Pegangan Erat!

712 78 3
                                    

Mata Halilintar berkedut. Angin sejuk membuat netranya berkedip dengan cepat. Siklus itu terus berulang hingga membuat kedua bola matanya perih. Kalau sudah di sepeda motor, menahan kantuk itu susah!

Ia hampir terjungkal akibat tak mampu menahan kepala yang tertunduk dan terangkat. Sedikit perasaan malu hadir. Mungkin orang-orang berkendara di sekitar memperhatikan dirinya yang sedari tadi terus oleng dan hampir jatuh.

Tangannya mencengkram erat ujung jaket sang ayah yang berada paling depan sedang mengendarai sepeda motor.

Di tengah kesadarannya, Halilintar melihat sosok lebih muda duduk di tengah-tengah mereka tengah menatapnya. Kepala bocah itu sedikit menoleh guna memandangi wajah ngantuknya di bawah kaca helm yang tertutup.

"Apa?" tanya Halilintar ketus ketika melihat adiknya yang kini tersenyum-senyum.

"Hayolo, ketahuan ngantuk. Ayah liat, Kakak ketiduran lagi di motor," adu Taufan sambil cekikikan.

Mendengar itu Halilintar hanya mengerling sekilas sebelum memutus kontak mata mereka. Rasa kesal memenuhi isi hatinya setiap kali Taufan berusaha mengungkap sambil menunjuk ke arah wajahnya. Mencoba ingin membuatnya tertawa.

Padahal memang iya Halilintar mau ketawa.

"Jangan tidur, Kak. Nanti diomelin ayah."

Refleks gerakan Taufan selanjutnya memegang punggung tangan kanan-kiri Halilintar dan meletakkan di kedua pahanya, lalu menariknya agar bila Halilintar terpejam lagi tidak mudah jatuh ke belakang.

Mungkin singgah ke warung sebentar untuk membeli minuman akan membantunya terlepas dari rasa kantuk.

Padahal Halilintar tak pernah mencoba tidur larut malam. Ia akan diam sepanjang perjalanan karena membendung rasa lelah baik saat berangkat sekolah ataupun pulang ke rumah. Beruntung, ada Taufan yang memegangnya.

🦕🦕🦕

Itu dulu, saat Halilintar masih menjelma sebagai bocah SD dan belum bisa mengendarai sepeda motor. Kini keadaan sudah berbalik.

"Tin! Tin!"

Bunyi itu mengagetkan Halilintar seketika. Ia yang kesal pun tidak bisa menyalahkan pelaku yang membunyikan klakson karena motornya sendiri goyah hampir menabrak salah satu pengendara.

Sejenak mata melirik ke arah kaca spion sebelum mengambil lajur paling kiri agar tidak membahayakan yang lain.

Rematan jari seseorang di jaketnya cukup kuat. Orang itulah yang menjadi penyebab bagaimana tragedi klakson tadi terjadi. Bisa dibilang biang keladi di balik semua ini.

Remaja itu terlelap dibalik punggung berjaket hitam merah Halilintar. Sesekali matanya membelalak akibat kepala oleng kesana-kemari, serta bunyi klakson kendaraan yang cukup mengagetkannya.

Sama seperti waktu Halilintar masih SD dulu. Bocah itu molor di jalan. Kejadian di masa lalu kini telah terulang. Mengingatkan Halilintar pada mendiang sang ayah.

"Fan, Taufan! Bangun! Tadi hampir keserempet bapak-bapak, tahu nggak!"

Si empu nama dipanggil. Namun tidak ada tanda-tanda akan bangun sepenuhnya. Sedang mengumpulkan nyawa, namun susah. Tetap saja dia mengantuk. Seolah ada lem di kedua matanya.

Halilintar juga sering marah-marah, dan entah kenapa omelannya jadi cerewet saat mereka hanya di sepeda motor saja.

"Ngantuk. Kan dulu kakak juga sering ketiduran di motor sampai dimarahi ayah. Kenapa aku nggak boleh?"

Halilintar mendecak pelan. "Itu dulu. Lagian bentar lagi kamu harus bisa pakai motor sendiri."

"Nghh ... Nggak mau," Taufan menolak. Bocah itu justru mengeratkan pelukannya dari belakang sambil menyandarkan sisi kepalanya di punggung tegap sang kakak. Kedua matanya tersibak sayu, menunjukkan jelas bahwa ia sangat mengantuk.

Sementara Halilintar menahan mulutnya untuk tidak berkata kasar karena pelukan erat spontan dari Taufan yang membuat seluruh badannya merinding geli. Mana dilihat pengendara lain pula. Kan malu.

"Kenapa nggak mau? Kamu harus belajar naik motor sendiri kalau mau bisa kemana-mana. Kamu udah GEDE, udah SMA. Ya kali sampai aku nikah masih nganterin kamu tiap hari."

Taufan menutup mulutnya yang menguap lebar. Sulit mendengar ucapan si kakak di waktu dia mengantuk begini. Jadinya tanggapan yang diberikan hanya anggukan serta dehaman. Apa yang setiap Halilintar katakan, di-iya-iyain aja sama tu bocah.

Percayalah, percakapan mereka tidak pernah serius jika sedang di motor.

"Taufan," Sulung kemudian mencubit tangan yang melingkari perutnya hingga membuat si korban terkejut sekaligus meringis sakit.

"Ish, sakit. Janganlah," gerutu Taufan lalu mengeluarkan lenguhan pelan.

"Ya makanya jangan tidur!"

Omelan itu diabaikan oleh Taufan. Ia melonggarkan pelukannya. Namun cengkeramannya pada jaket sang kakak setia erat. Matanya kembali tertutup saat sudah tidak bisa lagi menahan kantuk yang berat.

Dan untuk kesekian kalinya motor yang mereka kendarai hampir oleng. Untunglah Halilintar bisa menanganinya. Pemuda itu hanya mendecak lalu menghela nafas. Hal biasa yang ia lakukan ketika di penghujung cerita. Selalu menghela.

Ia membiarkan Taufan yang setengah terlelap sewaktu berpegangan padanya dengan kepala sesekali terantuk ke atas dan ke bawah. Serta bagaimana tubuh itu bersandar di punggungnya membuat Halilintar yang mengendarai sepeda motor kesusahan.

Sepasang kelereng merah itu kemudian kembali fokus menatap jalanan. Motor melaju dengan kecepatan normal. Samar, Halilintar bisa merasakan detak jantung stabil seseorang dari belakang. Yang tentu adalah milik adiknya.

"Ck, dasar bocah."

Siblings || HaliTauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang