2

9 0 0
                                    

"Lee Jaeyoon,"

Kelopak Aleeya terbuka, memandang lawan bicara yang baru saja memanggil namanya—dengan marga yang salah. Wanita 28 tahun itu tertegun ketika menyadari bahwa ia mengenali lawan bicaranya.

"Kak Minho?"

"Menurutmu siapa lagi?"

Ah, Lee Minho ... datang begini juga tetap saja menyebalkan. Aleeya mengatupkan bibir, menahan tangisan yang hampir tumpah.

"Kamu masih suka nahan tangis ya?" Minho tertawa, "Aleeya-ku semakin cantik."

"Kakak pergi, aku ditinggal." Wanita Hwang mengadu, seolah ia masih berusia 20 tahun. "Aku sendirian ... enggak ada kakak di sana."

Pemuda itu tersenyum, senyuman hangat yang muncul setiap kali Aleeya menangis. Minho mengambil kue di atas meja dan memakannya, sebelah tangan yang kosong menggenggam kuat tangan si wanita.

"Setelah aku pergi, pasti banyak yang antri." Minho terus berusaha, setidaknya yang tertangkap dari sudut pandang Aleeya. Selalu begini keadaannya, Minho tidak suka bicara, namun akan berusaha bicara banyak ketika mereka duduk berdua. Sebab si wanita juga lebih senang mendengarkannya bercerita. "Kamu tolak, enggak ada yang seganteng aku soalnya."

Wanita-nya tertawa. Wanita yang hidup dengan raut wajah datar dalam kesehariannya itu, tertawa senang. Atmosfer bilik mendadak cerah, suara tangis yang menghilang entah kemana, sepertinya semesta sedang takjub mendengar tawa Aleeya. Minho selalu mengatakannya setiap kali mereka hendak berpisah, pemuda itu tidak butuh usaha keras untuk membuat wanita-nya tertawa.

Sampai ia meninggalkannya.

"Apa yang terjadi, selama 8 tahun ini?" tanya Minho, "Kamu masih milih stroberi daripada mint chocolate enggak? Donghyun masih jagain kamu?"

Aleeya menggeleng, mengambil nafas sebelum menceritakan semuanya. Hari dimana ia berpisah dengan Minho, hari berikutnya. Tentang Donghyun, tentang mimpinya, tentang apapun yang terjadi dalam uraian singkat—ciri khas mereka kalau bicara. Lalu memori terakhir mereka ...

Nafas Aleeya nyaris habis, wanita itu memaksa dirinya untuk tetap bicara. Menggenggam tangan Minho dan membiarkan pemuda itu mengecup buku tangannya disela pembicaraan.

Memori terburuk Aleeya adalah hari dimana Minho pergi. Dia ingat kesepakatan mereka untuk membagi-bagikan snowball cookie; yang berjumlah 5 untuk satu bungkusan. Juga teh hangat untuk melalui akhir musim gugur. Aleeya ingat, Minho begitu tampan dalam balutan tuxedo-nya, jas berwarna hijau mint dengan aksen lavender frost. Berkebalikan dengan gaun Aleeya yang menggunakan warna hijau mint sebagai aksennya.

Hari pernikahan mereka dihabiskan untuk acara utama di pagi hari dan berbagi. Mereka pergi menemui orang tua di panti jompo, membagikan bunga, kue dan teh hangat, menyapa anak-anak panti asuhan dan bermain. Semua orang mengucapkan selamat, sebab keduanya masih mengenakan baju pernikahan ketika menjelajah kota.

Pukul 8 malam, Aleeya dan Minho sudah terlalu lelah untuk sekedar buka suara. Seorang supir memang di sewa khusus hanya untuk mengantar mereka pada hari itu—permintaan kerabat Minho yang hafal dengan tabiat si pemuda. Gaun Aleeya yang memiliki desain simpel cukup membantu, pernikahan yang direncanakan sedemikian matang.

"Sini, kepalamu sakit nanti." Minho mengulurkan lengan, membawa Aleeya masuk dalam rengkuhannya. Mengecup puncak kepala si gadis yang telah menutup kelopaknya. "Selamat tidur, kitten."

Semuanya terjadi. Mobil yang terbakar, bertabrakan satu sama lain. Aleeya ingat dia berusaha sebisa mungkin menarik Minho dari mobil, menghadapi kenyataan bahwa luka Minho jauh lebih parah untuk melindunginya. Gaun lavender frost Aleeya penuh darah, sepatunya terlepas dan ia masih berusaha meminta tolong.

"Nona! Kaki anda robek!"

Aleeya tahu ia kehilangan Minho ketika pemuda itu mengucapkan selamat tidur. Berakhir seperti ini, bahwa Aleeya-lah yang seharusnya mengucapkan selamat tidur pada Minho. Usianya masih 20 tahun ketika kecelakaan itu terjadi, tidak heran ia berubah total setelahnya.

Gaun cerah dan tuxedo yang serasi itu kini berlumuran darah, luka bakar juga tidak bisa dihindari. Baik Aleeya, maupun Minho berakhir di ruang gawat darurat.

"Donghyun ada di sana, meskipun dia enggak bisa gantiin kakak. Sampai kapanpun." Kisah Aleeya, menatap Minho yang masih memandangnya antusias. Manik si pemuda berbinar ketika Aleeya bercerita tentang anak asuh mereka, tentang bisnis kue, atau penangkaran kucing yang dijalankan Aleeya. Mimpi yang dibangun bersama, kini harus Aleeya mengurusnya seorang diri.

"Aku bangga, Aleeya. Aku selalu bangga, kamu tahu itu."

"Kakak enggak ada, aku enggak suka fakta itu. Aku mau kakak lihat semua kerja kerasku, hasil dari mimpi kita sejak pertama berbagi. Kak Minho harus lihat." Rengek Aleeya, melupakan usianya sekarang.

"Aku selalu sama kamu, aku enggak kemana-mana."

Weker tahu-tahu berbunyi. Buat yang muda kembali menangis. "Satu kesempatan lagi, aku masih mau di sini." Cegat Aleeya, enggan melepaskan pegangannya. Ia bahkan hampir berdiri kalau Minho tidak menahannya.

"Kitten, nanti kita ketemu lagi."


Butterscotch Coffee || Lee Know Stray KidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang