1. Sial

124 37 6
                                    

Setelah berjuang keras melawan rasa kantuk, lapar dan dahaga sehari penuh ini, ditambah materi pengenalan kampus yang seakan-akan tiada henti selama tiga hari itu.

Bella, yang mulai jenuh, duduk melantai bersandar pada pilar, mengabaikan nasi kotak dalam pangkuannya. Hari ini cukup melelahkan bagi Bella, karena projek observasinya ia harus begadang dan bangun 10 menit lebih lambat dari biasanya, bagi seorang Bella yang perfeksionis, hal itu adalah sebuah ancaman serius. Alhasil, dia harus terlambat 25 menit sebelum sirine upacara penutupan pesmaba berdengung. Oh ayolah Bell, bahkan masih ada sisa waktu untuk menyantap sepotong roti dan sebotol susu kedelai-seharusnya.

Bella menatap ke arah lautan mahasiswa baru dengan penampilan kacau mereka, topi dipasang berbalik arah, kemeja digulung tak beraturan, almamater yang bertengger pada lekukan lengan juga bahu, bahkan di atas kepala.
Mereka tampak berpencar memadati halaman auditorium kampus, sepertinya mereka sedang melepas beban, penat , gundah-gulana yang memakan waktu berhari-hari itu.

Pandangannya beralih pada segerombolan gadis yang berebut untuk mengabadikan momen dengan kating incaran mereka. Tak menampik jika sepanjang mata memandang dipenuhi para mahasiswa yang berselfie-ria, seakan tak habis gaya dan terlatih.

Bukan hanya dirinya-selaku panitia-yang harus datang pagi dan pulang malam hanya untuk menyusun materi, nyatanya tak sedikit ia mendengar eluhan para Maba itu.
Tentang etos kerja panitia, tentang paras para kating, bahkan tentang dirinya yang mendapat gelar 'Ratu dingin' terbanyak angkatan ini, surat kebencian pun membanjirinya seketika.
Bukan berarti, ia tak mempunyai daya tarik lain, masih ada beberapa surat yang mengagumi dirinya walau perbandingannya cukup jauh.

"Astaga, gue harus ketemu Kak Joyana." Gadis itu melirik arlojinya. "20 menit lagi kelasnya selesai."

Bella meraih mahkota ungu berbahan karton di atas kepalanya. Menatapnya sesaat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari duduknya. Namun, entah untuk panggilan yang ke berapa seseorang berhasil menahan langkahnya. "Mbak, minta selfie, ya."

Oh, shit! Jangan lagi, ini adalah salah satu hal kenapa ia memilih menyembunyikan diri di balik pilar-pilar besar itu.
Menarik napas lepas, hanya senyuman paksa yang bisa ia berikan. Sebelum mengiyakan ajakan pria mungil di hadapannya.
Usai sudah, buru-buru Bella mengambil langkah lebar, meninggalkan halaman auditorium. Sebelum ia menjadi mangsa si para haus selfie.
Ponsel yang ia simpan dalam saku celana bergetar cukup lama. Membuatnya mau tak mau harus berhenti sejenak.

"Apa?"

"Ya, Ampun. Lo, dimana sih, lo masih selamet, kan?"

"Hiish, apaan sih, lo. Nggak penting banget," sarkas Bella sembari memutus panggilan secara sepihak.

Namun ponsel itu semakin menjadi-jadi, dentingan notifikasi terus terdengar membuat gadis itu mau tak mau mensilent ponsel, mengabaikan keriuhan benda pipihnya.
Namun Tuhan seakan tak ingin membebaskan Bella dari ranjau saat ini.
Langkahnya terhenti ketika seseorang dengan suara bariton memanggilnya.

"Mbak-mbak."

Gadis itu menengadah menatap pria acak-acakan di hadapannya. Holy shit! Bella seakan terjerembab di dalam netra si pria. Tatapan itu, begitu khas dan begitu ia kenali, tiba-tiba saja perasaan muak itu datang menggerogoti tubuhnya. Entah, rasanya ingin sekali memukul wajah pria itu. Astaga, ia baru sadar jika keduanya hanya saling diam menatap satu sama lain.

"Kenapa?" Ketusnya spontan.

Tentu saja membuat pria itu terkesiap. "Ada bule butuh bantuan, nih. Gue, nggak bisa bantu, udah di tunggu jemputan, tolong bantuannya ya mbak cantik, bye."

Kening Bella mengerut kala pria itu segera memutar tubuh dan berjalan menjauh dengan begitu cepat. Lantas berniat kembali melanjutkan langkahnya. Namun tunggu, apa yang pria itu katakan tadi? Bule? Bule yang mana?

Bella menyerongkan tubuhnya ke samping, dan menemukan seorang Maba bule berdiri tersenyum ke arahnya. Sejenak Bella terdiam denga napas berat, lantas sekilas melirik punggung pria yang telah menjauh darinya.

"I can help you?"

"Aa, sebenarnya aku hanya ingin menanyakan, apa toilet di sini menggunakan tisu?"

Bella mengerutkan kening tak percaya dengan apa yang ia dengar, sebenernya siapa yang mengerjai Bella saat ini, pria itu atau bule di hadapannya? Sungguh dia merasa bodoh setelah mendengar ejaan bule tersebut yang ternyata bisa menggunakan bahasa Indonesia walau terdengar aneh.

Sejenak Bella menyunggingkan senyuman, "Toilet ada di sebelah utara, 90 derajat searah jarum jam, untuk bisa sampai di sana butuh waktu 15 menit 900 detik dari sekarang." jelas Bella sembari menunjuk ke arah belakang mereka. Lantas gadis itu segera beranjak pergi tanpa peduli dengan pertanyaan konyol si bule. Masa bodoh dengan tisu atau toilet ia sudah menghabiskan 5 menitnya dengan sia-sia. Perhitungan awal ia akan tiba di kantor jurusan tepat 20 menit, kini membuatnya harus memakan waktu 25 menit.
Semua tentang pria itu, si bule, dan kejadian-kejadian aneh bin ajaib yang benar-benar membuatnya pusing.

Setelah mendengar denting lift, buru-buru gadis itu mengambil langkah lebar demi bisa menembus pintu yang kini terbuka. Melihat keadaan lift tidak terlalu penuh, ditambah sepertinya ia satu-satunya yang menekan lantai terendah, Bella bernapas lega karena setidaknya kesialan itu tidak menguntitnya.

Bella mengeluarkan ponselnya, melihat beberapa notifikasi penting juga berselancar pada sosial medianya, mendadak hati Bella memanas melihat postingan-postingan yang menandai dirinya dengan caption-caption unik nan menyebalkan.
Bella benar-benar meyumpahi siapapun yang mengatainya.

BELLATRIXIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang