ruang untuknya bergerak. Memberi kesempatan si pria menendang perutnya keras. Menjambak lagi rambut Airi dan melemparnya ke atas kasur, sambil mulai membuka bajunya sendiri.

Tidak!

Dia menarik kencang kaki Airi yang coba merangkak turun. Tamparan melayang karena perempuan itu takkunjung menutup mulut. "DIAM! SETIDAKNYA JADILAH BERGUNA SEDIKIT UNTUK MELAMPIASKAN KEKESALANKU!"

TIDAK! TIDAK MAU!

Lepaskan! LEPASKAN!

Pakaian Airi mulai ditanggal secara paksa satu persatu. Kalau pun ada yang tersisa, itu hanya atasannya yang dirobek kasar. Memamerkan dua buah dada ranumnya di depan si predator ganas. Sementara kakinya dibuka lebar-lebar, diangkat tinggi-tinggi hingga menyentuh hidung sampai selangkangannya sendiri terasa sakit. Airi memukul, menendang, menggigit, tapi bukannya terlepas, kebrutalan monster itu malah semakin menjadi-jadi.

Airi tidak bisa bernapas. Mulutnya megap-megap di antara mencoba bernapas dan menjerit tertahan dari rasa sakit dan perih luar biasa yang tahu-tahu menyerang bagian bawah tubuhnya. Cakaran si gadis di tangan yang mencekik lehernya takmenghasilkan reaksi apapun. Tubuhnya terus dihajar naik-turun. Derit kasur, desahan, geraman, berkecamuk di gendang telinga seperti guntur takberkesudahan.

Dan dia hanya bisa menangis.

Menangisi nasibnya, kesialannya.

Menangisi bintang-bintang harapan yang kini tercerai berai di atas lantai. Toples kaca yang mewadahinya turut pecah berkeping-keping. Persis seperti dirinya yang sekali lagi dihancurkan oleh monster yang sama, setelah seseorang mencoba membawanya ke langit tempat bintang kecil itu aslinya berada.

Dia terus menangis di antara rintih kesakitan. Menangisi keinginannya untuk diselamatkan, yang ternyata–sekali lagi–hanya sebuah lamunan di siang hari miliknya.

𖥸


Derap langkah menggema dengan tergesa-gesa di antara keramaian jalan kota yang padat. Sial! Sial! Sial! Kenapa jalanan harus macet parah sekarang!? Icarus harus sampai ke rumah secepat mungkin! Suara yang dia dengar di sambungan tadi jelas-jelas tidak menunjukkan hal yang baik-baik saja bagi Airi.

Tinggal satu kilometer lagi. Icarus menerobos lampu pejalan kaki yang masih merah. Pengendara mobil berseru marah lewat klaksonnya. Tapi, pria itu tak peduli. Pikirannya hanya satu. Keselamatan Airi. Larinya semakin kencang saat memasuki daerah perumahan. Semakin kelabakan ketika mendapati gerbang rumahnya tak lagi terkunci–lebih tepatnya dibuka secara paksa dan kasar. Pintu dan jendela pun bernasib sama.

"Airi!"

Icarus melesat masuk. Mengabaikan kekacauan yang ada di dalam rumahnya, takmengindahkan pecahan beling yang terinjak; terus berlari. Lantas, mendobrak salah satu pintu kamar yang ada. Kamar yang dia sediakan untuk Airi beristirahat dan mendapat kenyamanan.

"Ai–"

Suara si dokter mendadak tertahan di kerongkongan. Matanya membulat sempurna. Bergerak dari lantai yang berhamburan bintang-bintang dan toples pecah, ke lemari yang terbuka, kemudian ke kasur yang berantakan, hingga akhirnya manik merah itu berhenti di sosok yang meringkuk di sudut kamar. Memeluk kaki dengan tubuh gemetaran. "A ... Airi ...."

Yang dipanggil mengangkat wajah. Bisa Icarus lihat dengan jelas di ruangan berpenerangan cukup ini. Rambut kusut masai, tergerai menutupi setengah wajah yang bengkak matanya. Bekas kemerahan di leher, luka di sudut bibir, jejak darah dari kening hingga pipi, dan lebam di pergelangan kaki. Semuanya.

Termasuk cairan putih yang mengotori pangkal pahanya.

"Airi, kau–"

Mulut si gadis terbuka. Dengan suara lemah tak berdaya, sebuah kalimat mengalun merupa arwah yang kemudian menelusup ke pendengaran.

"Sensei ...."

.

.

"... Usotsuki."

.

.

.

.

"... Pembohong."

.

.

.

.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·


tbc

The Fear [ OCTP fic | Icarus Lazarescu x Airi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang